Empat Masalah Hambat Pemenuhan Hak Dasar Anak di Papua
Wahana Visi Indonesia meneliti situasi pemenuhan hak dan perlindungan anak di Papua. Masih ditemukan masalah kekerasan pada anak, rendahnya kepemilikan akta kelahiran, perkawinan di usia dini, dan mutu pendidikan dasar.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·4 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Terdapat empat masalah yang menghambat pemenuhan dan perlindungan anak di Papua. Empat persoalan adalah rawan kekerasan pada anak, rendahnya kepemilikan akta kelahiran, perkawinan di usia anak, dan rendahnya mutu pendidikan dasar.
Persoalan terungkap berdasarkan hasil penelitian bertema ”Hak Anak dalam Kebijakan Pemerintah Daerah: Analisis Situasi Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak di Papua” yang disusun oleh Wahana Visi Indonesia (WVI) bersama Deputi V Kantor Staf Presiden RI.
Penelitian dilakukan di empat kabupaten di Papua, yaitu Kabupaten Jayapura, Jayawijaya, Biak Numfor, dan Asmat, dengan metode mempelajari kebijakan, mempelajari data melalui diskusi terfokus bersama anak dan wawancara pemangku kepentingan dan kemudian dianalisis secara kualitatif.
CEO & Direktur Nasional Wahana Visi Indonesia Angelina Theodora, dalam siaran pers yang diterima Kompas, Rabu (15/9/2021), mengatakan, Papua merupakan salah satu wilayah paling rentan di Indonesia. Kajian ini mengulas bagaimana kebijakan pemerintah pusat dan daerah untuk pemenuhan hak serta perlindungan anak dimandatkan dan implementasinya.
Diketahui baru 56,6 persen anak-anak (usia 0-4 tahun) di Papua yang memiliki akta kelahiran. Sementara angka pernikahan anak di bawah usia 19 tahun mencapai 24,71 persen. Adapun dari hasil penelitian juga menemukan penerapan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua berdampak langsung pada pemenuhan hak dan perlindungan anak.
”Kami berharap hasil kajian ini mempermudah peran pemangku kepentingan, organisasi masyarakat sipil, forum anak, serta pemerintah kampung,” katanya.
Kajian juga dilakukan untuk mendorong kebijakan pro anak dengan terus memastikan anak-anak paling rentan terlayani dalam perencanaan pembangunan, sekaligus mengupayakan banyak perubahan kebijakan baik di level lokal dan nasional.
Sementara itu, Agustinus Agung Wijaya, perwakilan Tim Riset WVI, memaparkan, masalah yang menonjol dari hasil temuan WVI dan diskusi Kabupaten Jayapura, Jayawijaya, Biak Numfor, dan Asmat meliputi banyak anak putus sekolah, kurang merasakan manfaat program pemerintah, mengalami kekerasan fisik serta verbal, menjalani pergaulan bebas, nikah usia dini, mendapat mutu pendidikan yang rendah dan menghirup zat adiktif yang ada pada lem.
Dari hasil temuan di Kabupaten Jayapura, anak usia 0-4 tahun tidak memiliki akta kelahiran mencapai 44,7 persen, perkawinan di usia anak 21,87 persen, partisipasi tingkat pendidikan hingga SMA 68,1 persen, dan kepemilikan kartu imunisasi untuk anak di bawah usia 5 tahun mencapai 51,4 persen.
Tanpa akta kelahiran
Di Jayawijaya, anak usia 0-4 tahun tidak memiliki akta kelahiran mencapai 56,9 persen, perkawinan di usia anak 18,23 persen, partisipasi tingkat pendidikan hingga SMA 64,75 persen, dan kepemilikan kartu imunisasi untuk anak di bawah usia 5 tahun mencapai 87,16 persen.
Di Biak Numfor, anak usia 0-4 tahun tidak memiliki akta kelahiran mencapai 65,17 persen, perkawinan di usia anak 17,93 persen, partisipasi tingkat pendidikan hingga SMA 61,97 persen, dan kepemilikan kartu imunisasi untuk anak di bawah usia 5 tahun mencapai 64,18 persen.
Terakhir di Asmat, anak usia 0-4 tahun tidak memiliki akta kelahiran mencapai 61,68 persen, perkawinan di usia anak 29,94 persen, partisipasi tingkat pendidikan hingga SMA 21,9 persen, dan kepemilikan kartu imunisasi untuk anak di bawah usia 5 tahun mencapai 53,81 persen.
Kami berharap tidak ada lagi segala bentuk perundungan di sekolah, masyarakat dan media sosial, serta memudahkan kepemilikan akta kelahiran. (Michel Brazlino Taudufu)
Menurut Agustinus, dari hasil pertemuan di empat daerah ini, anak-anak menginginkan adanya ruang bermain yang aman, perpustakaan, serta taman bacaan dan didengarkan dalam penyusunan kebijakan khusus anak. ”Mereka juga berharap adanya tempat pengaduan ketika mengalami kekerasan dan sosialisasi kepada orangtua untuk mendidik anak tanpa kekerasan dan tidak memaksakan pernikahan di usia dini,” ucapnya.
Ia menambahkan, WVI merekomendasikan sejumlah poin setelah temuan hasil kajian ini, antara lain, mendorong lahirnya kebijakan pemenuhan hak dan perlindungan anak sesuai konteks tiap-tiap kabupaten. Kebijakan juga menyangkut pelibatan anak atau forum anak sebagai penerima manfaat program, penguatan ekonomi berbasis kampung agar kebutuhan anak terpenuhi serta meningkatkan kapasitas dan mendorong penyusunan program yang berkesinambungan.
Michel Brazlino Taudufu dari Forum Anak Kabupaten Jayapura hadir meminta penghentian segala bentuk kekerasan pada anak dan pengawasan peredaran minuman keras juga penggunaan lem berbahan adiktif.
”Kami berharap tidak ada lagi segala bentuk perundungan di sekolah, masyarakat dan media sosial, serta memudahkan kepemilikan akta kelahiran,” harap Michel.
Jaleswari Pramodhawardani selaku Deputi V Bidang Polhukhankamham Kantor Staf Presiden RI mengatakan, pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 serta Keputusan Presiden 20 Tahun 2020 sebagai ujung tombak kerja pemerintah pusat dalam membangun Tanah Papua. Kebijakan ini juga mengamanatkan pemenuhan hak-hak anak, salah satunya yaitu cita-cita mewujudkan Papua layak anak.
”Kami akan menggunakan hasil kajian ini sebagai referensi ilmiah untuk mendukung kerja-kerja pemerintah. Kajian ini sudah merupakan bentuk nyata partisipasi serta kolaborasi masyarakat,” ujarnya.
Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Agustina Erni mengaku, hasil kajian sangat bermanfaat bagi pihak dalam menyusun program pemenuhan dan perlindungan anak, khususnya di Papua.
”Pemenuhan dan perlindungan anak mencakup upaya pencegahan dan juga penanganan yang menjangkau semua pihak. Hal yang menjadi persoalan anak di berbagai wilayah adalah bagaimana mengurangi kekerasan pada perempuan dan anak, pekerja anak, mencegah perkawinan anak, dan masalah pengasuhan anak,” paparnya.