Jebakan Kuasa Laki-laki
Sruktur sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kuasa tak hanya menindas perempuan dan menjadikannya sebagai objek, tapi juga menekan kesehatan mental laki-laki.
Sebutan "turun mesin" pada perempuan yang melahirkan dan umbaran pengakuan tidur dengan lebih dari 100 perempuan adalah cerminan maskulinitas toksik. Laki-laki kerap merasa superior dalam urusan seksualitas dibanding perempuan. Padahal, kemampuan seksual laki-laki juga akan menurun sesuai bertambahnya umur.
Kedua pandangan laki-laki itu hanya melihat perempuan sebagai objek atau barang.(Nur Hasyim)
"Kedua pandangan laki-laki itu hanya melihat perempuan sebagai objek atau barang," kata Co-Founder Aliansi Laki-laki Baru yang juga dosen sosiologi keluarga di Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang Nur Hasyim, Jumat (18/6/2021).
Umbaran jumlah partner seksual itu juga seolah melanggengkan pandangan bahwa laki-laki berhak memiliki pasangan lebih dari satu. Banyaknya partner seksual itu menjadi ukuran atau superioritas performa seksual laki-laki.
Psikolog klinis yang banyak menangani korban kekerasan berbasis jender dan Co-Founder Enlightmind, konsultan psikologi di Jakarta, Nirmala Ika Kusumaningrum mengatakan, anggapan yang merendahkan perempuan itu muncul dari peran jender yang tidak setara, dan kuatnya budaya patriarki yang membuat pelecehan perempuan dianggap hal biasa.
"Ketidaksetaraan itu membuat perempuan selalu ditempatkan dalam posisi lebih rendah dari laki-laki," katanya. Perempuan selalu diberi atribut sebagai pandamping, pengikut, dan pantas diperlakukan sebagai objek. Sedangkan laki-laki kerap dilabeli pemimpin, penguasa dan subjek yang bebas berbuat apapun kepada yang lain.
Perbedaan peran itu membuat laki-laki yang memiliki pasangan perempuan dalam jumlah banyak dianggap hal biasa. Sebaliknya jika perempuan yang punya pasangan lebih dari satu maka akan dianggap nakal atau binal. Bahkan, jika nama banyak perempuan yang pernah menjadi pasangan laki-laki tersebut muncul ke publik, merekalah yang akan dihujat terlebih dulu, bukan sang laki-laki.
Meski merasa memiliki kuasa dan dominasi atas perempuan, nyatanya laki-laki tidak sekuat dan setangguh bayangan mereka. Semua manusia, termasuk laki-laki, memiliki sisi lemah yang membuatnya sedih, takut, tidak percaya diri atau ingin menangis. Emosi yang menunjukkan kelemahan manusia itu sejatinya manusiawi, namun harus ditutupi karena buadaya patriarki tidak membolehkan laki-laki menunjukkan kelemahannya.
"Upaya menekan sisi lemah itu membuat banyak laki-laki sulit menjadi manusia seutuhnya dan melakukan tindakan yang tidak sesuai nuraninya," tambah Hasyim. Situasi ini membuat laki-laki rentan mengalami berbagai masalah kesehatan mental dan melakukan berbagai tindakan berisiko yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Seksualitas
Tak hanya dalam soal emosi, untuk urusan seksualitas pun sejatinya laki-laki memilki banyak kelemahan.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi Indonesia Wimpie Pangkahila, mengatakan perempuan setelah melahirkan memang bisa mengalami gangguan seksualitas akibat perubahan fisiologis kemaluan mereka. Gangguan itu juga umum terjadi seiring bertambahnya umur dan perubahan hormon, terutama pada perempuan yang mendekati menopause, umur 45-55 tahun, hingga hubungan badan seringkali menjadi menyakitkan.
Namun, gangguan seksualitas itu juga banyak terjadi pada laki-laki hingga mereka mengalami "turun biji" atau "turun senjata". Masalah laki-laki ini sebenarnya juga banyak dikeluhkan istri atau pasangan mereka.
Saat memasuki usia andropause alias menopause pada laki-laki yang biasanya terjadi sedikit lebih lambat dibanding usia menopause perempuan, yaitu sekitar usia 55 tahun, kemampuan seksualitas laki-laki akan turun. Pola hidup yang buruk bisa membuat gangguan seksualitas laki-laki itu terjadi pada usia yang sangat muda. Dalam kasus berat, bisa terjadi pada usia 20-an tahun.
"Kehidupan seksual itu harus dibina hingga tetap harmonis bersama pasangan. Gangguan fungsi seksual itu bukan hanya semata akibat gangguan kelaminnya, tetapi bisa juga akibat penyakit yang menyertainya atau berkurangnya hormon," katanya. Karena itu, Wimpie menilai mengumbar kehidupan seksualitas pasangan sebagai hal yang tidak pantas.
Kemampuan seksualitas seseorang juga bisa dipengaruhi oleh penyakit fisik, seperti diabetes melitus, hipertensi, obesitas dan kolesterol tinggi. Sedangkan stres berkepanjangan, depresi, kejenuhan, dan komunikasi pasangan yang tidak baik juga bisa mengganggu kehidupan seksual pasangan.
