Sebait Pantun dan Kesedihan yang Tersirat dari Tanah Melayu
Pemerintah daerah dan warga tak lekas berpuas diri setelah mengantongi pengakuan UNESCO. Masih ada banyak hal yang perlu dibenahi agar Kepri dapat kembali tumbuh sebagai pusat kebudayaan Melayu.
Oleh
PANDU WIYOGA
·6 menit baca
Di Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau, seorang kuli angkut duduk ditemani radio butut. Suara empuk biduan Melayu, Iyeth Bustami, mendendangkan Tanjung Katung timbul tenggelam di antara bunyi krusek-krusek. ”Asal kapas menjadi benang/ Benang ditenun menjadi kain.... Orang yang lepas jangan dikenang/ Sudah menjadi si orang lain.” Laki-laki berkemeja lusuh itu ikut bernyanyi lirih sambil berteduh dari matahari yang sedang pongah-pongahnya.
Di Kota Tanjung Pinang, juga daerah lain di Kepulauan Riau pada umumnya, pantun sangat melekat dalam segala sendi kehidupan orang Melayu. Tradisi sastra lisan itu tak hanya eksis di tengah peluh para kuli pelabuhan dalam sebuah lagu dangdut yang sendu, tetapi juga di antara wangi seragam para pemimpin daerah dalam sepotong kata sambutan yang menawan.
Biasanya, jika ada kabar presiden atau menteri dari Jakarta akan berkunjung ke Tanjung Pinang, pada satu malam sebelumnya, para ajudan pemimpin daerah di sana akan tergopoh-gopoh mendatangi sebuah rumah warna ungu yang terletak tak jauh dari jalan menuju Istana Kota Piring tempat Gubernur Kepri berkantor. Mereka bermaksud menemui maestro pantun Melayu, Muhammad bin Ali Ahmad. Itu tandanya ada pemimpin daerah yang minta dibuatkan pantun untuk menyambut rombongan pejabat dari pusat.
”Kapal baru temberang baru/ Baru sekali masuk Melaka/ Abang baru adik pun baru/ Baru hari ini bertemu muka,” sambut Ali dengan raut jenaka sambil tersenyum ramah dari serambi rumah, Rabu (10/2/2021).
Kini, di usia 79 tahun, Ali mulai jarang tampil di atas panggung untuk berbalas pantun. Pendengaran pensiunan guru sekolah menengah itu sudah tak lagi prima. Meski demikian, ia masih tekun mencatat pantun untuk dibukukan, sekaligus untuk berjaga-jaga jika ada orang penting tiba-tiba minta dibuatkan pantun darurat, seperti kisah di atas.
Ali piawai membuat pantun dengan sangat cepat untuk berbagai situasi mulai dari menyambut tamu datang sampai mengantar mempelai ke pelaminan. Kata dia, inspirasi pantun bisa dari daya magis alam di sekitar. Sampiran pantun dipetik dari hijau pepohonan dan biru lautan. Sedangkan isi pantun disarikan dari makna terdalam kisah hidup manusia.
Fungsi edukasi
Agar mahir berpantun, kata Ali, seseorang harus jatuh cinta dulu pada bahasa. Ia sendiri terpukau dengan keindahan bahasa sejak usia yang sangat belia ketika mendengar ibunya melantunkan pantun dan syair Melayu untuk pengantar tidur. ”Mungkin pengalaman itu yang kemudian membuat bahasa menjadi sangat dekat di hati saya,” ucapnya.
Budayawan dan tokoh masyarakat Melayu, Abdul Malik, meyakini, kata ”tun” pada pantun berasal dari kata penuntun. Oleh karena itu, pantun sering digunakan para orangtua untuk membimbing anak-anak menuju kebaikan. Itulah juga sebabnya anak-anak Melayu pada umumnya sudah mengenal pantun sejak bayi saat para ibu menyanyikan lagu mengulik atau pengantar tidur.
Pantun kemudian menjadi semacam pendidikan nonformal yang pertama sekali didapat orang Melayu. ”Tujuan pantun adalah mengajari manusia untuk hidup secara arif, belajar menghargai sesama dan alam sekitar tempat mereka tinggal,” kata Malik, yang juga Dekan Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjung Pinang, itu.
Selain mengemban fungsi edukasi, pantun juga meresap ke dalam berbagai jenis kesenian Melayu, seperti dialog para tokoh dalam teater tradisional dan juga lirik lagu pengiring tarian adat. Hal itu dimungkinkan karena tradisi pantun tidak terbatas di lingkungan ningrat saja. Pantun Melayu justru bernapas dan menemukan hidup yang sejati di tengah rakyat biasa.
