Balai Arkeologi Sulawesi Utara berharap wacana peleburannya dengan BRIN dapat memperkuat dukungan sarana dan prasarana demi kepentingan riset. Termutakhir, riset soal permukiman purba di sekitar Danau Tondano tertunda.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MINAHASA, KOMPAS — Balai Arkeologi Sulawesi Utara berharap wacana peleburannya ke Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN dapat memperkuat dukungan sarana dan prasarana demi kepentingan riset. Termutakhir, penyelesaian riset soal permukiman purba di sekitar Danau Tondano belum tuntas akibat kekurangan alat untuk survei di lanskap rawa.
Hal ini disampaikan Kepala Balai Arkeologi Sulut Wuri Handoko dalam peluncuran hasil riset seputar kehidupan masa lampau wilayah Tondano, Kabupaten Minahasa, Senin (1/11/2021), di kompleks situs sejarah Benteng Moraya. Hasil riset itu didiseminasi dalam bentuk film animasi, situs wisata virtual, serta buku pelengkap bahan ajar sekolah.
Film animasi menceritakan peradaban di Tondano antara 1600 dan 1800 yang ditandai dengan kubur batu atau waruga serta budaya mapalus (gotong royong) dalam menanam padi ladang dan membangun Benteng Moraya sebagai garda pertahanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Pada bagian akhir film berdurasi 10 menit itu, ditampilkan rumah-rumah panggung di atas perairan danau.
Rumah-rumah tersebut, yang menunjukkan permukiman purba Tondano sebelum 1810, seharusnya menjadi inti dari riset kerangka program yang disebut Rumah Peradaban yang dicanangkan pada Maret 2021. Namun, hal itu belum bisa ditampilkan di film animasi yang dirilis karena kegiatan riset belum dapat menjangkaunya.
”Kami ingin film animasi ini membahas seluas mungkin soal permukiman kuno Tondano, tetapi hasil risetnya belum sampai seluas itu. Jadi, kami tetapkan ini baru tahap pertama, permulaan. Baru sampai di terbentuknya perkampungan lama, itu pun belum detail,” tutur Wuri.
Survei lokasi di daerah rawa-rawa, yang diduga dulunya adalah sempadan danau dan dijadikan permukiman terapung, masih sulit dilakukan. Sebab, tidak ada sarana seperti drone (pesawat nirawak) dan lidar (light detection and ranging) untuk mendapatkan gambaran lokasi.
Akibatnya, tim Rumah Peradaban yang diketuai Irfanuddin Wahid Marzuki kesulitan menyusun strategi dan metodologi penelitian secara komprehensif. Menurut Irfan, gambaran kampung kuno dalam film animasi masih hanya didasarkan pada pembahasan singkat dalam disertasi studi doktoralnya.
Karena itu, situs tur virtual juga hanya dapat menampilkan kompleks Benteng Moraya masa kini, sedangkan buku bahan ajar membahas beragam peninggalan arkeologis Minahasa. Di sisi lain, kata Irfan, anggaran riset yang awalnya direncanakan Rp 300 juta juga terpangkas karena realokasi untuk menangani Covid-19 yang jauh lebih mendesak.
Karena itu, Wuri berharap pemindahan Balai Arkeologi ke struktur BRIN, jika jadi, dapat mempermudah penyediaan fasilitas riset dari deputi khusus yang mengurus sarana dan prasarana. Berbagai kebutuhan ini belum dapat terpenuhi di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hanya balai arkeologi beberapa daerah yang memiliki peralatan lengkap.
Wuri juga mengharapkan peleburan itu dapat memantik sinergi antarlembaga riset. Ia mencontohkan, riset soal permukiman purba di area Danau Tondano membutuhkan pula keahlian di bidang seperti geologi, lingkungan, hidrologi, dan pertanian. ”Mudah-mudahan akan lebih mudah koordinasinya kalau sudah satu payung,” katanya.
Empat lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) dilebur ke dalam BRIN berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021 tentang BRIN. Lembaga-lembaga itu adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Dimanfaatkan
Untuk sementara, film animasi, situs wisata virtual, dan buku bahan ajar yang telah jadi dapat dimanfaatkan publik dan siswa sekolah dasar hingga menengah atas dan kejuruan, terutama untuk mendukung pendidikan sejarah. Kendati begitu, ia mengakui belum ada rencana untuk memastikan pemakaiannya secara nyata di ruang kelas di Minahasa atau Sulut.
”Kami inginnya juga begitu, misalnya, Badan Penelitian dan Pengembangan daerah datang dan memulai pembicaraan. Tetapi, sampai sekarang belum ada pembicaraan ke arah sana,” ujar Irfanuddin.
Pelaksana Harian Kepala Dinas Pendidikan Minahasa Tommy Wurangian mengatakan, untuk sementara buku bahan ajar dari Balai Arkeologi Sulut akan dijadikan sumber referensi di perpustakaan sejumlah sekolah. Di samping itu, ia akan mendorong guru untuk meminta siswa mengunjungi langsung situs-situs arkeologi yang dibahas dalam buku tersebut.
”Kami memang sudah mengacu kurikulum dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan topik ini sudah ada di pelajaran IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) di tingkat SMP dan SMA. Jadi, tinggal bagaimana kita memaksimalkan manfaatnya (riset dari Balai Arkeologi) untuk mendukung kegiatan belajar mengajar,” kata Tommy.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Minahasa Teddy Sumual mengatakan, situs wisata virtual serta film animasi dapat menjadi sarana promosi wisata di Minahasa. Calon wisatawan akan dapat menemukan cerita dari situs-situs budaya serta membandingkan perbedaannya ratusan tahun lalu dengan masa kini.
Di samping itu, lanjut Teddy, akan menjadikannya bahan pengayaan bagi pemandu wisata budaya. Ada 12 orang yang saat ini sedang dibina bersama Balai Arkeologi Sulut dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo.