Nusantara mencatat sejumlah malapetaka yang kemungkinan merupakan wabah penyakit menular. Sejak masa itu pun penyakit berkaitan dengan kerusakan lingkungan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kemalangan penduduk Nusantara zaman dulu terekam dalam sejumlah naskah kuno. Wabah penyakit digambarkan sebagai malapetaka yang berkaitan dengan hal spiritual atau bisa jadi kutukan atas ulah manusia. Sekian abad kemudian, pada abad ke-21, ”kutukan” itu datang lagi dalam wujud pandemi Covid-19.
Menurut laman Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, naskah Calon Arang merupakan sumber tertua di Indonesia yang menceritakan wabah penyakit. Calon Arang ditulis pada sebuah lontar dalam aksara Bali dengan bahasa Jawa Kuno dari tahun 1462 Saka (1540). Naskah ini diperkirakan ada di masa pemerintahan Raja Airlangga di Jawa Timur.
Dalam Calon Arang, banyak penduduk di Desa Girah terjangkit penyakit, kemudian meninggal. Penduduk digambarkan mengalami panas dingin atau serupa demam. Kematian terjadi saban hari dan penduduk kewalahan. Lahan pemakaman perlahan penuh sehingga tidak sedikit jenazah yang telantar.
Serangan lelembut itu ia perkirakan sebagai penyakit, imbas terganggunya hutan.
Wabah penyakit dikisahkan terjadi karena perbuatan Calon Arang, janda sakti di Desa Girah. Ia sakit hati kepada penduduk desa karena tidak ada yang mau menikahi anaknya.
Wabah baru berhenti setelah Raja Airlangga turun tangan. Ia meminta Empu Baradah, seorang petapa, untuk mengalahkan Calon Arang. Empu Baradah mengalahkan Calon Arang dengan bantuan muridnya, Bahula, yang sebelumnya diutus untuk menikahi anak Calon Arang.
Sementara itu, Serat Jayabaya mengisahkan kematian belasan ribu utusan Raja Rum yang diminta mendiami tanah Jawa. Kala itu, 40.000 orang diutus dan hanya 41 orang yang bertahan hidup setelahnya. Kematian mereka dihubungkan dengan serangan lelembut.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Eko Suwargono, mengatakan, tanah Jawa di masa itu masih berupa hutan belantara. Manusia yang tinggal di sana diperkirakan mengeksplorasi lingkungan dan berdampak ke keseimbangan alam. Serangan lelembut itu ia perkirakan sebagai penyakit, imbas terganggunya hutan.
”Wabah dalam manuskrip Jawa bisa ditemukan di Serat Jayabaya, Serat Lokapala, Kitab Ramayana, Kitab Mahabarata, Serat Centhini, dan Calon Arang. Semua penyakit atau wabah dijelaskan secara implisit, seperti kesengsaraannya, kemalangannya, dan gangguan iblis yang memengaruhi kehidupan manusia,” ucap Eko pada diskusi daring Wabah dalam Khazanah Naskah Nusantara, Senin (2/8/2021).
Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Aceh Hermansyah mengatakan, Aceh pernah dilanda wabah kolera berkisar tahun 1873-1880, saat fase kedua perang antara Aceh dan Belanda. Kolera dinilai muncul karena pihak Belanda mengirimkan orang-orang yang terinfeksi kolera ke Aceh.
Orang-orang yang terinfeksi diperbolehkan turun dari kapal dan dikarantina di gubuk-gubuk. Hal ini diperkirakan menjadi cikal bakal wabah. Sebanyak 500 orang terinfeksi dalam waktu kurang dari dua bulan. Sultan Aceh saat itu wafat karena kolera.
”Namun, manuskrip tentang kesehatan di Aceh dan Nusantara masih sedikit,” kata Hermansyah.
Kisah dalam lontar Roggha Sanghara Bhumi juga tidak jauh dari cerita tentang pentingnya menjaga alam. Kondisi bumi digambarkan tidak menentu dengan sifat jahat manusia. Konflik hingga wabah penyakit muncul. Segala pengobatan tradisional tidak berhasil.
Menurut dosen Universitas PGRI Mahadewa Indonesia, Bali, Anak Agung Gde Alit Geria, konsep utama dalam Roggha Sanghara Bhumi ialah petunjuk pacaruan atau pembersihan. Pacaruan dilakukan agar alam kembali bersih, suci, dan lestari.
”Dengan demikian, Tuhan berkenan hadir melindungi setiap umat manusia. Karena itu, sudah semestinya umat manusia menjaga alam,” kata Agung.
Hal itu relevan di masa sekarang. Manusia dituntut menjaga alam untuk mencegah malapetaka. Bumi yang semakin hangat, misalnya, menyebabkan es mencair. Padahal, ada bakteri dan virus purba yang terperangkap di dalam es. Mencairnya es berisiko melepaskan bakteri dan virus ke lingkungan.
Perubahan iklim juga akan membuat kehidupan generasi muda di masa depan sulit. Salah satu dampak perubahan iklim ialah menurunnya kualitas udara dan air sehingga kualitas kesehatan ikut menurun.
Adapun pandemi Covid-19 saat ini merupakan dampak eksploitasi manusia terhadap satwa liar. Virus korona baru diyakini berasal dari kelelawar liar yang manusia konsumsi. Adapun penyakit zoonosis menunjukkan kondisi lingkungan yang sudah rusak (Kompas.id, 28/3/2020).
Direktur Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama Suyitno mengatakan, naskah Nusantara bisa digali sebagai referensi. Naskah digunakan untuk mempelajari cara mengatasi wabah penyakit di masa lampau.
”Ini relevan jika dikontekskan dengan masa sekarang. Leluhur punya cara yang dibarengi dengan pengalaman. Para leluhur berusaha beradaptasi dengan pendekatan alam dan kearifan lokal,” ucap Suyitno.