Situs Permukiman Kuno di Sekitar Danau Tondano Direkonstruksi
Balai Arkeologi Sulawesi Utara menemukan indikasi adanya permukiman prasejarah di sekitar Danau Tondano. Hasil rekonstruksi perkampungan kuno itu nantinya dipublikasikan dalam bentuk digital.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Balai Arkeologi Sulawesi Utara menemukan indikasi adanya permukiman prasejarah di sekitar Danau Tondano. Hasil rekonstruksi perkampungan kuno itu nantinya dipublikasikan dalam bentuk wisata virtual, film animasi, serta buku bagi siswa sekolah demi meningkatkan apresiasi warga terhadap sejarah dan kebudayaan asli Minahasa.
Hal ini diungkapkan Kepala Balai Arkeologi Sulut Wuri Handoko dalam konferensi pers di Manado, Rabu (3/3/2021). ”Di kawasan Danau Tondano ada situs-situs permukiman kuno lahan gambut dan rawa lahan basah. Ini juga bisa ada kaitannya dengan Benteng Moraya dan Perang Tondano,” kata Wuri.
Penelitian ini bertujuan merekonstruksi interpretasi arkeologis bentuk permukiman dan bentuk Benteng Moraya di situs tersebut. Lanskap sosial budaya penduduknya juga akan diungkap. Tujuan-tujuan ini dikemas dalam program Rumah Peradaban.
Riset di sekitar Danau Tondano telah dimulai oleh peneliti Balai Arkeologi Sulut, Irfanuddin Wahid Marzuki, dalam disertasinya. Menurut catatan terdahulu dari David Henley, profesor studi keindonesiaan Universitas Leiden, Belanda, permukiman paling padat di Minahasa saat kolonialisme Belanda terletak di Tondano dan Tombulu. Daerah yang disebut sebagai Minawanua itu berada di sekitar Monumen Benteng Moraya saat ini.
Kedatangan kolonialisme Belanda berpengaruh pada tata kota Tondano, yang menjadi ibu kota Kabupaten Minahasa kini, terutama sejak 1800-an. Sebagian besar lahan di sekitar Benteng Moraya sekarang berupa sawah. Benteng Moraya yang terbuat dari kayu pun sekarang sudah tak ada, hanya menyisakan monumen berbentuk menara dan cerita-cerita lisan.
Penemuan perkakas dari keramik di tempat itu dapat menjadi titik awal penelitian soal permukiman, begitu juga penemuan kubur batu waruga. ”Minahasa tidak mengenal konsep pekuburan umum hingga 1820 setelah diperkenalkan Belanda. Jenazah hanya diletakkan di dalam kubur batu di sekitar rumah mereka. Kalau ada waruga, berarti ada permukiman di situ dan kita akan bisa melihat polanya,” kata Irfan.
Rekonstruksi permukiman itu sulit karena wilayah Minawanua sudah bersentuhan dengan alat-alat berat konstruksi. Benteng Moraya, misalnya, telah berubah menjadi kompleks wisata dengan bangunan modern. ”Pola permukiman akan kami rekonstruksi berdasarkan data arkeologi dan digitalisasi,” ujar Irfan.
Wuri mengatakan, hasil riset nantinya disebarluaskan dalam bentuk wisata virtual serta digital pada sebuah situs daring dan film animasi. Dengan begitu, Balai Arkeologi dapat memperkenalkan Danau Tondano bukan hanya sebagai obyek wisata alam, tetapi juga wisata budaya yang menjadi rumah berbagai situs arkeologi prasejarah hingga kolonial.
Di samping itu, 600-900 eksemplar buku ajar nonteks yang terstandardisasi oleh pusat kurikulum pendidikan dan perbukuan akan didistribusikan ke berbagai sekolah di Kabupaten Minahasa. Harapannya, sejarah dan kebudayaan dari tanah Minahasa dapat lebih mudah dijangkau oleh generasi muda.
”Tentu kita berusaha agar cita-cita pemajuan kebudayaan itu bukan hanya utopia. Selama ini, kebudayaan tidak menjadi isu mainstream pembangunan. Padahal, kebudayaan bisa turut menentukan arah pembangunan,” ujar Wuri.
Untuk membuat laman internet, misalnya, dibutuhkan dana Rp 120 juta, tetapi dana yang tersedia hanya setengahnya.
Balai Arkeologi Sulut telah menyiapkan Rp 300 juta untuk program itu. Menurut dia, dana tersebut sangat terbatas. Untuk membuat laman internet, misalnya, dibutuhkan dana Rp 120 juta, tetapi dana yang tersedia hanya setengahnya. Hal itu akan disiasati dengan, misalnya, mengadakan pameran kebudayaan bersama berbagai komunitas saat peluncuran situs dan film animasi.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Minahasa Melisa Rondonuwu mengatakan, pihaknya menyambut baik upaya Balai Arkeologi Sulut untuk merekonstruksi situs budaya tersebut. Ia mengatakan, Pemkab Minahasa juga telah melaksanakan proyek-proyek pendukung, seperti membangun menara pandang bagi pengunjung danau.
Terkait kebudayaan, pemkab tengah berupaya menghidupkan kembali sanggar-sanggar seni di 25 kecamatan. Pemkab juga meminta setiap desa memiliki setidaknya seperangkat kolintang demi mendukung alat musik itu menjadi warisan budaya dunia dari Indonesia.
”Kami juga sedang mendata cagar-cagar budaya di Minahasa, yang telah terkumpul sudah 130-an. Kami juga tengah menyusun pokok pikiran kebudayaan daerah untuk diberikan kepada Pemprov Sulut,” kata Melisa.
Sementara Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kebudayaan Sulut Patricia Mawitjere mengatakan, pihaknya akan mendukung semua upaya pelestarian kebudayaan yang sedang dilaksanakan Balai Arkeologi Sulut. Menurut dia, program-program serupa akan memajukan pula ekonomi kebudayaan. Selama ini kebudayaan dipandang sebagai bagian dari pariwisata, bukan sebaliknya.