Suara Kegelisahan Sineas Muda
Festival Film Indonesia kali ini menghadirkan kejutan lewat beragam tema dan usia sineasnya. Pemikiran-pemikiran insan perfilman dan dewan juri pun berkelindan dengan benang merah berbagai persoalan aktual di Tanah Air.
Festival Film Indonesia 2021 tak sekadar menonjolkan teknis yang mumpuni. Sinematografi nomine-nomine kali ini terasa lebih pekat dengan humanisme lewat tema kemanusiaannya. Pergelaran tersebut menjadi panggung pula bagi generasi penerus yang menyampaikan keresahannya dengan subtil.
Di atas karpet merah, bintang film yang berlenggak-lenggok dihujani cahaya blitz. Tamu perempuan mengenakan kebaya dan kain wastra dengan interpretasi kontemporer, sedangkan tamu laki-laki berjas hitam. Tak lupa, masker menjadi atribut penting.
Festival kali ini bertema ”Sejarah Film & Media Baru” dengan subtema ”Beralih Masa, Bertukar Rasa Film Indonesia”. Konsep Malam Anugerah Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2021 di Jakarta Convention Center (JCC), Rabu (10/11/2021), itu terinspirasi FFI 1955.
”Laki-laki memakai tuksedo dan perempuan dengan kebaya buat saya indah,” kata Ketua Komite FFI 2021-2023 Reza Rahadian merujuk pada penyelenggaraan FFI pertama. Untuk penjurian tahap akhir, sebanyak 28 juri bertugas menentukan pemenang.
Baca juga: Penyalin Cahaya Kuasai Panggung FFI 2021
Sebagai Juri Tahap Akhir FFI 2021 kategori film panjang dari perwakilan non-asosiasi, budayawan Tommy F Awuy dan aktris senior Niniek L Karim menganalisis nomine dari segi konten. Mereka mengkaji bagaimana film mengangkat budaya, membawa konteks di masyarakat, dan menyampaikan nilai-nilai kehidupan.
”Isu, seperti kekerasan seksual, antargenerasi, serta eksistensi pencarian diri yang berkaitan problem eksistensi dan psikologis itu menarik. Ini sebenarnya tema-tema yang hidup dalam keseharian kita,” ujar Tommy.
Latar belakang Tommy dan Niniek yang berbeda dengan juri lain membuat penjurian cukup alot lantaran mereka lebih fokus pada konten ketimbang teknis. Penentuan juara berakhir dengan pemungutan suara.
Niniek menambahkan, komunikasi mengandung tiga komponen utama, yakni komunikator, komunikan, dan pesan. Lewat film sebagai medium, sineas bisa menyampaikan pesan yang selama ini tak bisa disampaikan secara eksplisit, kaku, atau vulgar.
Film bisa memengaruhi audiens dalam aspek kognitif (menjadi tahu), afektif (perasaan), dan konatif (tingkah laku). ”Kalau hanya kognitif, informasi menjadi masukan untuk otak. Tapi, kalau bisa merasakannya, maka melibatkan dua komponen lainnya sehingga kita lebih mudah dekat,” ujarnya.
Film Yuni yang masuk nominasi, misalnya, menceritakan peran tradisional perempuan yang dipertanyakan sehingga menciptakan konflik. Sementara itu, Penyalin Cahaya, juara umum dalam FFI 2021, membahas kekerasan seksual yang dialami kaum muda di lingkup pendidikan tinggi.
Perubahan lanskap
Setelah menjadi juri di FFI setidaknya tujuh kali, Tommy mencatat perubahan lanskap perfilman. Kualitas film meningkat setiap tahun, baik dari sisi teknis maupun bertutur. Dilihat dari nomine dan pemenang FFI 2021, regenerasi sineas juga terjadi secara natural.
Namun, sineas Tanah Air dari tahun ke tahun belum banyak membahas legenda lokal. Jepang dan Amerika Serikat, contohnya, mampu membahasakan legenda dengan bahasa sehari-hari lewat film Yunani kuno atau kepahlawanan.
Garin Nugroho memandang keberagaman yang meningkat pesat dalam FFI kali ini, mulai usia sineas hingga tema-tema filmnya. ”Kalau lihat seleksi awal, umur mereka mulai 19 tahun. Lalu, cara-cara pandang ceritanya unik dan sangat penting,” ujar Ketua Tim Penjurian FFI 2021 itu.
Panitia FFI 2021 pun banyak yang masih muda. Mereka terbiasa mengelola organisasi yang diistilahkan Garin, bukan diva-diva. ”Memang generasi baru yang terampil dan sudah melewati ajang nasional hingga internasional dalam berorganisasi,” ucapnya.
Garin tak ikut menilai film-film yang difestivalkan. Ia menyerahkan pengambilan keputusan kepada juri-juri yang sebagian lebih muda. ”Dilihat dari nominasi, biasanya film seni dan industri terpisah, tetapi sekarang seperti bertemu,” katanya sambil tersenyum.
