Bahasa Arab acap membingungkan. Setidaknya demikian yang dirasakan penganggit Kamus Indonesia-Swedia Andre Moller. Rasa bingungnya ia udarkan dalam kolom ini pada edisi 25 Mei lalu. Salah satu pangkal kebingungannya disebabkan keruahan kata serapan dari bahasa Arab yang artinya menjadi bergeser di dalam bahasa Indonesia. Para ahli penerjemahan mengistilahkan ini dengan ketakpadanan.
Lema jenazah adalah yang paling berhasil membetot perhatian. Olehnya jenazah dikatakan berarti \'upacara pemakaman\'. Oleh karena itu, di jazirah Arab tak ada upacara pemakaman jenazah sebab jenazah sendiri sudah berarti upacara pemakaman. Bahasa Arab, katanya, punya kata juthah merujuk kepada mayat.
Pakar linguistik Arab berbeda pendapat soal ini, misalnya antara Abu Umar Zahid dan Al-Asymu’i. Bagi Al-Aysmu’i janazah \'keranda\', sementara jinazah \'mayit\'. Sebaliknya, bagi Abu Umar Zahid jinazah \'keranda\' dan janazah \'mayit\'. Rekaman debat ini bisa dilihat dalam kamus Mishbahul Munir (2015) karya Abi Abbas Almukri.
Pada prinsipnya jenazah bukan diartikan sebagai \'upacara\' sebagaimana yang dikatakan Moller. Syarah ini juga bisa didapatkan dalam etimologi yang dicantumkan dalam KBBI Daring pada entri jenazah.
Baca juga: Komika dan Komedika
Lepas dari itu semua, barangkali daftar kebingungan juga akan semakin panjang jika kelak Moller bertemu dengan kata-kata yang dalam bahasa Arab memiliki arti plural diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi mufrad atau tunggal. Ambil, misalnya, arwah dan ulama. Kedua kata ini dalam bahasa Arab merupakan bentuk jamak. Namun, bila kita ngobrol dalam bahasa Indonesia dan menyebut dua kata tersebut, bentuknya masing-masing tunggal atau mufrad.
Kata akaid diartikan oleh KBBI sebagai \'kepercayaan agama yang telah pasti dan tidak boleh dipersoalkan lagi\'; akidah berada pada posisi serupa. Dalam bahasa asalnya aqaid merupakan bentuk jamak dari kata akidah. Di dalam bahasa Indonesia akaid dipandang sebagai kata tunggal. Semukabalah dengan itu, kata amsal juga demikian. Kata ini dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai \'perumpamaan\', \'argumen\', dan juga \'cerita\'\', padahal dalam bahasa asalnya amsal merupakan bentuk tak tunggal dari kata misal yang berarti \'contoh\' atau \'perumpamaan\'.
Pungutan padu dari bahasa Arab juga bisa bikin kita mimisan. Misalnya pungutan padu yang berupa pungutan sulih yang terdiri dari kata simpleks dan kompleks. Contohnya frasa mendirikan salat dan menunaikan zakat. Frasa mendirikan salat dipungut dari iqamatis shalat. Kata mendirikan merupakan bentuk kompleks dari kata simpleks diri yang dipadankan dengan kata iqamat, sementara kata salat diserap dari shalat. Adapun menunaikan zakat berasal dari itaiz zakat. Kata ita diartikan dengan menunaikan yang merupakan bentuk kompleks dari kata tunai, sementara zakat dipungut sebagaimana dari bahasa asalnya. Dua contoh itu akan membingungkan jika kita hubungkan dengan frasa lain yang sejenis dan serupa seperti naik haji, menunaikan ibadah puasa, dan mengambil air wudu.
Baca juga: Kemajuan dan “Kemajon”
Tiga frasa yang disebutkan terakhir, setahu saya, tidak ada versi Arabnya. Mengapa frasa hijjul bait diartikan \'naik haji\' atau \'menunaikan ibadah haji\'? Hingga kini tanyaan itu masih beterbangan di benak saya. Barangkali jika ranting semangat Moller sudah kembali tegak, ia bisa membantu saya mencari jawaban atas soal-soal ini.
Fariz Alnizar
Pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia