Perempuan Papua hingga kini menghadapi kekerasan ganda. Selain masih kuatnya budaya patriaki yang membuat perempuan rentan mengalami kekerasan di dalam rumah tangga, di luar rumah mereka juga menghadapi kekerasan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Setelah menamatkan Sekolah Menengah Atas sekitar tahun 2015, Jessie Hembring (25) meninggalkan tanah kelahiranya Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, berangkat ke Jakarta. Tujuannya cuma satu, yakni melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Dengan modal uang seadanya dari kakaknya, anak ketujuh dari sepuluh bersaudara ini nekad merantau ke kota metropolitan.
Sesampai di Jakarta, dia mendaftarkan diri di salah satu fakultas di Universitas Kristen Indonesia(UKI) Jakarta. Sebagai perempuan Papua, Jessie berkeyakinan bahwa dengan mengenyam pendidikan lebih tinggi dan mengantongi bekal pengetahuan yang cukup, hal itu mengubah hidupnya sekaligus membawa perubahan bagi keluarga dan kaum perempuan di daerahnya.
“Saya datang sendirian ke Jakarta, hanya dengan modal nekad dan iman. Di Jakarta baru bertemu dengan teman-teman dari Papua. Saya harus membekali diri dengan ilmu,” ujar Jessie, Senin (5/7/2021) petang.
Perempuan kelahiran Genyem, di sebuah daerah di wilayah Sentani, yang sudah yatim piatu sejak umur 17 tahun mengaku, sejak kecil menyaksikan berbagai praktik diskriminasi dan kekerasan yang menimpa para perempuan Papua. Karena itu, dia pun memutuskan keluar dari tanah Papua, dengan harapan hidupnya berubah lebih baik, bahkan kelak jadi salah satu perempuan Papua yang menjadi pemimpin.
Namun hal itu tak mudah bagi Jessie, karena kakaknya tak sanggup membiayai kuliahnya sampai selesai. Beruntung, dia bertemu Ketua Pusat Studi Papua di UKI Antie Soleman yang kemudian memberi jaminan dirinya dan mahasiswa Papua yang menghadapi masalah pembiayaan kuliah.
Akhirnya, Jessie berhasil menyelesaikan jenjang pendidikan strata 1 (S-1). Perjuangan berat meraih S1, mendorong Jessie untuk tidak berhenti menimba ilmu, sehingga sejak awal 2021, Jessie pun daftar ke jenjang pendidikan strata 2. Bersama mahasiswa asal Papua, Jessie pun tidak berhenti menyuarakan suara masyarakat Papua, termasuk perempuan Papua.
Di saat Jessie dan puluhan Papua berjuang menimba ilmu di luar wilayah Papua, sejumlah perempuan mendedikasikan dirinya untuk mendampingi dan menolong perempuan-perempuan korban kekerasan, terutama perempuan korban atas kekerasan seksual dari oknum aparat militer, di Papua.
Mendampingi korban
Raga Kogeya (40), relawan pendamping perempuan pengungsi, penyintas kekerasan militer, mengungkapkan perjuangannya melawan praktik kekerasan berlapis yang dialaminya. Pengalamannya sebagai penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), maupun korban kekerasan dari oknum aparat keamanan, membuat dia tampil membela saudara-saudaranya.
Perempuan kelahiran Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Papua, ini menegaskan, selama ini perempuan Papua berhadapan dengan kekerasan ganda baik KDRT dan perlakuan diskriminasi dari adat, maupun kekerasan dari luar yang di wilayah yang terkait dengan militer.
“ KDRT bagi perempuan Papua menjadi hal biasa, tapi ada kekerasan negara, di mana ada TNI di tempatkan, di situlah perempuan-perempuan mengalami kekerasan. Ada banyak perempuan diperkosa, hamil dan melahirkan anak. Semua kejadian itu dilakukan dengan ancaman,” ujar Raga.
Perempuan Papua, juga menghadapi ancaman secara ekonomi. Sebab, makanan pokok Papua adalah sagu, pinang, dan sayuran, namun meskipun mereka yang menanam ketika akan menjualnya di pasar mereka tidak memiliki akses, karena pasar sudah dikuasai orang luar. “Saya berharap perempuan bangkit,” ujar Raga.
Suara-suara perempuan Papua, dalam Diskusi “Perempuan Papua Bicara” (Voicing of Voiceless) yang digelar PIKI Salemba 10, secara daring, Rabu (30/6/2021) lalu, juga disampaikan aktivis perempuan Papua, Sofia Maipauw (Poppy) bersama Antie Solaiman, dan Pendeta Anike Merino (Sekretaris Komisi Keadilan dan Keutuhan Ciptaan, GKI Tanah Papua, Klasis Port Numbay).
KDRT bagi perempuan Papua menjadi hal biasa, tapi ada kekerasan negara, di mana ada TNI di tempatkan, di situlah perempuan-perempuan mengalami kekerasan.
Bagi Poppy dan Anike, kehadiran perempuan dalam mencegah praktik kekerasan dari keluarga, adat, maupun melawan kekerasan dari militer sangat penting. Bahkan, perempuan merupakan harapan untuk membawa perubahan yang lebih baik bagi Papua. Perempuan menjadi simbol untuk menghadirkan perdamaian di wilayah Papua.
Maka, selain melindungi perempuan-perempuan dari berbagai kekerasan, upaya memberdayakan perempuan agar kuat dan mandiri secara ekonomi, serta memiliki pendidikan tinggi menjadi jalan panjang yang harus dilalui perempuan Papua.
Tentu tidak mudah, pengalaman Jessie dan puluhan perempuan Papua bertarung di perantauan menjadi pengalaman berharga. Ketika kekerasan masih mendera perempuan Papua, maka suara-suara mereka masih akan terus terdengar di publik.