Anak Muda Menyuarakan agar Ada Pendidikan Iklim di Sekolah
Krisis iklim sudah dirasakan dampaknya. Namun, pembelajaran di sekolah untuk membangun kesadaran dan mendorong aksi nyata terkait isu lingkungan itu kepada murid dan guru masih minim.
JAKARTA, KOMPAS — Anak-anak muda yang tergabung dalam Koalisi Climate Education Now menyampaikan petisi atau tuntutan agar pendidikan iklim bisa diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah. Sebab, krisis iklim sudah dirasakan dampaknya, tetapi pembelajaran di sekolah untuk membangun kesadaran dan mendorong aksi nyata terkait isu lingkungan itu minim.
Hal itu sejalan dengan hasil Asesmen Nasional 2021 yang digelar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) untuk mengukur akhlak pada alam, yakni minat pada isu kelestarian, partisipasi dalam aktivitas pelestarian, serta rasa terhubung dengan alam pada para pelajar.
Hasil asesmen menunjukkan, secara umum masih kategori berkembang, belum membudaya, kecuali di beberapa daerah, seperti DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Data Programme for International Student Assesment (PISA) 2015 menunjukkan pengetahuan tentang efek gas rumah kaca pada siswa SMP dan SMA di Indonesia tergolong rendah dibandingkan negara lain. Demikian juga soal kepunahan tanaman dan hewan, penggundulan hutan untuk alih fungsi lahan, hingga polusi udara.
Baca juga: Perubahan Iklim Menjadi Krisis Iklim
Bertepatan dengan Hari Pelajar Internasional, Rabu (17/11/2021), perwakilan koalisi Climate Education Now menyerahkan petisi berisi lima tuntutan soal pendidikan iklim kepada Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim serta Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemdikbudristek Anindito Aditomo.
Desakan untuk menyuarakan pentingnya pendidikan iklim di sekolah ini disampaikan lewat diskusi publik secara daring bertajuk ”Ngobrol Bareng Mas Menteri: Aspirasi Anak Muda Soal Pendidikan Iklim” yang didukung Change.org.
Perwakilan koalisi Climate Education Now yang juga siswa kelas XII SMA Ghifari Mirano menyampaikan lima tuntutan dalam petisi kepada Mendikbudristek. Lima tuntutan itu termasuk mengintegrasikan pendidikan iklim ke dalam nilai-nilai inti tiap kurikulum dan menyediakan pendidikan iklim yang inklusif bagi semua orang.
Beberapa tuntutan lainnya ialah mendukung kesehatan mental peserta didik dan tenaga kependidikan dalam mengatasi kecemasan iklim, melatih guru dan menyediakan materi dan praktik belajar pendidikan iklim, serta membantu mewujudkan dan mendukung aksi penurunan emisi karbon di lingkungan penyelenggaraan pendidikan paling lambat tahun 2030.
Perwakilan Koalisi Climate Education Now Supandi Saputra mengutarakan dampak perubahan iklim mulai dirasakan anak-anak muda dengan berbagai beban yang ada sehingga memicu kecemasan. Anak-anak muda ini pun sepakat memulai petisi www.change.org/climedunow untuk mendesak pendidikan iklim dijalankan di sekolah-sekolah.
Baca juga: Indikasi Perubahan Iklim Indonesia
Ia mengaku sempat mengalami kecemasan iklim di awal tahun ketika rumahnya kebanjiran dan itu memengaruhi kesehatan mentalnya. Menurut Supandi, anak muda merupakan salah satu kelompok paling rentan atas dampak krisis iklim.
”Jika krisis iklim terus berlanjut, ke depan kami akan menanggung beban kelaparan dan kekurangan gizi paling parah, dan penyakit-penyakit seperti sesak napas,” kata Supandi.
Sekolah tak memberi pemahaman
Meski dampak krisis iklim nyata, Ghifari dan Pandi menilai pendidikan di sekolah tak memberi bekal memadai bagi generasi muda untuk menyadari isu ini, apalagi mendorong aksi nyata. Tumbuhnya kesadaran anak muda terhadap isu krisis iklim justru dari informasi di internet atau media sosial.
”Saya suka nonton film dokumenter di kanal Youtube, makanya kemudian tertarik ikut di komunitas peduli perubahan iklim. Kalau di sekolah, saya merasakan belum ada kontribusi untuk mendorong saya. Para guru cuma mengajarkan yang di kurikulum dan tak membahas krisis iklim,” ujarnya.
Jika krisis iklim terus berlanjut, ke depan kami akan menanggung beban kelaparan dan kekurangan gizi paling parah, dan penyakit-penyakit seperti sesak napas.
