Kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus seperti fenomena gunung es karena tidak banyak penyintas yang berani melapor.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kampus harus menjadi tempat yang aman bagi sivitas akademika. Salah satu yang menjadi prioritas adalah pencegahan kekerasan dan pelecehan seksual. Sayangnya, regulasi tentang pencegahan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi belum ada sehingga Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sejak tahun lalu menyiapkan regulasi tersebut.
Kini, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi telah disahkan. Dengan demikian, perguruan tinggi pun tidak menoleransi kekerasan seksual.
Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes), Siti Nur Dzakiyyatul Khasanah yang juga Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anti-Kekerasan Seksual Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) Unnes, Kamis (28/10/2021), menyambut baik keluarnya Permendikbudristek Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. ”Yang paling penting praktiknya atau implementasinya untuk mencegah dan menindaklanjuti kasus kekerasan seksual di kampus yang seperti fenomena gunung es,” ujar perempuan yang akrab disapa Kiyya tersebut.
Menurut Kiyya, BEM KM Unnes menyadari permasalahan kampus yang seharusnya menjadi laboratorium percontohan dalam penegakan dan pemenuhan hak asasi justru hari ini menjadi tempat yang tidak aman dengan semakin menjamurnya kasus-kasus kekerasan seksual. Salah satu bukti konkret bahwa kampus menjadi tempat yang tidak ramah bagi penyintas kekerasan seksual tampak dari hasil survei yang dihimpun oleh BEM KM Unnes 2021.
Dari 133 responden, 59 di antaranya mengaku pernah mengalami kekerasan seksual. Sebanyak 93,38 persen korbannya adalah perempuan dan 6,02 persen korban lainnya laki-laki. Para korban paling banyak berstatus mahasiswa mencapai lebih dari 90 persen, lalu karyawan, dosen, dan alumni. Mayoritas korban tidak melaporkan kasus yang dialaminya dan sisanya sudah melapor ke pihak atau lembaga yang berwenang.
Lebih jauh lagi, kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus seperti fenomena gunung es karena tidak banyak penyintas yang berani melapor. Permasalahan psikologis penyintas seperti kecemasan yang ditimbulkan akibat kasus kekerasan seksual memengaruhi korban dalam mengambil keputusan untuk melaporkan kasusnya atau tidak.
Saat ini, semua perguruan tinggi memiliki peraturan khusus untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di lingkungan kampus. Meskipun ada kebijakan rektor yang mengatur kekerasan seksual di beberapa kampus, turan itu dirasa belum maksimal karena masih diikuti dengan struktur birokrasi yang tidak independen.
”Kami akan terus mengawal supaya satuan tugas atau satgas yang menangani kekerasan seksual dengan melibatkan sejumlah pihak, termasuk mahasiswa, ini independen,” kata Kiyya, mahasiswa program studi psikologi.
Dalam Permendikbudristek dijelaskan, pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dilaksanakan dengan prinsip kepentingan terbaik bagi korban, keadilan dan kesetaraan jender, kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, akuntabilitas, independen, kehati-hatian, konsisten, dan jaminan ketidakberulangan.
Sasaran pencegahan dan penanganan kekerasan seksual meliputi mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, warga kampus, serta masyarakat yang berinteraksi dengan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam pelaksanaan Tridharma perguruan tinggi.
Perguruan tinggi wajib melakukan pencegahan kekerasan seksual melalui pembelajaran, penguatan tata kelola, penguatan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan. Satgas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang sudah ada di perguruan tinggi harus menyesuaikan dengan aturan baru dalam satu tahun. Adapun yang belum memiliki satgas harus membentuk nya dalam waktu paling lama satu tahun.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Ristek, dan Teknologi Kemendikbudristek Nizam menjelaskan, Kemendikbudristek sejak awal berkomitmen untuk menjadikan kampus sebagai tempat paling aman bagi seluruh warganya. Melalui Permendikbudristek Penanganan Kekerasan Seksual diharapkan ada kejelasan dan kepastian hukum dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Nizam memaparkan, prinsip dasarnya adalah cegah, yaitu dengan melakukan pencegahan melalui edukasi dan pembentukan lembaga yang kuat untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan/pelecehan seksual. Lalu, lapor jika terjadi kekerasan seksual, korban atau orang yang mengetahui harus mudah melapor dan memastikan perlindungan korban dan pelapor. Laporan harus ditindaklanjuti dengan pendekatan keberpihakan pada korban.
Korban atau orang yang mengetahui harus mudah melapor dan memastikan perlindungan korban dan pelapor. Laporan harus ditindaklanjuti dengan pendekatan keberpihakan pada korban.
Prinsip lainnya adalah lindungi. Korban harus dilindungi, didampingi, dan dipulihkan melalui layanan yang tepat. Terakhir, harus ada sanksi yang tegas dan memberi efek jera dengan gradasi sesuai tingkat kesalahan.
Kemendikbudristek bersama seluruh pemangku kepentingan akan terus melakukan sosialisasi, mendorong, dan memfasilitasi perguruan tinggi untuk membentuk Satgas, melakukan pemantauan, serta menyiapkan dukungan di pusat dan di Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi. Tim Kemendikbudristek sudah menyiapkan berbagai program dan media informasi. Selain itu, keterlibatan seluruh pemangku kepentingan juga sangat penting.
Kemendikbudristek sudah berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan, seperti Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, organisasi-organisasi yang aktif dalam gerakan melawan kekerasan seksual, pusat-pusat studi perempuan di perguruan tinggi, dan semua pihak yang berkepentingan dan peduli terhadap kekerasan seksual.