Sebagian rato atau kepala suku dan ketua adat di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur menolak jadwal pasola yang ditentukan pemerintah daerah setempat bersama beberapa kepala suku. Jadwal pasola seharusnya lahir dari hasil permenungan adat tanpa intervensi pemerintah. Jadwal baru kini tengah disusun.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·2 menit baca
TAMBOLAKA, KOMPAS- Sebagian rato atau kepala suku dan ketua adat di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur menolak jadwal pasola yang ditentukan pemerintah daerah setempat bersama beberapa kepala suku. Jadwal pasola seharusnya lahir dari hasil permenungan adat tanpa intervensi pemerintah. Jadwal baru kini tengah disusun.
Pasola adalah tarian perang perwujudan syukur atas panen warga. Sambil menunggang kuda, dua kubu saling melemparkan tongkat (lembing). Kelompok yang terkena lemparan tongkat dinyatakan kalah. Mereka diyakini memiliki kesalahan dalam hidup.
Panen hasil pertanian ini diikuti dengan panen hasil laut berupa nyale atau cacing laut. Jika nyale banyak ditemukan, hasil pertanian diyakini melimpah. Selain jadi acara adat, pasola menjadi daya tarik wisata khas di NTT.
Pasola biasanya berlangsung di tujuh desa adat. Homba Kalaiyo, sebagai tempat pelaksanaan Pasola pertama. Kemudian berturut-turut dilaksanakan di Desa Adat Bondo Kawango, Rarawinyo, Maliri, Bondoate, Waiha, dan terakhir di Desa Adat Wainyapu. Semuanya berada di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD).
Anggota DPRD Kabupaten SBD, David Ramone saat dihubungi Sabtu (2/2/2019) mengatakan, hasil pertemuan Pemkab SBD dengan beberapa perwakilan rato SBD pada 25 Januari sempat memutuskan waktu pelaksanaan pasola tahun ini. Dimulai 30 Januari di Desa Homba Kalaiyo dan terakhir di Desa Wainyapu pada 8 Maret.
“Setelah kesepakatan disebarkan kepada masyarakat , sebagian besar masyarakat dan rato protes. Saat berdialog di Gedung DPRD SBD, mereka mempersoalkan peran serta pemerintah dalam menentukan jadwal pasola. Pasola adalah urusan adat. Jadwal dan penyelenggaraannya dilakukan masyarakat adat dengan keputusan mutlak pada rato kepala,”kata Ramone.
Jadwal yang ditetapkan pemerintah bertentangan dengan jadwal yang selama ini dikeluarkan para rato. Biasanya, rato kepala Tosi Bukabani dan wakilnya Tosi Barada akan bermimpi atau melihat petunjuk di rumah adat setelah melakukan ritual khusus. Petunjuk ini kemudian dipadukan dengan penampakan posisi bulan yang terpantau dari celah tiang utama rumah adat.
Rato lain pun melakukan ritual serupa. Jika satu atau dua orang rato dari delapan rato memiliki kemiripan petunjuk dengan rato kepala dan wakilnya maka jadwal pasola bisa ditetapkan. Ramone mengatakan, biasanya para rato memutuskan pasola pertama jatuh pada tanggal 14-16 Februari dan berakhir pertengahan Maret.
"Para rato kini sedang membahas jadwal pasola. Dalam waktu dekat, jadwalnya akan segera dikeluarkan dan diumumkan kepada masyarakat," kata dia.
Kepala Dinas Pariwisata SBD Christofel Horo mengatakan, pihaknya selalu berpatokan pada jadwal yang ditetapkan para rato. Pemkab hanya menfasilitasi pertemuan itu dan ikut menyampaikannya pada masyarakat. Namun, bila ada yang keberatan, ia mempersilahkan disusun jadwal baru. Menurut dia, hal terpenting waktunya disepakati semua pihak.