Wapres Amin menyebut adanya keberagaman cara berfikir dalam memahami hukum syariah. Cara berpikir yang tepat, Wapres Amin melanjutkan, adalah dengan cara berpikir moderat, dalam arti tidak tekstual dan tidak liberal.
Oleh
Mawar Kusuma
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para akademisi dan cendekiawan harus bisa mengambil prakarsa yang lebih besar untuk mencari solusi terbaik dari permasalahan yang dihadapi masyarakat, bangsa, dan negara. Solusi keagamaan atau makharijdiniyah bisa dipakai melalui pendekatan yang moderat atau tawashuthi/wasathi.
Hal ini diungkapkan Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat menjadi pembicara kunci dalam seminar internasional The 2nd International Conference on Humanity, Law, and Sharia dengan tema ”Local Culture, Revelation, and Principle of Moderation in Islamic Law” yang digelar Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Batusangkar, Sumatera Barat.
Hadir secara virtual, Wapres Amin menyambut baik penyelenggaraan konferensi yang membahas tema penting dan aktual terkait moderasi (at-tawassuth) dalam penetapan hukum syar’i ini. ”Tema ini sangat kontekstual dan sangat dibutuhkan oleh umat Islam, terutama para ulama dan cendekiawan muslim, untuk merumuskan hukum syar’i yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi pada setiap saat,” kata Wapres Amin, Rabu (24/6/2021).
Lebih lanjut Wapres Amin menyebut bahwa hukum yang ditetapkan Allah SWT ada dua, yaitu terkait dengan pengaturan tentang alam semesta yang disebut sebagai nidhom takwini atau disebut juga dengan sunnatullah. Hukum lainnya adalah tata aturan tentang hubungan manusia dengan Allah dan dengan sesama manusia serta alam semesta yang disebut sebagai nidhom tasyri’i.
Untuk nidhom takwini, manusia harus patuh dan tidak ada pilihan lain. Tetapi, dalam nidhom tasyri’i, manusia boleh memilih untuk melaksanakannya dengan konsekuensi yang akan diterima oleh masing-masing manusia. ”Namun, pelanggaran yang dilakukan terhadap kedua tata aturan itu akan menimbulkan kerusakan, baik fisik maupun non-fisik,” tambah Wapres Amin.
Landasan untuk memahami hukum syariah, menurut Wapres Amin, adalah melalui nash, baik Al Quran maupun hadist dan melalui ijtihad. ”Nash itu terbatas jumlahnya, baik nash Al Quran maupun hadist, sedangkan permasalahan dan persoalan-persoalan yang terjadi tidak terbatas dan terus berkembang dari masa ke masa,” ucapnya.
Pemahaman multidimensi
Nash itu sendiri, kata Wapres Amin, ada yang qath’i atau bersifat tetap. Namun, ada nash yang dzonni atau bersifat multitafsir tergantung pada konteks yang tepat pada saat penafsirannya dilakukan. Karena multitafsir, memerlukan kajian yang mendalam untuk memahami secara lebih tepat sesuai dengan konteksnya, yang berarti perlu adanya ijtihad.
Pada saat ini para ulama sepakat bahwa ijtihad yang dilakukan lebih tepat melalui ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) bukan ijtihad fardi (ijtihad personal) karena pekerjaan ijtihad itu memerlukan pemahaman yang multi dimensi, yang jarang dimiliki perseorangan. Lebih baik lagi jika dilakukan melalui lembaga yang memiliki otoritas.
Wapres Amin menyebut adanya keberagaman cara berfikir dalam memahami hukum syariah. Ada yang memahaminya dengan cara berpikir statis dan konservatif secara sangat tekstual. Sebaliknya ada juga yang berpikir sangat liberal sehingga semua teks diberi penafsiran berlebihan tanpa batas dan tanpa patokan, semata-mata karena ingin mencari kemudahan.
Cara berpikir yang benar dan tepat, Wapres Amin melanjutkan, adalah dengan cara berpikir yang moderat, dalam arti tidak tekstual dan tidak liberal. Cara berpikir itulah yang selama ini dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menjadi dasar untuk mengeluarkan fatwa-fatwanya.
Dalam konteks keuangan syariah yang menyangkut pasar modal, misalnya, sumber permodalannya tidak semuanya sesuai syariah tetapi di dalamnya ada yang ribawi. Ada yang berpendapat seluruhnya dinyatakan haram, karena terjadinya pencampuran antara yang syar’i dan ribawi. Sebaliknya ada yang menganggap seluruh campurannya menjadi halal karena sulit menghindari hal tersebut dalam sistem ekonomi yang ada saat ini.
Dewan Syariah Nasional MUI tidak berpegang pada kedua pendapat tersebut baik yang mengharamkan semua atau menghalalkan semua, melainkan memisahkan antara yang halal dan haram. ”Yang berarti modal yang halal tetap halal dan hasilnya menjadi halal sementara modal yang haram tetap haram dan hasilnya menjadi haram sepanjang modal yang halal lebih besar dari yang haram dengan persentase tertentu,” ucap Wapres Amin.
Perangkat metodologi
Wapres Amin meyakini bahwa berbagai permasalahan baru yang belum ditemukan hukumnya bisa dijawab dengan menggunakan perangkat metodologi yang telah dirumuskan para ulama terdahulu.
Dengan menggunakan perangkat metodologi tersebut dapat dihindarkan perumusan hukum Islam yang cenderung liberal tanpa mengindahkan perangkat metodologi, dan di sisi lain juga dapat memecah kebekuan karena adanya kecenderungan tekstualis yang jumud dalam memahami hukum Islam.
Penggunaan perangkat metodologi dalam menjawab permasalahan hukum yang baru muncul tersebut juga diyakini lebih otentik sebagaimana ajaran Rasulullah SAW. ”Dan menurut saya di ranah itulah moderasi Islam seharusnya diletakkan,” tambah Wapres Amin.
Dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai masalah kemasyarakatan, keumatan dan kebangsaan, metodologi, serta cara berpikir moderat dapat dijadikan pedoman oleh para cendekiawan Muslim dan pemuka agama Islam. Melalui cara berpikir moderat, permasalahan dapat terselesaikan dengan baik dan dapat menghindari kemungkinan terjadinya konflik atau perpecahan.
Rektor IAIN Batusangkar Marjoni Imamora menambahkan, saat ini Indonesia tidak hanya menghadapi pandemi Covid-19, tetapi juga pandemi akibat kondisi dekadensi moral. Hal ini semakin meresahkan kebersamaan dengan munculnya isu radikalisme dan intoleransi antarumat yang terjadi secara global di seluruh dunia. Konferensi internasional diharapkan dapat menjawab tantangan dari dua jenis pandemi tersebut.
Konferensi internasional yang berlangsung selama dua hari tersebut antara lain akan terfokus pada pembahasan tentang alkulturasi Islam dengan budaya lokal serta moderasi dan hukum Islam. ”Dengan hadirnya pakar dari beberapa negara dan daerah sebagai partisipan, presenter, dan speaker diharapkan dapat memberi kontribusi signifikan,” tambah Marjoni.