Jurnalis dianggap sebagai pekerjaan maskulin. Dibutuhkan lingkungan kerja yang ramah perempuan agar bisa menambah representasi perempuan di bidang jurnalistik.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jurnalis belum menjadi profesi yang diminati mahasiswa jurnalistik, khususnya perempuan. Salah satu alasannya, jurnalis dianggap pekerjaan yang maskulin. Lingkungan kerja yang ramah perempuan dibutuhkan untuk menambah representasi perempuan di bidang jurnalistik.
Hal ini berdasarkan penelitian ”Mengapa Banyak Mahasiswi Jurnalistik dan Sedikit Jurnalis Perempuan?”. Penelitian ini dilakukan Remotivi dengan Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia dan Universitas Diponegoro.
Penelitian dilakukan terhadap 222 mahasiswa perempuan dan laki-laki di Universitas Diponegoro, Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Gadjah Mada. Hasilnya, 65 persen mahasiswa dan 63 persen mahasiswi tidak menjadikan jurnalis sebagai profesi utama yang akan dijalani setelah kuliah.
Hanya 42 persen mahasiswi yang percaya diri menduduki posisi puncak di redaksi. Sementara itu, mahasiswa laki-laki lebih optimistis dan percaya diri dengan persentase 56,2 persen.
Peneliti Remotivi, Muhamad Heychael, pada diskusi daring, Sabtu (10/7/2021), mengatakan, hal ini berhubungan dengan rendahnya penghargaan dan budaya kerja eksploitatif di industri media. ”Kompensasi yang diterima jurnalis tidak sebanding dengan beban dan risiko pekerjaan,” katanya.
Adapun pandangan mahasiswa dan mahasiswi terhadap profesi jurnalis terbagi dua. Pandangan positifnya, jurnalis dinilai sebagai pekerjaan yang memiliki privilese, seperti untuk mengunjungi acara tertentu dan bertemu narasumber penting. Selain itu, jurnalis juga dianggap profesi intelektual, idealis, berdampak sosial, dan bergengsi.
Di sisi lain, profesi jurnalis dinilai tidak punya gaji memadai, berisiko tinggi terhadap keamanan, dan tidak punya jenjang karier yang pasti. Profesi ini juga menuntut banyak waktu sehingga perempuan kesulitan menjalani peran sebagai ibu.
Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, Nurul Hasfi, mengatakan, mahasiswi percaya diri bisa bekerja sebagai jurnalis. Namun, mereka kurang percaya bisa mencapai puncak karier atau menduduki posisi strategis, seperti pemimpin redaksi. Salah satu alasannya, mahasiswi mempertimbangkan peran domestiknya di masa depan.
Penelitian mencatat hanya 42 persen mahasiswi yang percaya diri menduduki posisi puncak di redaksi. Sementara itu, mahasiswa lebih optimistis dan percaya diri dengan persentase 56,2 persen.
”Kepercayaan diri ini berhubungan dengan kultur patriarki bahwa laki-laki biasanya memimpin, sedangkan perempuan di pekerjaan domestik. Laki-laki lebih percaya diri menduduki posisi strategis, seperti CEO, pemimpin redaksi, dan sebagainya,” kata Nurul.
Menurut pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Eriyanto, jurnalis secara umum dipandang sebagai profesi yang maskulin. Hal ini hasil konstruksi sosial di masyarakat, kemudian diperkuat oleh beragam produk budaya, seperti film.
Ada pula bias jender dalam praktik jurnalistik. Menurut penelitian, sebagian responden perempuan diminta menulis berita ”halus”, seperti hiburan, mode, atau kuliner, selama magang. Sementara itu, responden laki-laki meliput isu ”serius”, seperti politik dan ekonomi.
”Di sisi lain, beberapa perempuan enggan meliput isu politik, ekonomi, hingga teknologi karena pengalaman pelecehan saat liputan, seperti dimintai nomor teleponnya, diajak bertemu, dan diajak mengobrol personal setelah wawancara,” ucap Eriyanto.
Menurut Direktur Remotivi Yovantra Arief, sebagian media masih kerap menjadikan perempuan sebagai obyek sensual yang penuh sensasi. Sensitivitas media saat mengangkat isu kekerasan seksual pun dinilai masih kurang.
Salah satu alasan itu terjadi ialah kurangnya kehadiran perempuan di ruang redaksi. Jumlah jurnalis di Indonesia mencapai 14.000 orang, tetapi perempuan jurnalis hanya 10 persen di antaranya.
Pemimpin Redaksi Project Multatuli Evi Mariani mengatakan, maskulinitas jadi tantangan perempuan di bidang pekerjaan apa pun. Tindakan afirmatif perlu dilakukan industri untuk mendukung perempuan di lingkungan kerja. Tindakan itu antara lain mengakui hak-hak perempuan, seperti menyusui.
Di sisi lain, perguruan tinggi juga berperan membuat kurikulum yang sensitif jender. Kerja sama antarperguruan tinggi dan industri untuk magang dapat diperkuat.