Di Indonesia, catatan tertua soal pantun termaktub dalam buku Perhimpunan Pantun Melayu yang terbit di Batavia pada 1877. Buku itu ditulis Haji Ibrahim, bangsawan Kesultanan Riau-Lingga asal Pulau Penyengat. Ia hidup satu zaman dengan penulis masyhur Raja Ali Haji yang membakukan tata bahasa Melayu. Tak heran jika dulu, pulau seluas 2 kilometer persegi yang terletak di seberang Tanjung Pinang itu pernah dikenal sebagai bustan al-katibin atau taman para penulis.
Sejumlah pantun penuntun pemimpin dalam buku karangan Haji Ibrahim tersebut mencerminkan budaya bangsa Melayu yang terbuka dan setara. Dengan pantun, rakyat sah-sah saja mengkritik pemimpin agar tidak sembrono dalam mengemban tanggung jawabanya. Hal itu dimungkinkan dengan corak pola komunikasi dalam pantun yang sangat santun dan pesannya serba tersirat.
”Baik-baik melayar jung/ Tali-tali biarlah teguh/ Dipukul ombak di Laut Merodong/ Nakhoda mabuk beranda pun roboh,” ucap Malik mencontohkan salah satu pantun karya Haji Ibrahim.
Menurut Malik, orang Melayu yang peka dapat memahami isi sebuah pantun cukup dengan mendengar sampirannya saja. Pemilihan kata dalam sampiran tidak hanya menyesuaikan rima pada isi, tetapi juga mempertimbangkan makna filosofis yang terkandung dalam setiap kata. Misalnya, pada sampiran pantun di atas, Haji Ibrahim sengaja memakai lema kapal dan nakhoda untuk menggambarkan negeri maritim tempat pengarang berasal, yakni Riau-Lingga yang dipimpin seorang sultan.
Pada Desember 2020, pantun ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Pengakuan itu buah dari upaya Indonesia dan Malaysia yang intensif berkomunikasi untuk mengumpulkan dokumen kajian yang dibutuhkan sebagai syarat nominasi selama tiga tahun terakhir.
Pusat kebudayaan Melayu
Malik, yang terlibat dalam kerja keras mengajukan pantun sebagai warisan budaya tak benda dunia, berharap pemerintah daerah dan warga tak lekas berpuas diri setelah mengantongi pengakuan UNESCO. Masih ada banyak hal yang perlu dibenahi agar Kepri dapat kembali tumbuh sebagai pusat kebudayaan Melayu, seperti zaman Haji Ibrahim dan Raja Ali Haji dulu.
Menurut dia, yang namanya melestarikan tradisi seharusnya tak hanya berkutat pada persolan penampilan di atas gemerlap lampu panggung. Agar tradisi daerah ini dapat tumbuh subur, masyarakat perlu dibantu untuk hidup makmur lebih dulu. Sudah terlalu lama orang Melayu di Kepri tertinggal jauh dalam hal sosial ekonomi dari tetangga serumpun, di Singapura dan Malaysia.
Beberapa hal yang sangat mengganggu di Kepri saat ini adalah pencemaran limbah minyak hitam, kerusakan pesisir karena tambang pasir laut, dan juga konflik berkepanjangan antara nelayan Kepri dan kapal-kapal pukat tarik dari dalam ataupun luar negeri. Itu semua berdampak pada kualitas hidup orang Melayu di pesisir yang terus menurun dari tahun ke tahun.
Namun, optimisme akan masa depan yang lebih baik masih ada dalam diri sejumlah anak muda di Tanjung Pinang. Salah satunya adalah pemantun muda Rendra Setyadiharja (34). Di Komunitas Rumah Pantun, Rendra membina beberapa pemuda lain untuk turut melestarikan pantun. Mengikuti zaman dan perubahan medium, kini karya mereka dipajang di akun Instagram @pandantun.
”Dari pantun, kami tidak hanya belajar soal bahasa, tetapi juga belajar untuk mengakrabi suara alam dan nilai-nilai agama,” kata Rendra yang pada 2008 memecahkan catatan Museum Rekor Indonesia untuk kategori berbalas pantun terlama.
Di komunitas itu, Rendra dan pemuda lain di Tanjung Pinang menggali jati diri sebagai orang Melayu. Lewat pantun, mereka memelihara harapan tentang sebuah negeri yang alamnya lestari. Dengan pantun, mereka merawat mimpi lahirnya seorang pemimpin yang arif dan tumbuhnya masyarakat yang makmur. Samar-samar, terdengar lirih sebuah pantun lawas kembali dirapal. ”Kalau roboh Kota Melaka/ Papan di Jawa kami dirikan/ Kalau sungguh bagai dikata/ Nyawa dan badan kami serahkan.”