Solidaritas demi Masa Depan Anak Korban Pandemi
Anak-anak yang menjadi yatim atau piatu karena pandemi Covid-19 tidak hanya menjadi tanggung jawab keluarga besar. Setiap orang bisa berperan membantu anak-anak yang kehilangan orangtua ini tidak kehilangan masa depan.
Solidaritas masyarakat di masa pandemi Covid-19 kembali terlihat dengan banyaknya inisiatif untuk mendukung anak-anak yang menjadi yatim atau piatu karena Covid-19, dengan berbagai latar belakang sosialnya.
Berangkat dari keresahan akan masalah ini, aktivis muda Nahdlatul Ulama (NU) Kalis Kalis Mardiasih, pendiri kitabisa.com Alfatih Timur, inisiator Warga Bantu Warga, Faiz Ghifari, dan inisiator Kawal Covid-19 Ainun Najib membentuk platform ”Kawal Masa Depan.”
Inisiatif bersama ini berupaya mendata keberadaan anak yatim secara daring melalui laporan individu, baik dari anak yang bersangkutan maupun keluarga. ”Sejauh ini mereka sudah ada 700 anak yatim atau piatu yang didaftarkan ke kami,” kata Kalis, Manajer Kawal Masa Depan.
Pendaftaran dan verifikasi tentang kondisi anak dilakukan berkolaborasi dengan jaringan sekolah dan madrasah, serta sejumlah lembaga lain, termasuk Gusdurian Peduli. ”Kami selama ini lebih fokus kampanye melalui sosial media sehingga punya keterbatasan. Jadi, kami menggandeng Gusdurian Peduli yang lebih punya jaringan dan akses di lapangan,” tuturnya.
Awalnya yang bisa daftar dibatasi untuk anak usia 6-18 tahun dengan asumsi yang masih sekolah. ”Tetapi, kemudian ada juga yang balita. Pendaftarnya dari berbagai daerah, mulai dari Aceh sampai Nusa Tenggara Timur,” kata dia.
Baca juga: Yatim Piatu Akibat Pandemi, Bukan Sekadar Angka
Setiap anak ini memiliki kisah tragis. Melalui aplikasi ini, bisa dipetakan latar belakang pencari bantuan. ”Misalnya, ada yang ketika Bapaknya meninggal dalam kondisi meninggalkan hutang yang ditanggung keluarga hingga ratusan juta rupiah. Padahal, mereka tidak punya aset sama sekali dan anak-anak masih kecil,” tuturnya.
Tak hanya mengumpulkan data, Kawal Masa Depan ini juga menggalang dana untuk mendukung anak-anak ini. Sejak dibuka donasi sejak 4 Agustus 2021 lalu, menurut Kalis, sudah terkumpul dana publik lebih dari Rp 1,169 miliar dalam dua minggu.
”Antusiasme warga untuk membantu anak-anak yatim-piatu cukup tinggi, termasuk juga kalangan pesohor. Tiap hari masih terus bertambah. Target kami bisa membantu 10.000 anak yatim,” ujarnya.
Sebagian dana ini sudah disalurkan ke anak-anak ini, sebagai bentuk dukungan jangka pendek, berupa uang santunan Rp 1 juta per anak. Namun, santunan ini dinilai tidak cukup karena persoalan yang dihadapi anak-anak ini bisa bersifat jangka panjang. ”Ada yang kemarin video call, sudah disalurkan untuk ibunya meninggal, namun seminggu kemudian bapaknya bunuh diri,” kata dia.
Antusiasme warga untuk membantu anak-anak yatim-piatu cukup tinggi, termasuk juga kalangan pesohor. Tiap hari masih terus bertambah. Target kami bisa membantu 10.000 anak yatim.
Dengan situasi ini, lanjut Kalis, Kawal Masa Depan berencana memberi dukungan kepada anak-anak ini dalam jangka panjang. ”Kami berencana memberikan beasiswa pendidikan dan mencarikan orangtua asuh. Kami melihat, dukungan KIP (Kartu Indonesia Pintar) ternyata kecil sekali, misalnya anak SD Rp 400.000 per tahun dan SMP Rp 750.000 per tahun. Itu pasti tidak akan cukup. Kita akan berupaya menambah ini, jadi tidak lagi membedakan mana yang sudah dapat KIP atau tidak,” tuturnya.
Baca juga: Anak Korban Pandemi Butuh Pendampingan Jangka Panjang
Inisiatif serupa juga dilakukan banyak organisasi lain dengan fokus berbeda. Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Daerah Istimwewa Yogyakarta membentuk ICMI Ngrumat, yaitu inisiatif untuk memberikan bantuan pendidikan bagi anak-anak yang orangtuanya meninggal karena Covid-19, terutama diprioritaskan bagi anak-anak dari keluarga tenaga kesehatan.