”Bahkan, guru-guru belum menjadi contoh untuk menerapkan gaya hidup yang peduli terhadap krisis iklim. Contohnya, para guru masih memakai kendaraan pribadi daripada kendaraan umum. Padahal, seharusnya mereka menjadi contoh,” kata Ghifari.
Baca juga: Pakta Iklim Glasgow Tidak Memadai untuk Atasi Perubahan Iklim
Hal senada disampaikan Supandi. Kesadarannya muncul ketika rumahnya mulai banjir. Lalu di dunia maya sosok Greta Thunberg menarik perhatian dunia karena di usia muda sudah menyuarakan kepeduliannya pada isu krisis iklim. ”Dari sekolah belum ada dukungan, masih belajar teori, tidak praktik. Susah bagi anak muda memahami isu krisis iklim dari sekolah,” tuturnya.
Masih tertinggal
Nadiem, dalam sambutannya, mengatakan, tidak perlu membahas konsep yang besar saat mendiskusikan perubahan iklim. Sebab, situasi dan konsekuensinya nyata dari perubahan iklim. Diskusi tentang perubahan iklim harus menghasilkan langkah spesifik terkait edukasi isu lingkungan dan perubahan iklim.
”Kita harus mengakui, jika dibandingkan negara-negara maju, Indonesia ketinggalan soal edukasi perubahan iklim. Sebab, sistem pendidikan Indonesia selama ini menuntut anak menghafal materi dan lulus ujian,” kata Nadiem.
Sistem pendidikan di Indonesia dinilai belum berhasil membangun kesadaran guru dan orangtua bahwa edukasi lingkungan hidup menjadi cara menyelamatkan generasi penerus bangsa. Untuk itu, transformasi sistem pendidikan Indonesia dilakukan guna memasukkan edukasi lingkungan hidup dan mengedepankan konsep keberlanjutan dalam proses pembelajaran.
”Transformasi holistik sistem pendidikan telah dan akan menjadi tujuan gerakan merdeka belajar, dan kurikulum adalah salah satu yang kami evaluasi,” ungkapnya.
Nadiem menyampaikan apresiasi atas kepedulian anak-anak muda terhadap isu krisis iklim melalui video yang ditayangkan dalam webinar. ”Aspirasi adik-adik menjadi kekuatan bagi Indonesia agar bukan hanya jadi negara maju, tapi juga memiliki masa depan yang berkelanjutan,” katanya.
Sementara Anindito mengapresiasi atas semangat pelajar dan anak muda yang ikut memikirkan isu krisis iklim secara komprehensif, tidak hanya pemahaman kognitif, tapi juga ada aspek afektif tentang kecemasan iklim.
Sebagian tuntutan koalisi sudah dibahas di Kemdikbudristek, tetapi membutuhkan waktu untuk pelaksanaannya. Koalisi anak muda ini diundang untuk ikut berpartisipasi dalam penyusunan kurikulum iklim yang kelak akan diterapkan secara nasional.
”Salah satu upaya yang dilakukan Kemdikbudristek adalah mengintegrasikan kurikulum iklim dari nilai paling dasar, yaitu Pelajar Pancasila. Semua jenjang harus memikirkan pengalaman belajar seperti apa, mulai dari iman takwa akhlak mulai nalar kritis dan kemandirian,” kata Anindito.
Anindito memaparkan, ada tiga karakter Pelajar Pancasila yang bisa dibentuk dengan memasukkan isu lingkungan, seperti perubahan atau krisis iklim dalam pembelajaran di sekolah. Di karakter beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, ada elemen akhlak pada alam.
”Sebagai orang religius, anak muda punya kewajiban merawat alam. Hal ini bisa jadi cantolan aktivitas pembelajaran dan materi kurikulum untuk mengajarkan perubahan iklim,” kata Anindito.
Lalu, di karakter gotong royong juga bisa dimanfaatkan. Untuk merespons perubahan iklim, tiap individu dituntut berkorban dalam hidup, misalnya tidak menyalakan pendingin ruangan saat tak diperlukan, memilih naik sepeda, dan memilih mode ramah lingkungan. Hal-hal kecil yang jadi pilihan hidup secara kolektif bisa berdampak pada perubahan iklim. Elemen kepedulian dan berbagi sudah bisa dijalankan.
Tak kalah penting ialah karakter bernalar kritis agar setiap individu berkomitmen untuk mengubah perilaku sehari-hari karena memahami isu perubahan iklim dengan baik. Informasi tentang krisis iklim melimpah di internet, tetapi sulit mencari informasi sahih karena berbagai pro-kontra.
”Nah, memilah dan memilih, serta memaknai dan mengevalausi secara kritis informasi tentang perubahan iklim juga penting. Jadi, dengan Merdeka Belajar pendidikan iklim bisa dimasukkan dengan memberikan pengalaman nyata,” kata Anindito.