Keteladanan Wayang untuk Membangun Karakter Bangsa
Upaya menjaga wayang tidak boleh berhenti ketika sudah mendapat pengakuan dari UNESCO. Setelah adanya pengakuan ini, semua pihak memiliki kewajiban untuk melestarikan, memopulerkan, dan mengembangkannya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Nilai-nilai baik yang terkandung dalam dunia pewayangan selalu memberikan keteladanan bagi kehidupan manusia sejak ratusan tahun lalu, saat ini, hingga masa yang akan datang. Keteladanan dari dunia pewayangan ini sangat penting untuk membangun karakter dan pilar peradaban bangsa serta perekat kebinekaan.
Wayang tidak hanya berfungsi sebagai sarana hiburan, tetapi juga media menyalurkan pemikiran dan ketaladan lewat setiap pergelaran atau pementasan. Pergelaran wayang sebenarnya adalah forum dialog dua pihak, yakni penonton dan dalang.
Dalam diskusi tentang peran serta wayang Indonesia dalam pemajuan kebudayaan di Jakarta, Minggu (7/11/2021), budayawan Sudarko Prawiroyudo meyampaikan bahwa setiap pergelaran selalu menyentuh lima wujud kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Lima wujud tersebut adalah ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan nasional.
”Kemampuan dialog inilah yang membuat UNESCO pada 7 November 2003 memproklamirkan wayang sebagai karya agung budaya lisan tak benda warisan kemanusiaan,” ujar Sudarko yang juga pernah menjabat Ketua III Dewan Pengurus Harian Sekretariat Nasional Wayang Indonesia (Sena-Wangi) 1983-1998.
Sudarko mencontohkan bahwa wujud dialog ideologi Pancasila berupa plural, egaliter, dan gotong royong tecermin dalam pewayangan berlatar negara atau kerajaan Indraprasta. Negara ini sangat plural sebagai tempat bermukim manusia, yakni pandawa, raksasa, dan jin. Mereka bersatu untuk mendirikan kerajaan tersebut.
Unsur egaliter dalam konteks Indonesia yang menunjung tinggi kesamaan hak dan hukum semua warga negara dari berbagai etnis juga tecermin melalui cerita wayang Semar Kuning. Sementara unsur atau sikap gotong royong yang merupakan kerja bersama dan membagi hasil secara adil selalu dicontohkan Dewi Kunti terhadap kelima putranya, yakni pandawa, sejak kecil.
Diskusi tentang peran serta wayang Indonesia dalam pemajuan kebudayaan merupakan salah satu rangkaian acara Forum Warisan Budaya Tak Benda yang Hidup bagi Wayang di lndonesia (Living ICH Forum) 7-9 November 2021. Acara ini juga memperingati Hari Wayang Nasional yang jatuh setiap 7 November berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2018.
Program Living ICH Forum 2021 adalah rintisan awal menjadikan Indonesia rumah wayang dunia. Program ini diselenggarakan dalam tiga format kegiatan, yakni atraksi, diskusi, dan ekskursi. Materi atraksi, di antaranya, pergelaran wayang, baik klasik maupun kontemporer, serta pergelaran wayang internasional yang diikuti peserta dalam negeri dan mancanegara.
Redaktur senior harian Kompas, Ninok Leksono, mendukung ide tentang menyerap nilai-nilai baik dari dunia pewayangan untuk pembangunan karakter bangsa. Namun, ide ini harus diikuti program nasional, tidak hanya untuk melestarikan wayang, tetapi juga untuk memopulerkan seni tradisi ini.
Upaya menjaga wayang tidak boleh berhenti ketika sudah mendapat pengakuan warisan budaya tak benda dari UNESCO. Setelah adanya pengakuan ini, semua pihak memiliki kewajiban untuk melestarikan, memopulerkan, dan mengembangkannya.
Ninok menegaskan, upaya menjaga wayang tidak boleh berhenti ketika sudah mendapat pengakuan warisan budaya tak benda dari UNESCO. Setelah adanya pengakuan ini, semua pihak memiliki kewajiban untuk melestarikan, memopulerkan, dan mengembangkannya dengan berbagai inovasi agar wayang tidak statis, baik dari kisah maupun ruang pertunjukan.
Peran media beserta wartawannya juga perlu dilibatkan dalam upaya memopulerkan wayang. Sekretariat Nasional Wayang Indonesia diharapkan dapat menyelenggarakan program berkala bagi wartawan agar memiliki wawasan dan kecintaan pada wayang yang diyakini, baik sebagai tontonan maupun tuntunan.
Merambah digital
Destiyan Wahyu Setiadji, salah satu pementas wayang orang yang juga sebagai tokoh muda generasi penerus wayang, menilai, pengenalan wayang tidak boleh berhenti pada generasi milenial, tetapi juga perlu terus ditingkatkan untuk generasi Zyang sekarang berumur 20-an ke bawah. Pengenalan wayang kepada generasi Z harus menggunakan metode yang berbeda karena perbedaan karakteristik dan nilai-nilai yang dianut.
”Kita perlu mencari pendekatan yang tepat agar wayang ini bisa masuk ke generasi berikutnya. Untuk sampai ke situ, perlu melihat karakteristik dari generasi Z yang dikatakan sebagai anak kandung dari teknologi,” tuturnya.
Menurut Destian, generasi Z sudah mulai bergeser ke nilai estetika dan mengapresiasi segala sesuatu yang terdapat di layar gawainya. Kondisi ini membuat pertunjukan wayang di ruang konvensional juga harus hadir ke ruang virtual atau digital agar terjalin kedekatan dengan generasi Z. Sebaliknya, wayang akan sulit dekat dengan generasi Z jika mereka dipaksa menonton atau masuk ke ruang pertunjukan konvensional.
”Sudah saatnya semua pelaku seni, terutama wayang, berpikir untuk mengarah ke ruang virtual. Keberlangsungan budaya ada di masyarakat penikmatnya. Ketika masyarakat mau menerima dan menikmati, kebudayaan atau kesenian juga akan terus berjalan. Namun, budaya akan ditinggal jika tidak mengikuti dinamika perkembangan masyarakat saat ini,” ucapnya.
Selain pengenalan di dunia virtual, aspek lain untuk menjaga keberlangsungan wayang, menurut Destian, juga dengan terus melakukan regenerasi pelaku budaya atau seniman hingga penonton. Regenerasi seniman telah banyak dilakukan dengan cara pementasan dalang cilik. Sementara regenerasi penonton dapat dilakukan dengan memperbanyak komunitas penikmat wayang dan gencar mempromosikan di berbagai ruang media.