”Kendalanya memang di pendataan. Sejauh ini belum ada valid mengenai jumlahnya. Yang sudah kami terima datanya dari Sleman ada 145 anak dan mungkin sudah bertambah lagi dan perlu verifikasi lebih lanjut,” kata Akhmad Akbar Susamto dari ICMI DIY.
ICMI Ngurmat akan memberikan bantuan penunjang pendidikan mulai di luar bantuan pemerintah. ”Sebagian berupa bantuan uang dan peralatan sekolah. Selain itu, kami juga akan melakukan pendampingan untuk penyembuhan trauma dan bimbingan akademik,” ungkapnya.
Berbasis keluarga
Lurah Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Wahyudi Anggoro Hadi mengatakan, sejak tahun 2013 telah melakukan upaya perlindungan anak berbasis masyarakat dengan memanfaatkan skema perlindungan sosial.
”Sejak saat itu, anak-anak yatim atau piatu ini sudah jadi perhatian dari keluarahan dengan alokasi dana desa sekitar Rp 80 juta-Rp 90 juta per tahun. Dukungan ini berupa asuransi pendidikan, bantuan tunai, dan kerjasama perguruan tinggi,” kata dia.
Namun, menurut Wahyudi, pandemi Covid-19 secara signifikan menambah jumlah anak yatim yang harus disantuni. Sebelum pandemi ada 98 anak yatim atau piatu di Panggungharjo dan sekarang ada tambahan 38 anak.
Baca juga: Mereka yang Kini Harus Menjadi Yatim Piatu...
Wahyudi berharap, upaya untuk membantu anak-anak yatim atau piatu karena Covid-19 ini bisa dilakukan secara kolaboratif. ”Bagaimaan kehadiran negara itu bisa bertemu dengan keberdayaan sosial dalam rangka memberi pengasuhan terhadap anak-anak yatim berbasis masyarakat. Sejak 2019, kami berkolaborasi dengan Gusdurian membuat program penguatan ketahanan keluarga, termasuk juga melibatkan swasta,” kata dia.
Dia bertekad, dengan dukungan berbagai pihak, anak-anak yatim atau piatu di Panggungharjo bisa hidup dalam lingkungan yang memberi jaminan kepada mereka untuk bisa hidup layak dan bermartabat. ”Kuncinya memang dukungan lingkungan dengan basis kesejahteraan keluarga. Tidak hanya pada anak-anaknya, tetapi juga keluarga yang merawat mereka,” ujarnya.
Pentingnya dukungan sosial kepada keluarga korban Covid-19 ini juga disampaikan Margaretha Ega Woda (45), warga Kelurahan Kambajwa, Kecamatan Kota Waingapu, Sumba Timur. Margaretha kini menjadi wali dari dua ponakannya yang ditinggal ibunya karena Covid-19 dan ayahnya yang bunuh diri karena stres ditinggal istri.
Menurut Ega, selama ini aspek psikologis keluarga korban Covid-18 kerap terabaikan. Bahkan, di daerah banyak stigma sosial terhadap mereka yang sakit dan meninggal karena Covid-19. ”Keluarga yang ditinggalkan juga butuh dukungan dan pendampingan, karena banyak yang tidak siap,” kata dia.
Alissa Wahid dari Gusdurian Peduli mengatakan, bagi anak-anak, kehilangan orangtua bisa menjadi pemicu stres terbesar. ”Banyak anak kehilangan bayangan masa depan karena tiba-tiba ditinggalkan orangtuanya selama pandemi ini,” tuturnya.
”Di Indonesia memang ada kekhasan, sebagian anak-anak ini ada dukungan dari keluarga besar. Jadi, mungkin tidak benar-benar sendirian, tetapi sistem pendukung utama tetap hilang. Apalagi, tidak semua keluarga besar bisa menjalankan peran fungsi pengasuhan secara utuh,” kata dia.
Oleh karena itu, Alissa berharap, semua pihak membantu anak-anak ini. ”Kelompok sipil bisa membantu, tetapi daya jangkauannya terbatas. Kalau pemerintah biasanya business as usual berorientasi input, belum berorientasi pada hasil atau perubahan,” ungkapnya.
Namun, Alissa meyakini, semua pihak bisa bekerja sama. ”Anak-anak yatim atau piatu ini merupakan tanggung jawab kita bersama. Jangan anak-anak yang kehilangan orangtua ini, juga menjadi kehilangan dalam jangka panjang dengan memastikan masa depan yang lebih baik untuk mereka,” kata dia.