Pungutan Belum Dibayar, Ijazah 27 Siswa SMA 10 Padang Ditahan Komite Sekolah
Ijazah 27 siswa SMA 10 Padang ditahan komite sekolah karena mereka belum membayar uang pungutan komite sekolah Rp 1,2 juta.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Ijazah 27 siswa SMA 10 Padang ditahan ketua komite sekolah karena mereka belum membayar uang pungutan komite. Ketua komite sekolah mengaku menahan ijazah karena siswa di kelas XII IPA 8 itu belum membayar kewajiban mereka terhadap program ataupun fasilitas yang dibiayai komite sekolah.
Sys (18), siswa kelas XII IPA 8 SMA 10 Padang, Rabu (30/6/2021), mengatakan, ijazahnya tidak diserahkan petugas administrasi sekolah karena ia belum membayar uang komite sekolah Rp 1,2 juta. Hal ini juga dialami 26 siswa lain di kelasnya dari total 32 siswa.
”Bagian administrasi minta kami mengurus pelunasan uang pungutan komite. Lalu, ketua komite mengatakan kepada kami, kalau tidak bayar uang komite, ijazah tidak akan dikasih,” kata Sys di SMA 10 Padang, Rabu.
Sys menjelaskan, orangtuanya keberatan membayar pungutan Rp 1,2 juta untuk setahun itu. Uang itu, dari keterangan ketua komite sekolah, digunakan untuk membayar gaji guru honorer, kegiatan ekstrakurikuler, dan kegiatan lainnya. Padahal, setahun terakhir tidak ada kegiatan di sekolah karena pembelajaran dilangsungkan secara daring.
Karena pungutan Rp 1,2 juta itu terlalu berat, Sys dan kawan-kawan hanya membayar Rp 156.000 per orang kepada bendahara komite sekolah melalui transfer bank. Menurut perhitungan dia, cuma sebesar itu fasilitas yang ia nikmati, seperti biaya foto ijazah, penulisan ijazah, dan kegiatan belajar tambahan, dan tes potensi skolastik.
Ijazah siswa tidak boleh ditahan dengan alasan apa pun, termasuk menunggak uang komite. (Yefri Heriani)
Rika Elita (45), salah satu orangtua siswa SMA 10 Padang, mengaku, anaknya juga mengalami permasalahan yang sama. Penahanan ijazah oleh komite sekolah menghambat anaknya untuk mendaftar ke perguruan tinggi.
”Komite menahan ijazah anak-anak kami dengan alasan belum melunasi sumbangan komite Rp 1,2 juta. Sekolah menyuruh melunasi dan menyerahkan ke komite. Cuma, kami heran, apa hubungannya komite sekolah dengan ijazah anak-anak kami?” kata Rika.
Rika pun melaporkan permasalahan ini ke Ombudsman Perwakilan Sumbar pada Rabu sore. Sebelumnya, menurut Rika, surat keterangan lulus (SKL) siswa di kelas XII IPA 8 itu juga ditahan sekolah sejak 24 Mei. SKL baru diserahkan sekolah pada 7 Juni setelah perkara ditangani Ombudsman.
Menurut Rika, uang pungutan komite Rp 1,2 juta itu sangat memberatkan oranguta siswa, apalagi dalam masa pandemi Covid-19 seperti sekarang. Selain itu, ia mengaku, penetapan nominal Rp 1,2 juta itu juga tidak pernah dibahas dengan orangtua siswa.
”Kami bersedia membayar asalkan untuk sesuatu yang jelas. Lagipula, kalau ada masalah uang anak, bicara dengan orangtua. Jangan ijazah dan SKL anak yang ditahan. Kami, kan, tidak bodoh. SKL, ijazah, dan lainnya tidak boleh disangkutpautkan dengan uang-uang,” ujarnya.