Garin mencontohkan Ali & Ratu Ratu Queens yang bersanding dengan Yuni dan Preman dalam nominasi film cerita panjang terbaik. ”Terjadi pertemuan industri dan seni. Secara personal juga timbul generasi baru dengan kemampuan untuk masuk, istilahnya, sirkuit internasional,” katanya.
Demikian pula dengan daya untuk menangkap fenomena yang terjadi. Garin memperhatikan sineas-sineas yang bersaing sudah memiliki kemampuan, tetapi dengan skala mikro. ”Tidak dalam euforia, tetapi bertemakan wilayah pinggiran. Umpamanya, Yuni di pinggiran urban atau rural,” katanya.
Sementara Penyalin Cahaya menyoroti wilayah mahasiswa dengan persoalan mikro atau khusus. Sineas-sineas muda lebih berani memotret keresahan sosial. ”Mereka tidak terjebak perihal yang besar. Kecil-kecil, tetapi tetap penting,” kata Garin.
Baca juga: Menjaga Gairah Film Indonesia melalui FFI
Ia pun mengapresiasi tema-tema film pendek, seperti narapidana perempuan beserta anaknya, kehidupan nelayan, dan syariah. ”Itu cara pandang unik yang juga disebutkan Jokowi (Presiden Joko Widodo) dan menjadi keunggulan FFI 2021,” kata Garin.
Joko Anwar pun menilai FFI kali ini lebih dinamis dengan semakin banyaknya sineas muda yang mampu menembus nominasi. Di antara mereka bahkan baru mengawali debutnya membuat film panjang. ”Misalnya, Wregas Bhanuteja dan Randolph Zaini. Penentuannya memang murni dari craftsmanship mereka,” kata juri akhir kategori film cerita panjang FFI 2021 itu.
Ia mengartikan craftsmanship sebagai kekriyaan sineas untuk menyampaikan cerita menggunakan sinematografi, akting, dan penyutradaraan. ”Bukan omong yang mengawang-awang. Enggak pilih yang senior, lebih muda, atau temanya sedang penting di Indonesia dan dunia, tetapi pencapaiannya yang dinilai,” katanya.
Joko mengamati pencapaian anak-anak muda yang lebih tinggi tahun ini. Tema film-film yang masuk nominasi juga lebih beragam, seperti toleransi beragama, pelecehan seksual, thriller, pernikahan dini, dan aksi. Meski berproduksi saat pandemi, pencapaian perfilman Indonesia tetap tinggi. ”Malah, beberapa film sudah mendapatkan penghargaan festival prestisius. Jadi, karya-karya yang masuk FFI pun demikian,” katanya.
Joko meyakini nomine-nomine FFI 2021 semakin mampu menangkap kegelisahan di tengah masyarakat yang relevan dengan kondisi terkini. ”Bukan bikin film tanpa suara. Beda dengan film untuk hiburan saja. Film-film yang masuk festival umumnya punya suara. Ada kegelisahan yang ingin disampaikan,” katanya.
Film-film yang berlaga dalam FFI 2021 pun dianggap relevan dengan suara-suara yang diungkapkan masyarakat. Para sineas tak sekadar mengambil persoalan yang sedang dibicarakan. Sineas merupakan bagian dari publik, bukan di atasnya. Kegelisahan yang diekspresikan mereka diharapkan menimbulkan kesadaran. ”Pembuat film merasakannya. Bukan hanya memanfaatkan isu, melainkan mereka punya kegelisahan, pertanyaan, dan pernyataan lewat film,” ujarnya.
Indikasi sehat
Pemikiran-pemikiran sineas dan dewan juri pun berkelindan dengan benang merah beragam persoalan aktual di Tanah Air. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan umpamanya, pada 2020 terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan.
Jumlah itu termasuk laporan yang ditangani unit pelayanan dan rujukan Komnas Perempuan sebanyak 2.389 kasus, atau naik dibandingkan tahun 2019 sebanyak 1.419 kasus. Data BPS, Bappenas, dan Unicef juga memotret pernikahan dini pada 2018 dengan 1 dari 9 perempuan berumur 20-24 tahun telah menikah sebelum berumur 18 tahun.
Dosen Jurusan Film School of Design Binus University, Ekky Imanjaya, menyambut positif penyegaran dalam FFI 2021 yang mengindikasikan sehatnya perfilman nasional. ”Muncul darah segar karena aktor, aktris, dan sutradara yang meraih penghargaan bukan itu-itu saja,” ucapnya.
Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta itu berpendapat, muncul talenta-talenta baru sekaligus tema dan genre yang kian beragam. ”Industri perfilman tumbuh. Menarik karena khalayak berpikir, tiba-tiba muncul sineas-sineas yang mungkin belum pernah mereka lihat,” ucapnya.
Insan-insan perfilman pun layak diacungi jempol karena mampu bertahan dengan menghasilkan karya saat pandemi seraya tetap menerapkan prokes. ”Sineas menyalurkan kekhawatirannya yang dieksplisitkan lewat film. Juri lalu memilih yang terbaik,” ujar Ekky.