Mengenalkan Isu Kesetaraan dalam Festival Film 100% Manusia
Festival Film 100% Manusia digelar secara daring pada 25 November hingga 1 Desember 2021. Ada 25 film panjang dan sederet film pendek yang akan ditayangkan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Penonton berada di dalam teater di salah satu jaringan bioskop CGV di Jakarta, Kamis (16/9/2021). Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) kembali membuka operasional sejumlah bioskop di Jakarta. Pembukaan bioskop ini mensyaratkan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Penggunaan aplikasi Peduli Lindungi diwajibkan untuk penapisan pengunjung.
JAKARTA, KOMPAS — Festival Film 100% Manusia kembali digelar untuk yang kelima kali sejak berlangsung pertama kali pada 2017. Audiens diharapkan mengenal isu kesetaraan dan hak asasi manusia melalui film yang ditayangkan.
Festival Film 100% Manusia digelar secara daring pada 25 November hingga 1 Desember 2021 di laman festivalscope.com. Ini kali kedua festival film diadakan secara daring selama pandemi Covid-19. Publik dapat mengakses film secara gratis.
Adapun tema tahun ini ”Journey” atau ”Perjalanan”. Direktur Festival Film 100% Manusia Rain Cuaca mengatakan, festival tahun ini merayakan perjalanan individu dan kelompok yang aktif menyuarakan dan menegakkan hak asasi manusia (HAM) serta kemanusiaan. Ia menambahkan, penegakan HAM tidak boleh berhenti.
”Festival film ini coba menghilangkan pengotak-ngotakan, mempromosikan toleransi, kesetaraan, dan HAM, melalui film serta seni budaya,” kata Rain pada konferensi pers virtual di Jakarta, Senin (15/11/2021).
TANGKAPAN LAYAR
Konferensi pers virtual Festival Film 100% Manusia diadakan pada Senin (15/11/2021). Festival film ini diadakan secara daring pada 25 November 2021 hingga 1 Desember 2021.
Ada 25 film panjang yang akan ditayangkan di festival film ini. Festival dibuka dengan film The Exam (2021), film asal Jerman dan Irak yang disutradarai Shawkat Amin Korki. Film yang memenangkan sejumlah penghargaan ini mengisahkan seorang perempuan yang hendak ikut ujian perguruan tinggi. Saudara perempuannya memutuskan akan membantu agar ia mendapat kehidupan lebih baik di masa depan.
Festival film ini coba menghilangkan pengotak-ngotakan, mempromosikan toleransi, kesetaraan, dan HAM, melalui film serta seni budaya.
Adapun festival ditutup dengan film berjudul My Father Marianne (2020) yang diproduksi Swedia. Film besutan sutradara Marten Klingberg ini menceritakan tentang jurnalis perempuan yang pulang ke rumah keluarganya. Di sana, ayahnya mengungkapkan jati dirinya, lalu mengubah identitas jadi Marianne.
KOMPAS/ERIKA KURNIA
Suasana bioskop CGV Grand Indonesia, Jakarta Pusat, di hari pertama pembukaan bioskop dalam penyesuaian kebijakan pelonggaran PPKM level 3, Kamis (16/9/2021).
Masih ada puluhan film lain yang akan ditayangkan. Beberapa di antaranya Our Lady of the Nile (2020) dari Perancis, Her Job (2020) dari Yunani, Beans (2020) dari Kanada, True Mothers (2020) dari Jepang, serta No One Inside (2020) dari Indonesia.
Sejumlah film pendek juga akan ditayangkan, seperti Dear to Me (2021) dari Indonesia. Film ini memenangkan penghargaan di Shorts Locarno Film Festival, serta masuk daftar nominasi Film Cerita Pendek Terbaik di Festival Film Indonesia 2021.
”Penonton diharapkan memperhatikan batas usia film. Film dengan batas usia dewasa menampilkan isu yang membutuhkan kematangan berpikir untuk memprosesnya,” kata Rain.
LAMBANG CP/KEDIRIPEDIA.COM
Dwidjo U Maksum menyutradarai pembuatan film Renggut yang melibatkan masyarakat sebagai aktor dan kru.
Ketua Yayasan Bhinneka Cipta Setara Kurnia Dwijayanto menambahkan, melalui festival film ini, yayasannya akan terus memberikan edukasi, informasi, serta edukasi tentang HAM dan kesetaraan. Karena itu, selain penayangan film, publik dapat mengikuti diskusi dan webinar tentang isu-isu tersebut.
Menurut produser film Dear to Me, Astrid Saerong, film merupakan media edukasi universal. Publik dapat mengetahui kondisi sosial masyarakat di suatu negara melalui film. Itu sebabnya, mengangkat kisah kelompok marjinal menjadi penting. Adapun Dear to Me mengangkat isu LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transjender).
Sementara, menurut sutradara sekaligus Duta Festival Film 100% Manusia, Lucky Kuswandi, film memiliki daya untuk mengangkat suatu isu, termasuk HAM. Festival film ini diharapkan membantu audiens berempati kepada sesama manusia terlepas dari identitas yang melekat pada individu, baik agama, jender, kelas sosial, hingga latar pendidikan.
”Dengan menonton film, saya harap teman-teman bisa melawan stigma, diskriminasi, dan prasangka (di masyarakat),” kata Lucky yang juga sutradara Ali & Ratu Ratu Queens. ”Kami berharap penayangan film di festival ini membawa pertanyaan, keresahan, dan perubahan dari penonton,” katanya.