Simfoni Abadi ”Royal Orchestra” Keraton Yogya
Abdi dalem musikan pernah menjadi bagian penting dari Keraton Yogyakarta. Setelah mati suri selama puluhan tahun, kelompok orkestra musik klasik tersebut kembali dihidupkan melalui Royal Orchestra.
Komposisi Mozart, Bizet, dan Beethoven kembali terdengar megah menembus dinding dan pilar kayu Keraton Yogyakarta. Puluhan tahun menghilang, Royal Orchestra meneguhkan lagi peran keraton dalam perkembangan musik klasik di Yogyakarta.
Tiupan flute Gadang Wahyu Arafah (23) mengalun indah saat memainkan bagian solo dalam repertoar Carmen Suite No. 1-No. 2 Intermezzo-Prelude to Act III karya Georges Bizet, di Griya Persada Hotel, kawasan Kaliurang, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (19/6/2021). Harmoni nada terdengar syahdu berpadu rintik hujan dan hawa dingin pegunungan.
”Saya belajar bagian solo komposisi ini sampai bisa lancar perlu dua hari. Saya terus melatih sampai benar-benar tidak ada nada yang salah,” tutur Gadang, yang juga tengah merampungkan studinya di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Gadang menjadi salah satu musisi muda yang tergabung dalam pentas Royal Orchestra, di Pagelaran Keraton Yogyakarta, Senin (21/6/2021), bertepatan dengan peringatan Hari Musik Dunia. Total ada 84 pemusik klasik yang masuk dalam orkestra milik keraton tersebut.
Rasa senang sekaligus waswas menyelimuti Gadang saat tahu dilibatkan dalam konser tersebut. Lebih-lebih, ia diberi kesempatan memainkan solo. Untuk itu, latihan berjam-jam setiap hari ditempuhnya supaya tak ada kekeliruan saat pentas. ”Bisa bermain di Royal Orchestra semacam ada kebanggaan tersendiri. Belum lagi, kesempatan solo yang diberikan ke saya. Rasanya senang sekali,” ucapnya semringah.
Puluhan pemusik itu mulai berlatih bersama sejak April. Mereka terdiri dari pelajar, mahasiswa, dan dosen. Mereka dikarantina untuk latihan bersama sejak Jumat (18/6/2021). Tujuannya agar latihan bisa lebih intens dan fokus.
Perekrutan pemusik Royal Orchestra dilakukan lewat sistem kerja sama antara Keraton Yogyakarta dengan ISI Yogyakarta dan SMK Negeri 2 Yogyakarta, yang punya kejuruan di bidang musik. Kerja sama ketiganya dijalin sejak 2019.
Baca Juga: Bara Pelestarian Aksara Jawa di Yogyakarta
Pemusik tua dan muda bergabung menjadi satu dalam orkes tersebut. Rentang usianya mulai dari 17 tahun hingga lebih dari 50 tahun. Latihan berlangsung cair. Padahal, pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam orkes tersebut tengah bermain dengan dosen ataupun gurunya.
Sempat pada sesi latihan gabungan, salah seorang dosen yang memainkan trompet terlambat masuk ke ruangan. Anggota orkes menyambut kedatangannya dengan tepuk tangan diakhiri gelak tawa. Bukannya marah, dosen itu justru ikut larut dalam tawa.
Luidwina Rindang (17), siswi kelas II SMKN 2 Yogyakarta, mengaku tak canggung bermain dengan para senior. Ia justru merasa banyak mendapat ilmu baru setelah berlatih bersama para pemusik lain yang jauh lebih berpengalaman. ”Senior-senior sangat terbuka. Saya justru belajar banyak dari mereka lewat kesempatan ini,” ujarnya.
Bersejarah
Dosen Sejarah Musik Indonesia dari ISI Yogyakarta RM Surtihadi mengungkapkan, kelahiran kembali kelompok orkes keraton itu menjadi momentum bersejarah untuk membangkitkan eksistensi abdi dalem musikan yang melegenda di keraton. Sebab, kesatuan musik tersebut sempat mati suri puluhan tahun lamanya. Harapannya, geliat musik klasik Eropa kembali eksis di keraton lewat kelompok itu.
Musik Eropa hadir di Keraton Yogyakarta sejak masa kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono (HB) I (1755-1792). Hal itu ditandai dengan adanya para peniup trompet untuk upacara kenegaraan. Pada masa Sultan HB II (1792-1810), dikenal adanya jabatan abdi dalem tambur-suling-salompret yang masuk dalam Korps Musik Keprajuritan. Bahkan, Sultan HB V (1823-1855) berinisiatif memasukkan unsur trompet, trombone, klarinet, dan genderang Eropa dalam sejumlah iringan tari, seperti Bedhaya, Srimpi, dan Beksan Trunajaya.
Lihat Juga: Gerakan Indonesia Raya Bergema Mulai Berlangsung di Yogyakarta
Puncak perkembangan korps musik Eropa di keraton terjadi pada masa Sultan HB VIII (1921-1939). Ia membentuk orkestra musik tiup beranggotakan 40 orang yang dinamai ”Kraton Orcest Djogja”. Instruktur dan konduktornya didatangkan dari Jerman, yakni Walter Spies. Anggota orkes itu yang selanjutnya dikenal sebagai abdi dalem musikan.
Kelahiran kembali kelompok orkes keraton itu menjadi momentum bersejarah untuk membangkitkan eksistensi abdi dalem musikan yang melegenda di keraton. Sebab, kesatuan musik tersebut sempat mati suri puluhan tahun lamanya. Harapannya, geliat musik klasik Eropa kembali eksis di keraton lewat kelompok itu.
