Benahi Pendidikan Vokasi, Pemerintah Rombak Kurikulum
Sekolah vokasi dan industri bergandengan tangan untuk melakukan pembelajaran yang mengacu pada kurikulum yang diramu sesuai kebutuhan industri.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah merombak kurikulum pendidikan vokasi agar lebih fleksibel dan lincah, juga untuk mempertajam soft skill dan karakter peserta didik. Perubahan kurikulum ini diharapkan dapat mengubah paradigma pembelajaran pendidikan vokasi dan menyiapkan lulusan vokasi yang mencintai ilmu dan pekerjaan, serta memahami masa depan.
Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Wikan Sakarinto di webinar bertajuk ”Vokasi, Siapa Takut?” yang digelar sekolah vokasi Ottima International di Surabaya, Sabtu (22/5/2021), mengatakan, kurikulum baru pendidikan vokasi diterapkan pertengahan tahun ini atau tahun depan. Nantinya, dosen/guru mengajarkan pelajaran terapan berbasis proyek dan membiasakan siswa/mahasiswa mengerjakan proyek dalam tim sambil mempraktikkan mata pelajaran.
”Kurikulum yang diset lebih banyak soft skill dan karakter. Jadi, guru/dosen harus menyesuaikan. Kita ingin merombak mindset guru dan dosen supaya jangan mengajar dengan paradigma lama, yakni mengisi anak, tapi membuat anak mencintai bidang ilmu dan pekerjaan, memahami masa depan, sehingga mampu mengisi dirinya secara berkelanjutan sepanjang hayat,” ujar Wikan.
Wikan menyebutkan, kebijakan utama program vokasi 8+i diharapkan mampu menciptakan lulusan pendidikan vokasi yang kompeten, terampil, dan sesuai kompetensi. Kebijakan ini meminta institusi vokasi dan dunia usaha/industri bermitra serius untuk ”memasak bersama”.
Hal itu dimulai dari tahap membuat kurikulum bersama. Sekolah vokasi dan industri bergandengan tangan untuk melakukan pembelajaran yang mengacu pada kurikulum yang diramu sesuai kebutuhan industri. Institusi vokasi bertugas untuk mengajar, menyiapkan magang, dan sertifikasi. Adapun industri berperan dalam merekrut, memberikan pelatihan, membiayai, dan riset.
Penguatan pendidikan vokasi akan dilaksanakan serius, yakni sinkronisasi antara kurikulum dengan dunia usaha/industri dan kewirausahaan, pengembangan soft skill (proyek/kasus dari dunia usaha/industri atau masyarakat), guru tamu/ahli dari dunia usaha/industri (minimal 50 jam per semester per prodi), serta magang (minimal 1 semester+magang bersertifikat).
Adapula sertifikasi kompetensi, training guru dan dosen oleh industri (leadership dan mindset); riset terapan menghasilkan produk, hilirisasi ke industri/pasar/masyarakat; dan komitmen serapan lulusan. Akan lebih baik lagi jika, penguatan pendidikan vokasi ini disertai beasiswa, ikatan dinas, atau donasi dari dunia usaha/industri.
Pendidikan vokasi saat ini dilaksanakan di sekitar 2.200 institusi pendidikan tinggi (politeknik, universitas, institut, sekolah tinggi, akademi, dan akademi komunitas), sekitar 14.000 SMK, sekitar 17.000 lembaga kursus dan pelatihan, serta 7 balai besar vokasi. Lulusan vokasi sendiri mempunyai tiga pilihan, yakni bekerja, melanjutkan pendidikan, dan berwirausaha.
Sudah tidak zaman lagi bermitra dengan industri itu hanya berhenti di seremoni atau perjanjian MOU.(Wikan Sakarinto)
”Sudah tidak zaman lagi bermitra dengan industri itu hanya berhenti di seremoni atau perjanjian MOU. Tapi sekolah vokasi harus bisa mencari mitra industri yang memang sesuai dan bisa ’memasak bersama’ lalu ada komitmen ’makan bersama masakan’ yang sudah disiapkan sedemikian rupa, yakni menyerap lulusan vokasi untuk memperkuat pertumbuhan dunia usaha/kecil di Indonesia,” kata Wikan.
