Perbanyak Konten Positif untuk Redam Dampak Negatif Media Sosial
Menurut Ganjar, berita bohong itu berakar pada kapitalisasi kepentingan di dalam media sosial. ”Bahkan, ada poling-poling di media sosial yang jelas metodologinya tidak kredibel,” ujarnya.
Oleh
HARYO DAMARDONO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat Indonesia saat ini masih euforia dengan keberadaan media sosial. Salah satu cara untuk menyiasati dampak negatifnya adalah memperbanyak kehadiran konten-konten positif.
Demikian dikatakan Ketum Umum Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada Ganjar Pranowo, Kamis (2/9/2021), dalam diskusi literasi digital bertajuk ”Banjir Informasi, Memilah Hoaks dan Berita Bohong”.
Diskusi ini digagas harian Kompas dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada didukung Djarum Foundation.
”Sebenarnya tidak hanya masyarakat Indonesia. (Euforia) itu tak khas Indonesia, tapi juga orang luar negeri. Bagi saya, kita justru harus buat konten-konten positif juga. Isinya, ya, yang menjelaskan atau meluruskan sesuatu,” ujar Ganjar.
Menurut Ganjar, berita bohong itu berakar pada kapitalisasi kepentingan di dalam media sosial. ”Bahkan, ada poling-poling di media sosial yang jelas metodologinya tidak kredibel,” ujarnya.
Ditambahkan Ganjar, ”Ada yang bilang media sosial itu memabukkan. Bahkan, ada seorang sutradara yang mengatakan, karena media sosial, kecerdasan itu menjadi seumpama hanya satu alinea.”
Ganjar pun menyayangkan tidak semua media dapat menjernihkan hoaks. ”Ada media yang tidak kredibel, ada yang pemberitaannya sering berbelok. Ada yang tidak wawancara, tapi ada beritanya dan salah. Namun, ada juga media mainstream yang baik,” kata dia.
Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra mengatakan, sebagai media, Kompas berupaya memfilter informasi dan meluruskan berita bohong. ”Struktur redaksi memungkinkan itu,” ujarnya. Ditambahkan Sutta, struktur redaksi juga memungkinkan pemberitaan secara obyektif.
Sebuah berita, kata Sutta, dalam ruang redaksi diseleksi dengan ketat sebelum terbit. ”Ada pula kehadiran editor hingga sunting untuk memastikan konten berita. Tiap wartawan juga harus mematuhi kode etik,” ujarnya.
Media berbayar
Sutta menambahkan, di dunia ini sedang ada tren untuk kembali memercayai media arus utama. ”Ini terutama ketika warga dunia mencari informasi saat pandemi Covid-19 ini,” ujarnya.
Media-media berbayar termasuk media daring berbayar di berbagai negara juga mengalami lonjakan pelanggan. Hal itu di antaranya dipicu upaya warga untuk mencari kebenaran setelah ada banjir informasi.
Di Amerika Serikat, media daring berbayar yang terkemuka adalah New York Times. Sementara di Indonesia, harian Kompas membuat produk www.kompas.id. Konten dari kompas.id kemudian digelontorkan melalui kanal digital.
Pengurus Kagama cabang Jerman, Ronald Christian Adelius, mengatakan, minat baca kini makin menurun. ”Kaum muda sekarang juga tidak lagi baca koran seperti saya. Jadi media harus juga membuat konten alternatif seperti video,” ujar dia.
Ronald juga menyarankan, untuk melawan kabar bohong, media harus dapat menyalurkan konten melalui berbagai kanal. ”Kalau bisa juga dikirim melalui grup Whatsapp,” kata dia.