Pengajar HAM dari Sejumlah Perguruan Tinggi Tolak Vaksinasi Berbayar
Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia dari sejumlah perguruan tinggi menolak kebijakan pemerintah tentang vaksinasi berbayar. Di tengah pandemi, pemerintah seharusnya menjamin setiap warga mendapat akses vaksin gratis.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia yang berasal dari sejumlah perguruan tinggi menolak kebijakan pemerintah tentang vaksinasi berbayar. Di tengah pandemi Covid-19 yang semakin memburuk, pemerintah seharusnya menjamin setiap warga negara mendapat akses gratis pada vaksin.
”Kami melihatnya dari perspektif hak asasi manusia (HAM). Vaksin yang menjadi elemen paling sentral dalam penanganan pandemi seharusnya tidak muncul sebagai komoditas dagang,” kata Koordinator Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (Sepaham) Al Khanif yang merupakan pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jember, Selasa (13/7/2021).
Khanif menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers melalui sambungan video konferensi. Turut hadir juga sejumlah pengajar dan pusat studi HAM dari berbagai kampus.
Secara hukum, kata Khanif, saat ini Indonesia berstatus darurat bencana. Setiap kurang dari dua menit terdapat satu orang yang meninggal karena Covid-19. Situasi pandemi pun berdampak pada terpuruknya ekonomi dan sosial.
Di tengah situasi pandemi itu, Khanif pun menyesalkan kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Covid-19. Aturan itu dinilai menjadikan vaksin sebagai komoditas dagang. ”Aturan itu bertentangan dengan semangat Permenkes 10 Tahun 2021 yang sebelumnya menyatakan vaksinasi tidak akan dibebankan kepada pengguna,” kata Khanif.
Aturan itu bertentangan dengan semangat Permenkes 10 Tahun 2021 yang sebelumnya menyatakan vaksinasi tidak akan dibebankan kepada pengguna. (Khanif)
Direktur Pusat Studi Hukum dan HAM Universitas Islam Indonesia Eko Riyadi mengatakan, vaksinasi berbayar di tengah pandemi secara hukum bertentangan Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal HAM, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya; UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan; dan UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM.
”Semua ketentuan tersebut menegaskan bahwa kesehatan adalah hak warga negara. Pemerintah sebagai penyelenggara negara berkewajiban memenuhi layanan kesehatan,” kata Eko.
Layanan kesehatan yang disediakan pun harus memenuhi aspek ketersediaan, aksesibilitas, keberterimaan, dan kualitas. Atas kebijakan tentang vaksinasi berbayar, para pengajar yang tergabung dalam Aliansi Vaksin untuk Semua itu pun menuntut tiga hal.
Pertama, mereka meminta Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Kesehatan mencabut Permenkes No 19 Tahun 2021 dan mengembalikan program vaksin gratis untuk semua warga negara. Kedua, mereka meminta Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengingatkan pemerintah bahwa vaksin Covid-19 adalah barang publik yang harus diberikan kepada seluruh warga negara Indonesia secara gratis.
”Ketiga, kami meminta pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 memberikan layanan vaksinasi dengan adil tanpa diskriminasi,” ujar Eko.
Kepala Pusat Studi HAM (Pusham) Universitas Negeri Medan Madja El Muhtaj mengatakan, adanya vaksinasi berbayar membuat publik semakin bingung karena sebelumnya pemerintah, bahkan langsung disampaikan Presiden, menyatakan bahwa vaksin gratis untuk semua warga negara Indonesia.
”Kebingungan publik terjadi akibat pola komunikasi pemerintah yang tidak berjalan baik,” kata Madja.
Madja pun meminta pemerintah meminimalkan kampanye vaksinasi berbayar yang justru bisa mengalahkan program vaksinasi gratis. Pemerintah pun diminta berfokus melaksanakan vaksinasi gratis untuk minimal 70 persen penduduk agar bisa membentuk kekebalan kelompok.