Keterlibatan industri untuk mendukung sekolah vokasi pun tidak lagi membebani. Sebab, kebijakan pemerintah menyediakan supertax deduction atau fasilitas pajak pengurangan penghasilan bruto untuk kegiatan vokasi berbasis kompetensi tertentu berdasar PMK 128/PMK.010/2019, juga memberi manfaat untuk industri. Disebutkan pengurangan paling tinggi 200 persen dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja/pemagangan, atau pembelajaran
Wikan mengatakan, untuk menyiapkan lulusan vokasi yang sesuai kebutuhan industri, pendidikan vokasi di SMK diperkuat, baik mereka yang menjalankan pendidikan tiga tahun maupun yang lulus SMK kemudian melanjutkan ke jenjang diploma 2. Ada juga dorongan untuk mendorong lulusan SMK langsung ke sarjana terapan dan S-2 terapan.
”Ada masukan, kalau lulusan SMK masih dianggap kurang matang, kalau D-3 atau sarjana terapan kelamaan. Karena itu, dirancang SMK D-2 Fastrack, di mana SMK selama tiga tahun dengan magang satu semester, di perguruan tinggi vokasi satu semester, yang dua semester magang industri. Jadi lebih cepat dan soft skill matang. Karena menjalani magang 1,5 tahun,” jelas Wikan.
Ketua Umum Indonesia Hotel General Manager Association I Gede Arya Pering mengatakan, jika sekolah vokasi bisa menghasilkan lulusan dengan kesiapan profesional dari awal, industri pasti melirik.
”Industri butuh SDM yang profesional dan berintegritas karena mereka akan membawa citra perusahaan. Kami berharap apa yang dibutuhkan dunia usaha, bisa jadi acuan dalam kurikulum di sekolah vokasi,” kata Arya.
Arya mengatakan, dalam industri pariwisata, seperti perhotelan, memang banyak yang tutup di masa Covid-19. Namun, tetap ada peluang. Untuk itu, dibutuhkan SDM yang mampu berinovasi dan gigih mencari cara untuk bertahan.
Menurut Arya, industri pariwisata terbuka lebar untuk menerima generasi muda dari lulusan sekolah vokasi pariwisata. Masih banyak hotel belum punya karyawan lulusan vokasi. Sayangnya, masih ada kesenjangan antara tenaga kerja yang dibutuhkan industri dan yang dihasilkan sekolah vokasi.
”Sering kali masih ada gap antara yang dibutuhkan industri dan sekolah pariwisata. Hal sederhana, seperti menyiapkan paradigma lulusan untuk berpikiran terbuka, melihat peluang kerja yang tidak hanya dekat tempat tinggal, tapi mau mengambil kesempatan kerja hingga ke luar negeri,” kata Arya.
Arya mengatakan, dengan kualitas sekolah vokasi yang belum link and match, sebagai contoh di perhotelan, pengembangan karyawan baru butuh waktu empat bulan oleh perusahaan. Masih perlu mengasah kompetensi dari keterampilan, pengetahuan, sikap, dan seni. Selain itu, juga butuh perilaku kewirausahaan untuk mampu berinovasi dan berkreasi.
Arya mencontohkan, dalam dunia hospitality, perlu seni berkomunikasi. Mengatakan tidak misalnya, harus mampu dilakukan dengan cara yang tetap ramah, bukan dengan langsung atau kasar. Demikian pula, sikap profesional untuk tetap mampu ramah dalam situasi apa pun saat melayani pelanggan.
Arya Putra Sundjaja, dosen Ottimo International, mengatakan, sekolah vokasi perlu mempertajam kemampuan teknis dari siswa, tetapi tak melupakan soft skill. Sebagai contoh untuk menjadi chef, siswa akan menghadapi situasi dapur yang bisa tiba-tiba kacau. Untuk itu, perlu diperkuat kemampuan memecahkan masalah yang terkadang tidak ada di panduan atau manual, sehingga harus dengan cepat mengambil keputusan.
”Untuk jadi chef di industri kuliner, tidak sekadar mampu memasak. Ada banyak hal yang harus dikuasai dari keilmuan dan praktik, sampai juga perhitungan bisnis, dan sikap profesional. Untuk itu, pendidikan vokasi memang harus bisa menyiapkan siswa yang siap menghadapi dunia nyata,” kata Putra.