Kondisi ekonomi keluarga yang berkekurangan membuka celah bagi pekerja anak. Pandemi Covid-19 yang membatasi ruang gerak masyarakat dan melambatnya perekonomian semakin meningkatkan jumlah pekerja anak.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Lebih dari setahun pandemi Covid-19 melanda Indonesia dan dunia. Tak hanya terpapar virus korona, masyarakat juga didera oleh tekanan ekonomi. Ketimpangan ekonomi dan kemiskinan kini berada di depan mata, memberi pengaruh yang besar bagi kehidupan sejumlah keluarga. Pandemi dikhawatirkan rentan melahirkan pekerja-pekerja anak.
Munculnya sejumlah pekerja anak berisiko bagi masa depan mereka. Ini menyusul ancaman putus sekolah dan telantar. Sejumlah anak bahkan rentan masuk dalam situasi-situasi yang membahayakan dirinya sehingga mengancam tumbuh kembang yang maksimal.
Situasi ini diingatkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati saat berbicara dalam webinar Pencegahan Pekerja Anak ”Peran Pentahelix dalam Penanggulangan Pekerja Anak di Indonesia”, Rabu (23/6/2021). Webinar yang digelar Kementerian PPPA ini dalam rangka peringatan Hari Dunia Menentang Pekerja Anak yang jatuh setiap tanggal 12 Juni.
”Krisis ekonomi, berkurangnya pekerja dewasa pada sektor-sektor tertentu karena angka kematian yang tinggi, serta ketimpangan sosial dalam akses teknologi informasi untuk pembelajaran jarak jauh dapat meningkatkan risiko lahirnya banyak pekerja anak baru di tengah pandemi,” ujar Darmawati.
Menghadapi kondisi ini, masyarakat khususnya orangtua diingatkan untuk bersiap menghadapi berbagai kemungkinan terburuk karena pandemi belum berakhir. Pandemi yang memasuki tahun kedua semakin meningkatkan risiko bertambahnya jumlah pekerja anak.
Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS) dalam kurun waktu dua tahun terakhir, 2019 dan 2020, menunjukkan persentase pekerja anak di Indonesia meningkat. Peningkatan pekerja anak justru terjadi pada kelompok umur 10-12 tahun dan 13-14 tahun.
Dari data tersebut, anak-anak di perdesaan (4,12 persen) sangat rentan menjadi pekerja anak dibandingkan anak di perkotaan (2,53 persen). Anak perempuan (3,34 persen) paling banyak menjadi pekerja dibandingkan anak laki-laki (3,16 persen).
Bahkan, data Sakernas pada Agustus 2020 memperlihatkan mayoritas atau 73,72 persen pekerja anak yang berusia 15-17 tahun tidak lagi bersekolah. Angka tersebut menunjukkan, pendidikan anak-anak yang menjadi pekerja berhenti sampai di sekolah menengah pertama.
Angka-angka tersebut menunjukkan betapa isu pekerja dalam dua tahun terakhir merupakan isu yang sangat serius. Hal itu akan mengancam terpenuhinya hak-hak anak. Darmawati pun mengakui, angka pekerja anak semakin mengkhawatirkan setelah datangnya pandemi Covid-19.
Pengaruh ekonomi keluarga
Dari sisi ketenagakerjaan, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengakui bahwa isu pekerja anak merupakan masalah yang kompleks terkait ketenagakerjaan, ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial budaya, dan lainnya. Untuk mengatasi hal ini, dibutuhkan sinergi pentahelix.
”Kondisi ekonomi keluarga yang kurang beruntung sering menjadi alasan anak-anak terpaksa bekerja, baik untuk memenuhi kebutuhan sekolah si anak maupun kebutuhan keluarga, bahkan anak menjadi tulang punggung keluarga,” ujar Ida.
Untuk mencegah bertambahnya jumlah pekerja anak, sejauh ini Kementerian Ketenagakerjaan melakukan berbagai upaya. Selain sosialisasi kepada dunia usaha dan masyarakat tenang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, penghapusan pekerja anak dilakukan melalui program zona/kawasan bebas pekerja anak dan kampanye menentang pekerja anak.
Tak hanya pemerintah, organisasi dan lembaga masyarakat pun memberi perhatian terhadap isu pekerja anak. Hal ini seperti dilakukan JARAK dan Save the Children Indonesia yang memberi perhatian pada sektor pertanian kakao. Lembaga tersebut menerapkan program Sistem Pemantauan dan Remediasi atau Child Labour Monitoring and Remediation System (CLMRS) di 83 desa di Sulawesi Selatan, Lampung, dan Sumatera Barat.
JARAK mengembangkan sistem pemantauan untuk pekerja anak di sektor pemulung di 12 kota di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Program CLMRS dilakukan Save the Children sejak 2019. ”Tujuannya untuk memastikan bahwa anak dan kaum muda yang dipekerjakan berada dalam keadaan aman dari eksploitasi dan bahaya di tempat kerja,” ujar Selina Patta Sumbung, CEO Save the Children Indonesia.
Membangun kesadaran masyarakat
Tak hanya itu, pelatihan dan peningkatan kapasitas kepada kader Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) juga dilakukan Save the Children, termasuk turun langsung untuk meningkatkan kesadaran bagi petani kakao, orangtua, dan masyarakat setempat bahwa anak-anak punya hak yang harus dipenuhi.
Sosialisasi tersebut setidaknya menyadarkan masyarakat setempat. Hal ini seperti dituturkan Ketua PATBM Desa Maccolliloloe, Kecamatan Pitumpanua, Wajo, Sulawesi Selatan yang baru menyadari adanya ancaman yang mengintai ketika anak-anak menjadi pekerja di perkebunan.
Padahal, keterlibatan anak dalam pertanian kakao berisiko tinggi terhadap anak, seperti pemupukan dan penyemprotan pestisida tanpa alat pelindung diri yang memadai, pemangkasan, dan pemecahan buah kakao. Risiko terjadi cedera juga sangat besar jika tidak memahami penggunaan peralatan kerja.
Keterlibatan anak menjadi pekerja di sektor pertanian sangat besar peluangnya. Sebab, Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sektor pertanian kuat. Salah satunya, Indonesia dikenal sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia. Kondisi ini tentu saja memberi ruang bagi anak-anak di perkebunan untuk masuk menjadi pekerja.
Tak hanya perkebunan kakao, perkebunan sawit serta perkebunan lain di Tanah Air juga menjadi pintu masuk pekerja anak. Maka, upaya melindungi anak dari berbagai eksploitasi seharusnya menjadi perhatian semua pihak.