Hadiah Nobel Sastra 2021 diberikan kepada Abdulrazak Gurnah, novelis asal Tanzania, atas karyanya yang menyingkap perspektif lain soal pengungsi dan Afrika.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
STOCKHOLM, KAMIS – Novelis asal Tanzania Abdulrazak Gurnah (73) menerima Hadiah Nobel 2021 atas karya sastranya tentang dampak kolonialisme terhadap pengungsi. Tulisannya membuka perspektif terhadap kekayaan budaya Afrika Selatan, serta akar identitas para pengungsi yang hilang akibat migrasi.
Penetapan Gurnah sebagai pemenang Nobel Sastra 2021 diumumkan oleh Akademi Swedia di Stockholm, Swedia pada Kamis (7/10/2021). Ia adalah orang kedelapan yang menerima Nobel tahun ini. Gurnah akan memperoleh hadiah 10 juta kronor Swedia atau sektar Rp 16 miliar.
“(Nobel Sastra diberikan) untuk perjuangannya yang tak kenal lelah mengungkap dampak kolonialisme dan nasib para pengungsi di antara jurang kebudayaan dan benua-benua,” kata perwakilan Akademi Swedia.
Gurnah telah merilis sepuluh novel dan sejumlah cerita pendek. Cerita bertema pengungsi ada di tulisan-tulisannya. Sejak novel berjudul Paradise (1994) terbit, Gurnah diakui sebagai salah satu penulis paling menonjol.
Ia konsisten menceritakan dampak kolonialisme yang terjadi di Afrika Selatan, tempat Gurnah lahir dan tumbuh. Perspektif tentang migran yang terpaksa kabur mencari suaka ke negara lain, kemudian kehilangan identitas di tanah asing merupakan benang merah dari semua novelnya.
Di tengah kebingungan identitas tersebut, para karakter di novel Gurnah masih dihadapkan dengan pilihan antara berpegang ke masa lalu atau fokus membangun masa depan. Lebih jauh, karya sastra Gurnah dinilai memberi perspektif mendalam tentang buntut kolonialisme, seperti rasisme bahkan di negara suaka.
(Nobel Sastra diberikan) untuk perjuangannya yang tak kenal lelah mengungkap dampak kolonialisme dan nasib para pengungsi di antara jurang kebudayaan dan benua-benua.
Ketua Komite Nobel Anders Olsson mengatakan, dedikasi Gurnah pada kebenaran dan keengganannya tunduk pada penyederhanaan isu sangat kuat. Hal ini membuat Gurnah tak ragu membuat tulisannya suram dengan kejujuran.
“Karyanya memberi gambaran yang jelas tentang sisi lain Afrika yang tidak banyak diketahui pembaca, daerah pesisir di dalam dan sekitar Samudera Hindia yang ditandai oleh perbudakan dan pergeseran bentuk represi di bawah rezim kolonial: Portugis, India, Arab, Jerman, dan Inggris,” tuturnya.
Olsson menambahkan, pemilihan Gurnah sebagai pemenang Nobel Sastra tidak berhubungan dengan gelombang migrasi di dunia, seperti yang terjadi di Afghanistan. Pemilihan pemenang berdasarkan karya yang dihasilkan Gurnah selama bertahun-tahun.
Menulis di pelarian
Gurnah pertama kali menulis novel saat berusia 21 tahun. Kala itu ia dalam pelarian ke Inggris setelah kampung halamannya di Zanzibar, Tanzania bergejolak. Revolusi politik terjadi di bawah pemerintahan Presiden Abeid Karume.
Revolusi itu mendorong penindasan dan persekusi bagi penduduk Arab di sana. Pembunuhan massal terjadi. Gurnah yang keturunan Arab terpaksa kabur meninggalkan keluarga dan negaranya saat berumur 18 tahun.
Gurnah baru kembali ke Zanzibar 18 tahun kemudian pada 1984, sesaat sebelum ayahnya meninggal. Gurnah kini menetap di Inggris. Ia baru saja pensiun sebagai profesor Sastra Inggris dan Pascakolonial di Universitas Kent, Inggris.
Bahasa ibu Gurnah adalah Swahili, namun ia menulis sastra dalam bahasa Inggris. Ia mengatakan bahwa di Zanzibar, aksesnya terhadap sastra berbahasa Swahili nyaris nol. Puisi Arab dan Persia, serta surah Al Quran merupakan referensi penting dalam karier menulisnya. Namun, tradisi berbahasa Inggris dari Shakespeare hingga VS Naipaul merupakan dorongan besar berkarya dalam bahasa Inggris.
Menurut Olsson, pilihan bahasa Gurnah telah mendobrak perspektif kolonial. Tujuannya untuk memberi tempat bersuara bagi penduduk asli di tulisannya. “Tulisan Gurnah selama pelarian mempertahankan hubungannya dengan tempat yang ia tinggalkan. Artinya, memori menjadi vital dalam proses menulisnya,” ucap Olsson.
Sementara itu, Gurnah menerima kabar kemenangan melalui telepon. Ia mengaku tidak menyangka akan menerima Hadiah Nobel Sastra. Ia mengira orang lain yang akan menerima hadiah itu.
Melansir Reuters, Gurnah merupakan orang Afrika yang menerima Nobel Sastra setelah penulis asal Zimbabwe, Doris Lessing, menyabet penghargaan itu di 2007. Ia juga orang kulit berwarna kedua dari wilayah Sub-Sahara Afrika yang menang setelah penulis Nigeria Wole Soyinka pada 1986.
Sebanyak 114 Hadiah Nobel Sastra telah dibagikan sejak 1901. Hadiah Nobel bersumber dari warisan jutawan Swedia, Alfred Nobel, pada pihak-pihak yang berkontribusi besar bagi kemanusiaan.