Pakta Iklim Glasgow Tidak Memadai untuk Atasi Perubahan Iklim
Hasil Konferensi Para Pihak atau COP 26, yang dirumuskan dalam Pakta Iklim Glasgow, mengecewakan. Pakta itu tak cukup memadai untuk menahan laju pemanasan global saat ini.
GLASGOW, MINGGU — Setelah dua minggu bernegosiasi dalam Konferensi Para Pihak Ke-26 atau COP 26 tentang penanganan perubahan iklim di Glasgow, Skotlandia, 196 negara menyepakati Pakta Iklim Glasgow, Sabtu (13/11/2021) malam waktu setempat atau Minggu dini hari WIB.
Komitmen mereka memberikan harapan untuk mempercepat berakhirnya subsidi bahan bakar fosil dan pengurangan batubara. Namun, hal itu dinilai belum cukup kuat menahan peningkatan suhu global tak melebihi 1,5 derajat celsius.
Baca juga: Pakta Iklim Glasgow Tak Cukup Kuat Menahan Laju Pemanasan Global
Salah satu poin penting dari Pakta Iklim Glasgow adalah pengakuan bahwa komitmen yang dibuat oleh negara-negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sejauh ini tidak cukup untuk mencegah pemanasan planet melebihi 1,5 derajat celsius di atas suhu praindustri. Untuk itu, setiap negara wajib memperkuat target tersebut pada pertemuan iklim akhir tahun depan di Mesir, bukan setiap lima tahun, seperti yang disyaratkan sebelumnya.
Selain itu, dari COP 26, desakan kepada negara-negara maju untuk membuktikan kontribusi mereka pada mitigasi penyebab dan dampak perubahan iklim semakin kuat. Tanpa itu, negara-negara kecil merasa dikorbankan atas nama kepentingan bersama penduduk Bumi. Desakan ini tercantum dalam Pakta Iklim Glasgow.
Alok Sharma, Presiden COP 26, saat menutup sidang, mengatakan, ”Saya pikir hari ini kita dapat mengatakan telah menjaga 1,5 (derajat celsius) dalam jangkauan. Namun, denyut nadinya lemah dan kami hanya akan bertahan jika kami menepati janji kami.”
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres memperingatkan bahwa pekerjaan mendesak lebih lanjut diperlukan. ”Planet kita yang rapuh tergantung dari seutas benang. Kami masih mengetuk pintu bencana iklim. Sudah waktunya masuk ke mode darurat atau peluang kita untuk mencapai (emisi) nol bersih dengan sendirinya akan menjadi nol,” katanya.
Baca juga: Hasil COP 26 Mengecewakan
Saat negara-negara kembali bernegosiasi tahun depan, memulai proses tahunan merevisi target nasional pada gas rumah kaca, akan menjadi proses yang berat. Beberapa negara berpendapat bahwa mereka sudah melakukan yang terbaik.
Sengit soal batubara
Salah satu ketidaksepakatan paling sengit di jam-jam terakhir perundingan dalam COP 26 adalah kata-kata ”penghapusan bertahap” batubara pada paragraf ke-36. Redaksi itu diintervensi oleh India dan akhirnya diganti menjadi ”penurunan bertahap”.
Utusan Khusus AS soal Iklim, John Kerry, mengatakan, permintaan India dipenuhi agar ada kesepakatan di COP 26. Menteri Lingkungan Hidup India Bhupender Yadav berpendapat, permintaan New Delhi sesuai dengan kebutuhan negara berkembang.
”Kami berusaha mencapai kesepakatan dan ini masuk akal bagi negara berkembang dan keadilan iklim,” kata Yadav.
Meski demikian, COP 26 telah mengamanatkan agar semua negara mengevaluasi rencana nasional mereka untuk meningkatkan ambisi pemotongan emisi. Rencana baru penurunan emisi yang diajukan tahun depan untuk membatasi emisi pada 2030 itu disepakati harus selaras dengan tujuan 1,5 derajat celsius. Indonesia termasuk di antara banyak negara yang target penurunan emisinya saat ini dinilai tidak memadai dan perlu diperkuat.
Janji tak dipenuhi
COP 26 juga mencantumkan keprihatinan atas kurangnya dana adaptasi atas dampak perubahan iklim yang semakin memburuk di negara-negara berkembang. Hal ini tercantum di halaman 2 dan 5 Pakta Iklim Glasgow. Para peserta COP mencatat dengan penuh penyesalan bahwa janji penyediaan dana 100 miliar dollar AS per tahun sejak 2016 sampai 2020 belum dipenuhi negara maju.
