Museum Simpan Bukti Kekayaan Jalur Rempah Nusantara
Upaya promosi Jalur Rempah sebagai warisan dunia perlu didukung bukti benda-benda sejarah perdagangan rempah di masa lalu. Museum berperan penting untuk menjaga benda sejarah itu.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Museum berperan penting untuk menjaga bukti perdagangan rempah Nusantara di masa lampau. Bukti sejarah ini akan mendukung pengajuan Jalur Rempah sebagai warisan dunia ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO.
Direktur Museum Pedir Masykur Syafruddin pada Kamis (5/8/2021) mengatakan, museumnya menyimpan sekitar 5.800 koleksi. Beberapa di antaranya berhubungan dengan sejarah perdagangan rempah di Aceh, misalnya mata uang kuno Dirham yang digunakan di masa Kesultanan Samudera Pasai, mata uang VOC, keuh, hingga mata uang asing era Bizantium dan Abbasiyah.
Selain itu, ada pula sejumlah manuskrip berisi pengobatan tradisional yang menggunakan rempah-rempah, seperti jintan hitam, cengkeh, kayu manis, lada, cengkeh, dan pala. Manuskrip resep masakan dan catatan jual-beli rempah juga disimpan museum.
”Ada juga surat, arsip, dan peta (yang berkaitan dengan perdagangan rempah). Berdasarkan arsip yang kami reproduksi, ada puluhan komoditas yang dipasarkan di Aceh, seperti lada hitam, cengkeh, cabai, kayu manis, dan sebagainya,” kata Masykur pada diskusi daring.
Aceh merupakan salah satu simpul penting perdagangan rempah di Nusantara zaman dulu. Kapal-kapal pedagang asing seperti dari Inggris, Spanyol, Portugis, dan Amerika Serikat kerap bersandar di pelabuhan Aceh. Jejak sejumlah pelabuhan masih ada hingga sekarang.
Catatan Tomé Pires saat mengunjungi Nusantara di abad ke-16 menyatakan bahwa Kesultanan Samudra Pasai kaya dan sejahtera. Lada merupakan salah satu hasil bumi terpenting di sana. Samudra Pasai disebut bisa mengekspor 8.000-10.000 bahar lada per tahun. Apabila satu bahar setara sekitar 350 kilogram, ekspor lada Samudera Pasai mencapai 2.800-3.500 ton lada per tahun.
Pengajar Sejarah dan Kebudayaan Islam di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, Husaini Husda, mengatakan, perdagangan rempah adalah aktivitas nyata di masa lampau. Hal ini terbukti dari sejumlah bukti sejarah di museum hingga dongeng di masyarakat.
Menurut dia, menjaga bukti sejarah penting dalam upaya menjadikan Jalur Rempah sebagai warisan dunia. Museum-museum di Aceh pun diminta mempersiapkan diri. Koleksi jalur rempah yang dipamerkan di museum satu dengan lainnya, menurut dia, harus berkesinambungan.
”Koleksi itu bisa menggambarkan jejak sejarah peradaban di masa lalu sebagai kekayaan budaya, tradisi, dan warisan pusaka Aceh,” ucap Husaini.
Sebelumnya, pemerintah berencana mengajukan Jalur Rempah sebagai warisan dunia ke UNESCO. Untuk itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi membuat program Muhibah Budaya. Program ini merekonstruksi jalur perdagangan rempah Nusantara di 20 titik. Aceh termasuk salah satu dari titik-titik itu.
Adapun pemerintah menargetkan agar Jalur Rempah diakui sebagai warisan dunia pada 2024. Persiapan dan sejumlah riset untuk keperluan ini telah dilakukan.
Ada juga surat, arsip, dan peta (yang berkaitan dengan perdagangan rempah). Menurut arsip yang kami reproduksi, ada puluhan komoditas yang dipasarkan di Aceh, seperti lada hitam, cengkeh, cabai, kayu manis, dan sebagainya.
Persiapan
Kepala Museum Negeri Aceh Mudha Farsyah mengatakan, museumnya sudah menyiapkan ruang pamer khusus jalur rempah. Koleksi yang akan dipamerkan pun telah disiapkan. Namun, ia masih menunggu koordinasi lebih lanjut dari tim Jalur Rempah.
Beberapa koleksi yang disiapkan adalah peta perdagangan dan manuskrip terkait. Ia berharap agar museumnya dan museum-museum lain di Aceh bisa menampilkan koleksi sejarah yang mendukung program Jalur Rempah.
”Tim Jalur Rempah dan museum perlu duduk dan bicara bersama agar pamerannya sinkron,” ucap Mudha.