Rumah Adat di Sumba Barat Daya Terbakar, Pasola Batal Digelar
Sembilan rumah adat yang selama ini dijadikan pusat ritual sebelum pasola digelar di lapangan terbuka di Desa Waikaninyo, Kecamatan Kodi Bangedho ludes terbakar sehingga kemungkinan pasola batal diselenggarakan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
TAMBOLAKA, KOMPAS — Sembilan unit rumah adat yang selama ini dijadikan pusat ritual sebelum pasola digelar di lapangan terbuka, di Kampung Waindimu dan Kampung Halakandangar Desa Waikaninyo, Kecamatan Kodi Bangedho Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, ludes terbakar. Kebakaran diduga bersumber dari salah satu dapur di rumah itu.
Akibat kebakaran rumah adat tersebut, kemungkinan kegiatan pasola yang direncanakan berlangsung Januari-Maret 2022 bakal tidak digelar di desa ini. Kepala Desa Waikaninyo Sumba Barat Daya Alfons Elfianus Feka dihubungi hari Kamis (4/11/2021) mengatakan, kebakaran terjadi Senin (1/11/2021) sekitar pukul 12.30 Wita.
Sumber api diduga berasal dari salah satu rumah adat di lokasi paling ujung timur di Kampung Waindimu, kemudian menjalar sampai Kampung Halakandangar.
Kemungkinan, menurut Alfons Feka, pasola di Desa Waikaninyo batal digelar Januari-Maret 2022 di desa ini. Tetapi desa lain tetap menggelar pasola. Sebelum kelompok pemuda turun berlaga dalam pasola, para tetua adat menyelenggarakan ritual adat di rumah adat induk, yang dihuni kepala suku, dan berlanjut ke rumah adat lainnya di kampung itu.
Ia menyayangkan kebakaran itu, apalagi terjadi di tengah warga sedang dilanda pandemi Covid- 19, yang berdampak pada penurunan pendapatan warga. Dana desa pun tidak mampu menangani pembangunan sembilan unit rumah itu, meski satu unit.
Dana desa saat ini fokus menangani Covid-19 dan pengadaan air bersih dalam mobil tangki bagi warga serta infrastruktur jalan. Pembangunan rumah adat desa tidak masuk dalam program dana desa.
Perang tanding
Pasola adalah perang tanding antarkelompok anak muda dari suku atau desa berbeda di Sumba, dalam bentuk saling lempar lembing berupa potongan kayu sepanjang 3 meter, sambil menunggang kuda yang berlari kencang. Satu kelompok beranggotakan 10-20 anak muda. Kelincahan penunggang, dan cara melempar lembing sampai kena sasaran (lawan) terbanyak, kelompok itu keluar sebagai pemenang.
Sebelum para pemuda ini turun berlaga di lapangan terbuka, mereka terlebih dahulu masuk rumah adat yang ditempati ketua adat untuk diperciki air kelapa muda dan darah ayam oleh ketua adat.
Kegiatan ini untuk meminta restu leluhur agar turut serta melindungi peserta pasola, dan seluruh warga di desa itu terutama mereka yang menonton dan memberi dukungan. ”Kalau ada yang terluka akibat tikaman kayu lawan, diyakini segera sembuh setelah luka itu dirawat ketua adat,” kata Feka.
Tidak mudah membangun satu unit rumah adat dengan nilai sampai Rp 270 juta tersebut. Semua bahan bangunan dari kayu, ilalang, rotan, dan hasil hutan lain. Bahan bangunan itu makin sulit didapat. Kebakaran hutan sebagai salah satu sebab terjadi kelangkaan rumput ilalang di Sumba.
Tidak ada bahan bangunan dari pabrik, kecuali perkakas dapur. Bagian rumah joglo paling puncak sebagai tempat tinggal leluhur yang disebut ”Merapu”. Di situ diletakkan benda-benda pusaka, seperti keris, parang kuno, batu-batuan, gong, gendang, busur, dan panah. Bagian tengah tempat menyimpan makanan hasil panen seperti jagung, padi, pisang, kacang, dan umbi-umbian.
Panggung untuk duduk, tidur, dan menerima tamu atau tempat pertemuan, sekaligus tempat memasak. Paling dasar, tanah, dimanfaatkan untuk memelihara ternak, seperti ayam, kambing, babi, kuda, dan kerbau.
Ia mengatakan, rumah adat di Sumba sangat rentan terbakar. Ini terjadi karena semua bahan bangunan diambil dari hutan. Sumber awal api biasanya dari tungku memasak. Kebakaran rumah adat di dua kampung itu sudah terjadi keempat kali, yakni 1960, 1975, 1980, dan 2021.
Memang tidak ada korban jiwa dalam kasus kebakaran itu. Tetapi sebagian besar barang tidak dapat diselamatkan karena saat kejadian mayoritas penghuni ada di ladang. —Daniel Jama
Pemkab Sumba Barat Daya yang diwakili Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sudah turun ke lokasi. Kejadian ini juga sudah dilaporkan ke Pemprov NTT dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
”Mudah-mudahan tahun 2022 ada dukungan dari Pemkab, Pemprov, dan pemerintah pusat membangun rumah adat tersebut. Mungkin bisa dibangun secara bertahap. Masyarakat tidak mampu membangun rumah adat itu sendiri,” kata Feka.
Kerusakan benda-benda pusaka peninggalan leluhur tentu tidak bisa digantikan. Akan tetapi, melalui proses ritual tertentu, benda-benda itu bisa diadakan kembali oleh ketua adat.
Sembilan rumah adat ini dihuni 35 orang. Saat ini mereka menginap di kampung-kampung tetangga. Pemda setempat telah memberi bantuan darurat berupa bahan pokok, terpal, dan obat-obatan.
Daniel Jama (54), menghuni salah satu rumah adat, mengatakan dirinya kehilangan seluruh barang di dalam rumah itu. Saat kebakaran, ia bersama istri dan dua anak sedang membersihkan ladang, persiapan musim tanam 2021/2022. Saat kejadian tidak ada penghuni.
”Memang tidak ada korban jiwa dalam kasus kebakaran itu, tetapi sebagian besar barang di dalam rumah tidak dapat diselamatkan karena saat kejadian mayoritas penghuni ada di ladang,” katanya.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sumba, Umbu Manurara mengatakan, Pemkab empat daerah di Sumba harus mengasuransikan semua rumah adat di daerah itu. Saat terjadi kebakaran seperti sekarang, masyarakat mengklaim penggantian yang baru. Meski rumah adat itu milik suku dan ditempati suku tertentu, tetapi menjadi tanggung jawab pemerintah.
”Minimal rumah kepala suku, sekaligus ketua adat setempat. Jika rumah kepala suku sudah hadir, rumah adat milik anggota suku secara perlahan dapat dibangun,” kata Manurara.