Kepala SMA 10 Padang Parendangan membantah adanya penahanan ijazah siswa oleh komite sekolah. Ijazah saat ini ada di sekolah dan tidak menyerahkan ke komite sekolah. ”Kami tidak pernah tahan ijazah. Ijazah mereka sekarang dengan sekolah. Sekolah tidak ada memberikan ijazah ke komite,” ujarnya.
Parendangan membenarkan ada sumbangan uang komite tersebut dan sekolah lain pun menerapkannya. Namun, hal itu bukan urusan sekolah, melainkan urusan komite sekolah. Ia juga mempertanyakan kenapa hanya kelas XII IPA 8 yang bermasalah dengan sumbangan itu, sedangkan siswa di kelas lainnya tidak ada masalah.
”Ada sembilan kelas XII di sekolah kami, kenapa di kelas (XII IPA 8) ini jadi masalah? Kelas lain tidak,” kata Parendangan.
Ketua Komite SMA 10 Padang Yul Akhyari Sastra mengakui, pihaknya memang menahan ijazah siswa tersebut. Hal itu dilakukan karena siswa belum membayar hak komite sekolah. ”Yang saya minta bukan sumbangan, yang saya minta hak komite sekolah yang dipakai siswa,” kata Yul ketika dihubungi.
Yul menjelaskan, siswa tersebut mengikuti sejumlah program yang dibiayai komite sekolah, seperti tes potensi skolastik, belajar tambahan, tahfiz, dan program lainnya. Selain itu, pembuatan foto ijazah dan penulisan ijazah juga ditalangi komite sekolah.
Jika ditotal semua kegiatan tersebut, kata Yul, jumlahnya Rp 818.000 per anak. Yul mengaku punya semua rincian biaya tersebut. Bagi yang diminta Rp 1,2 juta, mungkin siswa itu ikut sumbangan lainnya, seperti OSIS dan bus sekolah.
”Sekarang yang kami minta hanya apa yang mereka nikmati, Rp 818.000, yang lain tidak usah. Kecuali, mereka tidak ada uang. Buat surat keterangan miskin, sudah, saya bebaskan. Itu kewajiban mereka yang harus dibayar. Sebelum mereka bayar kewajiban, saya akan tahan ijazah mereka,” ujarnya.
Kepala Dinas Pendidikan Sumbar Adib Alfikri membantah adanya penahanan ijazah siswa SMA 10 Padang oleh komite sekolah. ”Tidak ada itu,” ujar Adib singkat, ketika dihubungi.
Ditemui terpisah, Kepala Ombudsman Perwakilan Sumbar Yefri Heriani mengatakan, Ombudsman sudah menerima laporan orangtua siswa SMA 10 Padang itu. Ombudsman mempelajari dulu laporan dugaan malaadministrasi itu untuk segera ditindaklanjuti.
Yefri menjelaskan, ijazah siswa tidak boleh ditahan dengan alasan apa pun, termasuk menunggak uang komite. ”Wali murid yang berhadapan dengan sekolah pada saat sekarang, baik itu ijazah ditahan, rapor, maupun dokumen penting lainnya, segera komplain ke sekolah. Kalau tidak ditindaklanjuti, bisa melapor ke Ombudsman,” ujarnya.
Secara aturan, kata Yefri, pemungutan sumbangan kepada orangtua siswa diperbolehkan sebagai bentuk partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah. Namun, sumbangan tidak boleh sama dan rata untuk setiap siswa.
Menurut Yefri, kasus yang sering dilaporkan ke Ombudsman adalah sumbangan yang dipungut bersifat sama dan cenderung seperti arisan dan iuran. Arisan dan iuran itu tidak diperboleh di sekolah. Selain itu, komite sekolah juga harus memastikan partisipasi orangtua siswa dalam pengelolaan anggaran.
”Sumbangan harus betul-betul dibicarakan sesuai dengan kemampuan orangtua. Malah harus dipastikan juga ada orangtua yang bebas dari sumbangan (bagi yang tidak mampu),” kata Yefri.