Para perunding COP 26, sebagaimana tercantum di halaman 5 pakta tersebut, mendesak negara-negara maju segera memberi kejelasan atas komitmen mereka soal penyediaan dana. Anggaran itu harus tersedia sebelum 2025. Negara maju didesak transparan dalam mewujudkan janji mereka.
Baca juga: Negara Maju Tak Penuhi Janji Dana Iklim, Negara Berkembang Merasa Dikorbankan
Penyediaan dana mitigasi merupakan salah satu gugatan dari negara-negara berkembang dan miskin. Sebab, negara-negara maju bisa menikmati kemakmuran pada saat ini karena selama ratusan tahun melepaskan triliunan ton emisi gas rumah kaca. Emisi itu dihasilkan dari aneka aktivitas yang memungkinkan negara-negara itu bisa kaya seperti sekarang.
Masih di halaman 5 pakta itu, negara maju juga didesak membagikan teknologi dan pengetahuan kepada negara berkembang untuk kepentingan mitigasi itu. Pembagian diharapkan dilakukan secara sukarela dan tidak membebani negara berkembang. Sebab, kini banyak negara berkembang dan miskin sudah tertekan oleh utang dan dampak pandemi Covid-19.
Salah satu perumus naskah awal Kesepakatan Paris, Laurence Tubiana, mengatakan, COP 26 gagal melindungi orang-orang yang sudah menderita dan rentan dari dampak perubahan iklim. ”Kerugian dan kerusakan harus menjadi prioritas dalam pertemuan selanjutnya,” ujarnya.
Baca juga: Soal Uang, Tambang, dan Waktu di COP 26
Kegagalan selama COP 26, antara lain, ditunjukkan oleh penolakan Amerika Serikat dan sejumlah negara produsen otomotif global lain, seperti Jerman, China, dan Jepang, menandatangani Deklarasi Glasgow tentang Emisi Nol Mobil.
Kegagalan lain diungkap dalam laporan bertajuk ”Fossil Fueled 5”. Laporan ini disusun peneliti University of Sussex, Freddie Daley, bersama Fossil Fuel Non-Proliferation Treaty Initiative. Laporan itu menyoroti Inggris, AS, Norwegia, Kanada, dan Australia. Daley dan rekannya menemukan lima negara itu mengucurkan 150 miliar dollar AS untuk proyek-proyek energi fosil pada fase pemulihan dari dampak pandemi Covid-19. Padahal, AS dan enam negara lain G-7 hanya mengucurkan 147 miliar dollar AS untuk proyek energi terbarukan selama fase pemulihan.
Menunggu tahun depan
Edvin Aldrian, ahli iklim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional yang juga Wakil Ketua Kelompok Kerja I Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC), mengatakan, kesepakatan iklim kali ini tak cukup kuat mencegah bencana besar yang bakal terjadi karena pemanasan global yang berlanjut.
Sebagaimana diperingatkan IPCC, komitmen negara-negara di dunia untuk menurunkan emisi saat ini baru sepertiga yang dibutuhkan agar bisa menahan kenaikan suhu bumi tak lebih dari 1,5 derajat celsius.
”Memang Kesepakatan Paris sudah ambisius, tetapi masih tidak jelas arah ke sananya bagaimana,” ujarnya merujuk pada kesepakatan iklim 2015. ”Ini sebenarnya diharapkan dari COP 26, tetapi ternyata gagal tercapai dan harus menunggu tahun depan lagi.”
Baca juga: 10 Persen Warga Terkaya Dunia Rakus Karbon
Peneliti iklim dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Siswanto, juga pesimistis bisa menahan laju pemanasan global tak lebih dari 1,5 derajat celsius dibandingkan tahun 1850. ”Laporan terbaru dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), suhu global 2020 bertambah 1,2 derajat celsius. Ada penambahan 0,1 derajat celsius dibandingkan tahun sebelumnya,” ujarnya.
Siswanto menambahkan, terjadinya La Nina pada 2020-2021, yang seharusnya dalam periode mendinginkan bumi, ternyata tak bisa menghentikan laju pemanasan global. Demikian halnya pandemi Covid-19 ternyata hanya sedikit menekan penambahan emisi dan tidak bisa menahan laju peningkatan suhu.
(AFP/REUTERS/LUK)