Budaya Melayu Deli Makin Terpinggirkan di Kota Medan
Kebijakan Wali Kota Medan Bobby A Nasution yang mewajibkan ASN memakai pakaian adat delapan etnis dikhawatirkan semakin menggerus identitas Melayu Deli sebagai penduduk tempatan Kota Medan.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
Kebijakan Wali Kota Medan Bobby A Nasution mewajibkan aparatur sipil negara mengenakan pakaian adat delapan etnis menimbulkan keresahan di kalangan warga Melayu. Kebijakan itu dikhawatirkan semakin menggerus identitas Melayu Deli sebagai penduduk tempatan di Medan. Dengan semakin terpinggirnya kebudayaan Melayu, Medan bakal berkembang menjadi kota tanpa identitas dan menjadi daerah tidak bertuan secara kultural.
”Dari hari ke hari, identitas kemelayuan di Kota Medan terus tergerus. Sebelumnya ornamen-ornamen kereta api, bus, hingga bandara juga tidak lagi menggunakan identitas kebudayaan Melayu,” kata Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Medan Ichwan Azhari dalam diskusi bertajuk ”Identitas Kota Medan”, Selasa (28/9/2021).
Dalam diskusi melalui video konferensi itu hadir pengajar dan guru besar dari sejumlah kampus di Medan, seperti Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) OK Saidin, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya USU Budi Agustono, dan Guru Besar Fakultas Pertanian USU Hasnudi. Hadir juga Rektor Universitas Islam Sumatera Utara Yanhar Jamaluddin dan pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU, Sakhyan Asmara.
Bobby mewajibkan ASN di jajarannya memakai pakaian adat delapan etnis setiap Jumat. Kebijakan yang diatur melalui Keputusan Wali Kota Medan Nomor 025/02.K/VII/2021 itu pun sudah mulai dilaksanakan sejak awal September. Delapan etnis yang disebut sebagai penduduk tempatan adalah Melayu, Karo, Simalungun, Dairi, Toba, Tapanuli Selatan, Mandailing, dan Nias.
Sejumlah pihak menilai kebijakan Bobby tersebut menunjukkan Pemerintah Kota Medan tidak memahami kebudayaan dan sejarah daerah yang dipimpinnya karena penduduk tempatan di Medan adalah Melayu dan Karo. Hal itu pun menambah daftar panjang kebijakan yang menggerus kebudayaan Melayu sebagai penduduk tempatan Kota Medan. Penggunaan pakaian adat dalam pakaian resmi aparatur pemerintah seharusnya memahami kultur budaya setempat.
Ichwan mengatakan, Medan sebagai kota termasuk baru dibandingkan dengan kebudayaan Melayu. ”Namun, semakin lama, orang tidak melihat lagi kebudayaan Melayu; selain pemanfaatan simbolnya dalam momen politik tertentu, yakni Istana Maimun dan Masjid Raya Al Mashun,” kata Ichwan.
Penduduk dengan kebudayaan Melayu sudah berabad-abad bermukim di sepanjang Sungai Deli dan Sungai Babura. Ketika Medan bertumbuh sebagai kota besar yang baru seiring dengan masuknya industri perkebunan pada abad ke-19, kebudayaan Melayu awalnya tetap hidup di Medan.
Pakaian adat Melayu Deli pun menjadi salah satu identitas kebudayaan yang sangat kuat. Selain itu, Melayu Deli juga mempunyai tarian dan alat musik khas yang terus hidup di tengah masyarakat kota yang kosmopolitan.
Rangkaian alat musik Melayu, misalnya, mengambil dua alat musik dari Barat, yakni akordeon dan biola. Alat musik itu dipadukan dengan instrumen lokal, seperti gendang, gambus, tambur, dan kompang, sehingga menghasilkan dendang Melayu yang indah.
Musik-musik Melayu pun hidup di tengah masyarakatnya untuk mengiringi tarian, menemani pekerja di ladang, di laut, ekspresi masa animisme, lagu hikayat, dan pengiring Tarian Serampang Dua Belas yang terkenal.
”Di tahun 1950-an juga muncul legenda Melayu dalam komik Medan. Karya sastra yang mendunia yang hingga kini diagungkan di Jakarta, tetapi dilupakan di Medan,” ujar Ichwan.