Meski demikian, banyak laki-laki tidak menyadari potensi gangguan ini. Banyak laki-laki masih percaya mitos bahwa kemampuan seksual mereka tetap tinggi meski sudah kakek-kakek. Situasi itu memang bisa terjadi, tetapi hanya bagi laki-laki yang menerapkan gaya hidup sehat atau mendapatkan pengobatan anti-penuaan (antiageing) yang tepat. Pengobatan ini juga berlaku bagi perempuan.
Nyatanya, banyak laki-laki yang justru lebih mempercayakan pengobatan gangguan fungsi seksual itu pada obat-obatan atau ramuan yang tidak jelas yang belum terbukti kemanjurannya atau memiliki efek jangka panjang berbahaya.
Baca juga: Ibu Bangsa
Maskulinitas toksik
Pandangan laki-laki yang merendahkan perempuan dan superioritas performa seksual laki-laki bersumber dari norma maskulinitas patriarki, maskulinitas hegemonik, atau saat ini populer dengan istilah maskulinitas toksik. Norma yang membolehkan laki-laki mendominasi atau menguasai perempuan itu lahir dari struktur sosial seksisme di masyarakat yang dibangun atas dominasi jenis kelamin tertentu terhadap jenis kelamin lain, yaitu laki-laki terhadap perempuan.
"Orang yang memiliki kekuasaan, apakah itu jabatan publik, kedudukan politik, status kepala rumah tangga, status sosial, kapital, umur tertentu, hingga popularitas, akan menjadi lebih maskulin," kata Hasyim. Seseorang yang memiliki kekuasaan tersebut akan berada dalam puncak piramida kekuasan dan kontrol.
Jika maskulinitas itu digunakan untuk merendahkan, mendominasi orang lain maka maskulinitas itu menjadi toksik. Masalahnya, banyak laki-laki yang memiliki kekuasaan tersebut memedomani, mempraktikkan, dan melanggengkan norma ini. Padahal, maskulinitas toksik mendehumanisasi perempuan dan anak serta diri laki-laki itu sendiri.
Posisi yang lebih rendah membuat perempuan rentan didominasi, dikontrol, bahkan menjadi objek kekerasan dari laki-laki. Istri adalah kelompok yang paling sering jadi korban maskulinitas toksik tersebut. Terlebih norma masyarakat menempatkan istri sebagai pihak yang harus menurut suami.
"Belum lagi, banyak istri di rumah jadi pelampiasan suami yang tak bisa mengekspresikan maskulinitasnya di ruang publik," tambah Nirmala.
Dominasi dan sikap merendahkan laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya sikap tak berdaya perempuan dalam rumah tangga bisa ditangkap anak sebagai kewajaran hingga melanggengkan norma maskulinitas toksik. Anak laki-laki yang melihat sikap ayahnya bisa menanggap dominasi, kontrol hingga penggunaan kekerasan sebagai cara komunikasi pasangan suami-istri yang normal dalam rumah tangga.
Sementara bagi anak perempuan, situasi itu bisa membuat mereka tidak ingin memiliki pasangan akibat bayang-bayang citra negatif ayah. Bisa juga sebaliknya, anak perempuan melihat kondisi ibunya sebagai sikap perempuan yang "tepat" meski harus menjadi korban kekerasan dari ayahnya.
Untuk mengakhiri ketidaksetaraan itu, Nirmala menilai pendidikan komprehensif yang menempatkan laki-laki dan perempuan setara bisa menjadi pintu masuk. Sedangkan, praktik kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam keluarga akan sangat memengaruhi tumbuh kembang anak untuk bisa memahami dan mempraktikkan perilaku yang saling menghargai antara laki-laki dan perempuan, tidak ada yang mendominasi.
Kesetaraan itu membuat laki-laki dan perempuan bisa sama-sama berkembang, baik di ranah publik maupun domestik. Namun menguatnya konservatisme agama akhir-akhir ini menjadi tantangan karena menarik kembali perempuan untuk lebih fokus pada urusan domestik dan menjadi subordinat laki-laki.
Di sisi lain, Hasyim menilai dialog tentang laki-laki dan maskulinitas perlu terus dibuka. Refleksi atas konsep-konsep maskulinitas yang selama ini diyakini perlu dilakukan dengan melihat berbagai konsekuensi yang terjadi. Jika hal itu bisa dilakukan, maka praktik-praktik baru laki-laki yang lebih menghormati perempuan, seperti ikut bertanggung jawab dalam urusan domestik rumah tangga, atau terlibat dalam pengasuhan anak bisa dilakukan.
Baca juga: Jender dan Seksualitas, dari ”Feminist Scholarship” ke Tradisi Kritis-Akademis
Untuk bisa melakukan itu, maka dukungan sesama lelaki diperlukan. Karena kenyataannya, banyak laki-laki yang secara sadar sudah mempraktikkan budaya laki-laki baru itu sulit mengungkapkannya di ruang publik karena tekanan lingkungan patriarki yang masih tetap belum menoleransi peran-peran baru laki-laki yang lebih menghargai dan menghormati perempuan.