Pers Jembatani Pemenuhan Hak Informasi Penyandang Disabilitas
Hak atas informasi penyandang disabilitas belum terpenuhi dengan baik. Pers seharusnya bisa menghadirkan informasi dalam berbagai platform yang bisa diakses oleh para penyandang disabilitas.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemenuhan hak atas informasi bagi penyandang disabilitas dinilai masih belum optimal karena beberapa hal, antara lain adanya stigma, kesadaran masyarakat terhadap penyandang disabilitas yang masih rendah, serta informasi yang belum ramah disabilitas. Pers berperan penting untuk menjembatani isu ini.
Menurut Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh, Jumat (23/7/2021), isu warga berkebutuhan khusus perlu menjadi perhatian pers. Pertama, untuk memastikan bahwa negara tidak abai menjalankan tugasnya melindungi segenap bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Kedua, karena pers berdampak dan bisa menjangkau masyarakat luas. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan edukasi, meningkatkan empati publik, dan mendorong kebijakan yang berpihak kepada penyandang disabilitas.
”Selain itu, penyandang disabilitas punya kekuatan spesifik yang dapat dieksplorasi (oleh media) untuk menumbuhkan kepercayaan diri mereka, lalu mendorong kontribusi maksimal mereka (kepada negara),” kata Nuh pada diskusi daring yang digelar untuk memperingati 33 tahun Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS).
Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) Indonesia tahun 2020 adalah 75,27 atau naik 1,56 poin dibandingkan IKP tahun 2019. Variabel perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas memang meningkat dari 57,96 pada tahun 2019 menjadi 63,56 pada tahun 2020.
Meski demikian, pers tetap harus menaruh perhatian lebih sebab skor yang dicapai untuk varibel perlindungan hukum disabilitas tersebut masih terendah dibandingkan variabel-variabel lain.
Pers dinilai berpengaruh besar dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap penyandang disabilitas melalui pemberitaan.
Beberapa waktu lalu, Wakil Ketua Dewan Pers Hendry CH Bangun menyebutkan, untuk indikator perlindungan bagi penyandang disabilitas tahun 2019, hanya 13 provinsi yang mencatat skor di atas 60, antara lain Riau, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Timur, DKI Jakarta, dan DI Yogyakarta. Sementara 21 provinsi lain mencatat skor di bawah 50, bahkan ada yang di bawah 40, yakni Sulawesi Barat, Papua, Papua Barat, Lampung, Sulawesi Tengah, dan Maluku.
Menyikapi itu, Dewan Pers membuat Pedoman Pemberitaan Ramah Disabilitas (PPRD) yang diluncurkan pada 2021. Ketua Dewan Pengurus Yayasan Pendidikan Multimedia Adinegoro LPDS Ahmad Djauhar mengatakan, Pedoman Pemberitaan Ramah Disabilitas berisi pedoman bagi pers dalam membuat karya jurnalistik tentang isu disabilitas.
Menteri Sosial Tri Rismaharini melalui Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Hary Hikmat mengatakan, penyandang disabilitas punya sejumlah hak yang harus dipenuhi, termasuk hak atas informasi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Penyandang disabilitas memiliki hak, antara lain, berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi.
Namun, masih ada sebagian penyandang disabilitas yang kesulitan mengakses informasi, khususnya selama pandemi Covid-19. Hal ini memengaruhi cara pandang dan respons mereka terhadap pandemi, termasuk kepatuhan terhadap protokol kesehatan. Ini menambah kerentanan mereka terhadap Covid-19.
Dalam penjabarannya, hak tersebut, di antaranya, berupa mendapatkan informasi dan berkomunikasi melalui media yang mudah diakses serta menggunakan dan memperoleh fasilitas informasi dan komunikasi berupa bahasa isyarat, Braille, dan komunikasi augmentatif dalam interaksi resmi.
Akan tetapi, masih ada sebagian penyandang disabilitas yang kesulitan mengakses informasi, khususnya selama pandemi Covid-19. Pada akhirnya, kondisi tersebut memengaruhi cara pandang dan respons mereka terhadap pandemi, termasuk kepatuhan terhadap protokol kesehatan, yang justru menambah kerentanan mereka terhadap paparan Covid-19.
Di sisi lain, pers dinilai berpengaruh besar dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap penyandang disabilitas melalui pemberitaan. Menurut Risma, media massa masih menyajikan stereotip negatif penyandang disabilitas. Akibatnya, penyandang disabilitas menerima stigma dan diskriminasi.
”Kami harap media massa berperan sebagai institusi sosial. Kami juga berharap media massa mendorong inklusivitas terhadap penyandang disabilitas, menghindari stigmatisi dari pemberitaan tentang disabilitas secara berlebihan,” ucapnya.
Hendry berpendapat, media massa bisa berperan lebih, tidak hanya menjalankan fungsi informasi, tetapi juga fungsi edukasi dan memberdayakan, termasuk memberdayakan penyandang disabilitas.
Kesalahan
Pada kesempatan yang sama, wartawan Tempo yang juga seorang penyandang tunanetra, Cheta Nilawaty, mengatakan, ada empat kesalahan utama media dalam pemberitaan isu disabilitas.
Pertama, pornografi inspirasi atau menjadikan seseorang inspirasi karena ia menyandang disabilitas. Sikap ini menempatkan penyandang disabilitas sebagai pihak yang inferior.
Kedua, kesalahan penggunaan istilah disabilitas, seperti menyebut orang dengan gangguan jiwa dengan sebutan orang gila. Ketiga, isu disabilitas belum dianggap isu penting oleh media. Keempat, sikap heroisme berlebih (hyperheroism), menggambarkan penyandang disabilitas dengan fakta berlebih. ”Ini sering kali tidak disadari media,” ucap Cheta.
Adapun pendiri Berdayabareng.com, Nicky Clara, mengatakan, informasi isu disabilitas belum merata hingga ke daerah-daerah di Indonesia. Padahal, informasi itu memungkinkan penyandang disabilitas untuk mengakses hak-haknya, seperti akses akan pekerjaan.
”Ini perlu sinergi semua pemangku kepentingan, baik negara, swasta, komunitas, hingga penyandang disabilitas,” ujarnya.