Sejarah menjadi salah satu sumber inspirasi dalam menulis karya sastra. Di sisi lain, sastra menyediakan cara baru menulis sejarah agar mudah dipahami dan lebih membumi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah penulis menjadikan sejarah sebagai inspirasi untuk membuat karya sastra. Kendati berupa cerita fiksi, riset tetap dibutuhkan agar pengembangan fiksi mempunyai dasar yang kuat.
Hal itu mengemuka pada diskusi daring bertajuk Sejarah sebagai Sumber Kreativitas Sastra, di Jakarta, Minggu (10/10/2021). Diskusi ini menghadirkan penulis novel sejarah Iksaka Banu, antropolog Nusya Kuswantin, dan peneliti sejarah Amurwani Dwi Lestariningsih.
Iksaka Banu kerap menulis cerita dengan latar zaman kolonial. Cerpen pertamanya yang berjudul Mawar di Kanal Macan, misalnya, bercerita tentang skandal percintaan dan seksual seorang letnan militer dengan seorang perempuan biasa. Cerita tersebut memotret kondisi sosial di masa itu yang menabukan perzinahan.
“Menurut saya, cerita itu bagus untuk menyorot kehidupan orang di luar pusaran sejarah. Cerita ini diangkat supaya orang tahu di luar (pusat sejarah) ada cerita lain, cerita orang biasa,” kata Iksaka.
Untuk menulis cerita dengan latar masa kolonial, ia mempelajari dokumen, makalah, hingga buku-buku sejarah. Ia juga membaca sastra sejarah untuk memperoleh suasana dan emosi yang terjadi di masa lampau.
Cerita itu bagus untuk menyorot kehidupan orang di luar pusaran sejarah. Cerita ini diangkat supaya orang tahu di luar (pusat sejarah) ada cerita lain, cerita orang biasa.
Pada novel Pangeran dari Timur, Iksaka menulis sisi lain dari pelukis Raden Saleh. Pembuatan novel ini berangkat dari rasa ingin tahu mengapa sosok Raden Saleh digambarkan tanpa cela.
Dalam novel, dua sisi Raden Saleh diceritakan melalui dua karakter, yakni sosok tanpa cela dan sosoknya sebagai orang yang “nakal”. Ia berharap agar novel ini menyediakan alternatif untuk melihat sosok besar dalam sudut pandang manusia biasa.
Iksaka menambahkan, ada tiga metode dasar menulis fiksi sejarah. Pertama, dramatisasi sejarah. Kedua, dekonstruksi sejarah dengan pemberitahuan bahwa karya tersebut adalah fiksi. Ketiga, menjadikan sejarah sebagai latar cerita tanpa menghapus kejadian-kejadian penting.
“Metode ketiga adalah yang biasanya saya gunakan. Ada tokoh fiktif yang menjadi tokoh utama dan membentuk opini,” ujarnya.
Berdasarkan sejarah
Sementara itu, Nusya Kuswantin mengatakan, ia butuh waktu lama untuk menyelesaikan novel Lasmi. Novel tersebut disusun berdasarkan kisah-kisah yang terjadi di kampung halamannya pada masa Orde Baru. Adapun kisah Lasmi, seorang kader Gerwani, berangkat dari rahasia umum di kampung; kematian seorang perempuan yang dieksekusi dengan cara ditembak.
Buku ini mengalami proses panjang hingga akhirnya terbit pada tahun 2009. Salah satu tantangan penulisan ialah rasa gentar, sebab peristiwa 1965 masih menyisakan ngeri. Selain itu, Nusya sempat kesulitan menentukan tokoh yang cocok menjadi sosok “aku”. Ia pun memperkaya referensi sejarah dengan belajar dan memperluas pergaulan.
“Pretensi saya untuk menulis adalah agar keponakan-keponakan saya tahu ada fase sedemikian kelam di kampung kita. Kejadian itu tidak boleh terulang lagi,” ujarnya.
Menurut Amurwani Dwi Lestariningsih, sastra menyediakan cara baru menulis sejarah agar mudah dipahami. Sastra sejarah juga membumikan sejarah. Sebab, sejarah ini berpusat ke orang-orang besar sehingga sulit dibayangkan orang yang mempelajari sejarah.
“Akan sangat menarik jika sejarah ditulis dalam karya sastra. Tentu itu dilakukan sambil mengecek terus menerus (sejarah),” kata Amurwani.