Musik yang mereka mainkan adalah repertoar musik klasik Eropa. Orkes itu dibentuk guna menyambut tamu-tamu kenegaraan keraton. Salah satunya adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dirk Fock pada 1923. Pada masa itu, orkes tersebut berkembang pesat. Mereka juga mendapat kesempatan bermain di luar keraton, tepatnya di Societeit Vereenigning yang sekarang menjadi Taman Budaya Yogyakarta. Dahulu, tempat itu merupakan tempat hiburan orang Belanda.
Dikutip dari situs resmi Keraton Yogyakarta, abdi dalem musikan juga terlibat mengiringi parade militer dan upacara bendera saat pemindahan ibu kota negara ke Yogyakarta. Mereka pun sempat menggelar tur ke Jakarta pada 23 Desember 1949 hingga 1 Januari 1950.
Surtihadi menuturkan, sekitar 1950, abdi dalem musikan dibubarkan. Saat itu, Keraton Yogyakarta sedang kesulitan kondisi keuangan. Anggaran keraton banyak terserap untuk membantu pemerintahan Republik Indonesia yang baru saja berdiri. ”Yang menarik, musisi-musisi ini dibekali oleh keraton instrumen musik yang dulu mereka mainkan. Instrumen itu diharapkan bisa menjadi bekal hidup dan modal mereka berkarya di luar keraton,” katanya.
Sisa jejak abdi dalem musikan adalah Kampung Musikanan dan Bangsal Mandalasana. Dahulu, Kampung Musikanan di Kelurahan Panembahan, Kecamatan Kraton, merupakan tempat tinggal para abdi dalem musikan. Adapun Bangsal Mandalasana adalah tempat pentas mereka saat menjamu tamu-tamu kenegaraan. Dua tahun terakhir, bangsal tersebut beberapa kali digunakan pentas abdi dalem musikan yang baru direkrut keraton. Pentas digelar untuk mengenalkan kembali kesatuan musik tersebut kepada publik.
Baca Juga: Abdi Dalem Keraton Yogyakarta Divaksinasi secara Bertahap
Meski telah bubar, abdi dalem musikan masih mendapat ruang berkarya. Pada 1952, pemerintah mendirikan lembaga pendidikan musik formal pertama kali di Indonesia, yakni Sekolah Musik Indonesia (SMIND). Setelah itu, didirikan pula Akademi Musik Indonesia (AMI). Kini, SMIND menjelma menjadi SMKN 2 Yogyakarta atau yang juga dikenal dengan nama Sekolah Menengah Musik (SMM), sedangkan AMI berubah menjadi ISI Yogyakarta.
”Para abdi dalem seniman musik menjadi pengajar di SMIND dan AMI. Didatangkan pula guru-guru musik dari Rusia, Jerman, Italia, dan Austria yang sedang berada di Indonesia ke lembaga tersebut,” tutur Surtihadi.
Kehadiran dua lembaga pendidikan musik tersebut selanjutnya mampu menghadirkan musisi-musisi andal setiap tahunnya. Namun, para musisi itu justru tak punya wadah di Yogyakarta. Mereka akhirnya harus merantau ke Ibu Kota agar bisa bergabung dalam sebuah orkes musik klasik.
Baca Juga: Gelora ”Indonesia Raya”, Bara Spirit untuk Bangkit
R Taryadi (63), pemain trompet, termasuk salah satu lulusan lembaga pendidikan musik Yogyakarta yang harus merantau jauh untuk bisa bermain di orkes. Salah satu yang pernah diikutinya, yakni Orkes Simfoni Djakarta. Taryadi yang juga pengajar di Prodi Penyajian Musik ISI Yogyakarta itu berharap kehadiran Royal Orchestra mampu menumbuhkan bibit baru musisi klasik andal dari Yogyakarta.
”Sayang sekali kalau di sekolah sudah bermain musik dengan skill tinggi, tetapi malah tidak punya wadah berkreativitas. Nanti skill-nya bisa menurun. Kalau ada orkes seperti ini, kita bisa terpacu buat terus meningkatkan skill,” kata pria yang menjadi abdi dalem musikan sejak dua tahun lalu tersebut.
Pengageng Kawedanan Hageng Punakawan Kridha Mardhawa Keraton Yogyakarta Kanjeng Pangeran Haryo Notonegoro mengungkapkan, Royal Orchestra hadir berawal dari keresahan Sultan HB X atas tidak adanya wadah bagi musisi andal di Yogyakarta. Gagasan ini sudah ingin diwujudkan sejak 10 tahun lalu. Namun, baru mulai dirintis dua tahun belakangan.
”Sumber daya manusia pelaku orkestra sangat banyak. Namun, mereka tidak punya wadah di Yogyakarta. Jadi, larinya ke Jakarta, Bandung, sampai Surabaya. Orkestra ngetop dari Ibu Kota itu banyak pemainnya dari Yogyakarta. Ini perlu dibuatkan wadah. Nanti akan ada perekrutan terbuka dan pentas setahun dua kali,” kata Notonegoro.
Dia menambahkan, anggota orkes memang didorong untuk diisi anak-anak muda. Pihaknya ingin agar kelak muncul musisi-musisi klasik andal dari orkes tersebut.
Kelahiran kembali Royal Orkestra diharapkan memberi wadah bagi bibit-bibit muda musisi klasik di Yogyakarta. Kehadirannya juga menegaskan peran keraton dalam bidang kesenian dan kebudayaan.