Melayu Deli juga mempunyai rumah panggung, etnobotani, layang-layang melayu paya pasir, dan dapur pembuat keris. ”Kebudayaan Melayu menunjukkan bahwa ada masyarakat yang punya sejarah peradaban panjang di Kota Medan,” kata Ichwan.
Namun, berbagai kebudayaan Melayu itu kini banyak yang terancam punah, seperti rumah panggung. Dapur pembuat keris melayu bahkan sudah punah. Padahal, menurut Ichwan, keris berawal dari Sumatera lalu berkembang ke Jawa.
”Tidak hanya kebudayaannya, populasi dan kantong-kantong masyarakat Melayu juga semakin hilang dari Kota Medan,” kata Ichwan.
Tidak hanya kebudayaannya, populasi dan kantong-kantong masyarakat Melayu juga semakin hilang dari Kota Medan.
Ichwan mengatakan, masyarakat Melayu juga harus melakukan otokritik. Tergerusnya kebudayaan Melayu juga karena tidak diurus oleh masyarakatnya. Menurut dia, sifat Melayu juga tidak kukuh tentang identitasnya dan sangat jarang berbicara tentang hak kulturalnya.
Jika dilihat jauh ke belakang, penjajahan kultural di Medan pun sudah dimulai sejak masuknya industri perkebunan besar ke Kota Medan. Kesultanan Deli ketika itu hanya mengatur wilayah di Istana Maimun dan sebagian wilayah di sekitarnya. Daerah lainnya pun diatur oleh pemerintahan kolonial Belanda.
Pakaian adalah identitas
Budi Agustono mengatakan, pakaian adat dan identitas kebudayaan Melayu adalah satu kesatuan yang sangat kuat. ”Dalam kebudayaan Melayu, pakaian adalah simbol status dan identitas kultural,” katanya.
Budi mengingatkan, kesalahan memahami arti penting dari identitas kultural pakaian bisa menimbulkan konflik. Ia mencontohkan sebuah polemik yang terjadi di Qatar karena salah satu restoran cepat saji dari Barat memakaikan pakaian adat setempat kepada simbol mereka.
Restoran cepat saji itu niatnya ingin mendekatkan diri kepada kebudayaan setempat, tetapi dianggap menghina identitas lokal sehingga terjadi konflik. ”Hal itu karena mereka tidak memahami identitas kultural di daerah itu,” kata Budi.
Jika ingin menjadikan pakaian adat sebagai pakaian resmi ASN di sebuah kota, harus dipahami identitas kebudayaan dan sejarah di kota itu. Menurut Budi, penduduk tempatan asli di Medan adalah Melayu dan Karo, sementara etnis lainnya adalah pendatang dari daerah lain di Sumut.
”Apabila tidak memahami identitas kebudayaan daerahnya, bisa malah menimbulkan konflik,” kata Budi.
Saidin mengatakan, kewajiban memakai pakaian adat delapan etnis juga rancu karena diatur melalui keputusan wali kota. ”Karena menyentuh kepentingan orang banyak, yakni delapan etnis sebagai penduduk tempatan, seharusnya tidak bisa hanya diatur dengan keputusan wali kota, tetapi dengan aturan yang lebih tinggi lagi,” tutur Saidin.
Sementara, menurut Sakhyan Asmara, Wali Kota Medan harus meninjau keputusan itu. Ia pun harus mengenal identitas kota yang dipimpinnya dan memberikan sumbangsih dalam menyelamatkan kebudayaan Melayu di Medan.
Sebelumnya, Bobby mengatakan, kewajiban memakai pakaian delapan etnis untuk ASN menggambarkan Medan sebagai kota multietnik. Pada Jumat pertama kebijakan itu dilaksanakan, Bobby pun memakai pakaian adat Melayu.
”Kita ambil nilai-nilai baik dari setiap etnis yang ada. Semangat kita untuk memajukan dan menjadikan etnis dan budaya yang ada di Medan sebagai potensi kekuatan,” kata Bobby.
Kepala Bagian Humas Pemerintah Kota Medan Arrahman Pane mengatakan, Wali Kota Medan mengenakan pakaian adat Melayu di hari pertama merupakan simbol bahwa Melayu merupakan etnis tempatan di Medan. ”Wali Kota juga sudah audiensi dan mendapat dukungan dari Kesultanan Deli,” kata Arrahman.