Sudah saatnya perempuan memperoleh pengakuan lebih besar melalui kesetaraan, pemaknaan baru yang menitikberatkan partisipasi membangun konstruksi sosial, agar kebijakan publik lebih responsif pada kondisi perempuan.
Oleh
PURNAWAN ANDRA
·4 menit baca
Peringatan Hari Ibu menyimpan cerita bahwa spirit perempuan di Indonesia tidak cuma gigih dalam menyuarakan hak-haknya, tetapi juga berani turun ke medan perang untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Kaum perempuan bukan unsur pasif dalam gelombang revolusi nasional, melainkan justru memainkan peran strategis.
Suryajaya (2016) menyebut Kartini menjadi tonggak awal dan penting yang merespons kondisi memprihatinkan yang pernah dialami perempuan Indonesia akibat perbedaan peran dalam kehidupan yang diciptakan oleh kaum patriarkis.
Dalam surat-menyurat dengan Stella Zeehandelaar, ia menulis, ”Kami ingin menjadikan perempuan lebih cakap melakukan tugas besar yang diberikan Ibu Alam ke tangannya agar menjadi ibu: pendidik umat manusia yang utama... Kepada kaum ibu, pusat kehidupan rumah tangga, dibebani tugas besar mendidik anak-anaknya... untuk berkeluarga besar, keluarga raksasa yang bernama masyarakat, karena anak-anak itu suatu waktu akan menjadi anggotanya. Untuk inilah kami meminta pendidikan dan pengajaran bagi gadis-gadis.”
Menurut Kartini, apa yang dikerjakan perempuan dalam ranah domestik berpengaruh ke ranah publik. Perempuan bukan hanya ”ibu rumah tangga”, melainkan juga ”ibu masyarakat”. Gagasan ini menjadi kenyataan ketika Dewi Sartika mendirikan Kaoetamaan Istri, sekolah khusus untuk kaum perempuan, pada tahun 1904. Ia ingin perempuan lebih berdaya melakukan berbagai jenis pekerjaan yang selama ini dikuasai lelaki.
Menurut Kartini, apa yang dikerjakan perempuan dalam ranah domestik berpengaruh ke ranah publik.
Pada awal abad ke-20, perjuangan perempuan terwadahi lewat organisasi perempuan, seperti Poetri Mardika, Wanita Oetomo, Wanita Moeljo, Poetri Indonesia, Darmo Laksmi, Aisyiyah, Wanita Katolik, dan Wanita Taman Siswa. Pada masa revolusi, kaum perempuan juga berjuang dalam politik, di antaranya melalui Sarekat Rakjat, juga di medan perang.
Pada masa penuh gelora inilah Nyonya Soekonto (Wanito Oetomo), Nyi Hadjar Dewantara (Taman Siswa), dan Nona Soejatin (Poetri Indonesia) berinisiatif menyelenggarakan Kongres Perempuan pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Salah satu agenda pokok kongres adalah menempatkan cita-cita emansipasi perempuan dalam bingkai kebangsaan yang lebih luas, tanpa membedakan latar belakang politik, suku, status sosial, dan agama.
Karena itu, Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1953 menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Dengan demikian, apabila Mother’s Day merupakan upaya mengapresiasi peran ibu dalam pekerjaan domestiknya, Hari Ibu pada dasarnya merayakan pergerakan perempuan sebagai ibu dari bangsa Indonesia, sebagai para srikandi nasional.
Definisi
Namun, pada masa Orde Baru, pemerintah Soeharto justru ”menjinakkan’ kaum hawa dengan mendefinisikan ulang peran perempuan menjadi ibu di lingkup domestik dan hanya diakui peran publiknya sebagai pendukung pembangunan. ”Politik ibuisme” ini dilakukan lewat pengorganisasian Dharma Wanita dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang menjadi corong program pemerintah di tingkat pusat hingga kecamatan, bahkan hingga RT/RW.
Strategi itu tecermin pada prinsip dasar Panca Dharma Wanita, yaitu wanita adalah sebagai pendamping suami yang setia, sebagai pengelola rumah tangga, sebagai pendidik anak, sebagai pencari nafkah tambahan, dan wanita adalah sebagai warga masyarakat.
Di era Reformasi, pemerintah justru sibuk mengurus soal perempuan bersikap dan berpakaian, membiarkan pro-kontra berkepanjangan mengenai peraturan dan perundang-undangan yang bertendensi mengontrol integritas tubuh dan ruang gerak perempuan dengan pembuatan 154 peraturan daerah, 19 di tingkat provinsi, 143 di tingkat kabupaten, dan 1 kebijakan di tingkat desa, yang menjadi sarana pelembagaan diskriminasi, kriminalisasi, dan politisasi tubuh perempuan (Kompas, 5/3/10).
Pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat memberikan penilaian dan standar-standar atas dasar ”moral Pancasila” dan ”moral agama”.
Pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat memberikan penilaian dan standar-standar atas dasar ”moral Pancasila” dan ”moral agama. Perempuan berada pada intersection (persilangan) antara yang keramat dan yang profan. Terkait hal ini, Spivak (dalam Budianta, 2003) melihat dikotomi-dikotomi negara/agama/modernitas yang bertujuan untuk ”menyelamatkan perempuan dari hal-hal yang buruk dan amoral” versus komunitas/seni rakyat/tradisi/budaya yang memandang perempuan sebagai penyangga yang keramat, adat, dan ritus, di samping ekspresi komunitas, seakan-akan ada garis tegas yang memisahkan keduanya.
Padahal, menurut feminis Iran, Fatimah Muhibbi (2005), jika perbedaan itu dibingkai dalam konstruksi budaya yang bias jender, apalagi jika dilegitimasi ayat-ayat agama, definisi persamaan hak itu kembali bermuara pada ekspresi politik patriarki yang secara substantif bertentangan dengan hukum Tuhan dan prinsip keadilan universal.
Refleksi Hari Ibu mengingatkan kita bahwa kaum perempuan telah memperjuangkan kebutuhan-kebutuhan mendasar bagi bangsa, yaitu pendidikan dan kesehatan. Pada masa penjajahan yang begitu memprihatinkan, para ibu selalu mencari jalan terbaik bagi lahir, tumbuh, dan besarnya anak-anak Indonesia dalam kehidupan yang sehat, bahagia, dan terdidik.
Pengetahuan-pengetahuan dasar tentang kesehatan reproduksi, sistem perawatan kesehatan ibu dan anak, ataupun sejumlah perangkat perlindungan hukum bagi perempuan merupakan warisan perjuangan ibu bangsa (Ayu Ratih, 2016).
Maka, sudah saatnya kini perempuan memperoleh pengakuan lebih besar melalui kesetaraan, pemaknaan baru yang lebih menitikberatkan partisipasi dalam membangun konstruksi sosial, agar kebijakan-kebijakan publik bisa menjadi lebih responsif terhadap kondisi dan posisi perempuan. Dengannya, mereka benar-benar bisa menjadi ibu bangsa yang melahirkan generasi yang lebih baik untuk Indonesia.
Purnawan Andra, Bekerja pada Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbud