Nyaris semua museum di dunia sempat tutup dan tertatih-tatih beradaptasi dengan pandemi Covid-19. Museum kini perlahan bangkit dengan mengajak pengunjung berkeliling secara daring.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Di masa awal pandemi Covid-19, nyaris semua museum di dunia tutup hingga jangka waktu yang tidak ditentukan. Bahkan, tidak sedikit yang berpikir museum mereka akan tutup permanen. Kondisi kini sedikit membaik. Sejumlah museum kembali dibuka dan program untuk publik bisa diakses secara daring.
Gambaran itu tampak dari survei Dewan Museum Internasional (The International Council of Museums/ ICOM) pada 7 April-7 Mei 2020 yang dilakukan terhadap 1.600 responden di 107 negara. Responden merupakan pihak museum dan pekerja museum profesional.
Akibat pandemi Covid-19, nyaris sepertiga museum berencana mengurangi anggota stafnya. Lebih dari sepersepuluh museum menghadapi kemungkinan tutup permanen.
Adapun 82,6 persen responden bersiap mengurangi program-program museum, 29,8 persen berpikir jumlah anggota staf harus dikurangi, dan 12,8 persen khawatir museumnya tutup permanen.
Museum-museum kemudian mencari cara agar tetap hidup. Aktivitas daring pun digiatkan walau 84 persen pekerja museum profesional bekerja dari rumah. Alhasil, komunikasi digital museum tercatat meningkat 15 persen di masa pandemi.
Museum menyesuaikan diri dengan mengandalkan teknologi. Mereka mengadakan tur museum virtual, pameran daring, dan interaksi dengan publik via media sosial. Tur virtual bisa ditemui, antara lain, di Museum Nasional Indonesia, Museum Guggenheim di New York, Museum Van Gogh di Amsterdam, Museum Louvre di Paris, dan National Gallery of Art di Washington DC.
Geliat museum mulai terlihat dalam survei kedua ICOM pada 7 September-18 Oktober 2020 di lima benua yang memperlihatkan peningkatan aktivitas digital museum sebesar 50 persen. Responden yang khawatir museum akan tutup permanen pun turun dari 12,8 persen (April 2020) menjadi 6,1 persen.
Sibuk beradaptasi
Direktur Museum MACAN (Modern and Contemporary Art in Nusantara) Aaron Seeto mengatakan, pandemi membuat dia dan timnya sibuk. Pihaknya ditantang untuk beradaptasi dengan cepat. Semua aktivitas di museum pun dialihkan ke pelantar daring, baik untuk rapat, pameran, maupun edukasi seni.
”Dengan tagar #MuseumFromHome, kami berhasil mendistribusikan materi pendidikan seni dan mengembangkan program pendidikan daring baru,” kata Aaron secara tertulis, Sabtu (8/5/2021). ”Inisiatif virtual ini memperluas cakupan kami. Sebagian besar audiens kami sekarang berada di luar Jabodetabek dan di seluruh Indonesia,” ucapnya.
Program Museum MACAN disalurkan di beragam media sosial, seperti Instagram dan Facebook. Ada pula yang disiarkan melalui Youtube, Spotify, dan Zoom.
Beberapa museum di luar negeri tutup karena mereka menghidupi museum dengan mengandalkan kedatangan orang atau (penjualan) karcis. Ini tantangan bagi kita agar museum tetap hidup.
Sebelumnya, Museum MACAN tutup sementara pada 14 Maret 2020 hingga 9 Maret 2021. Museum kembali dibuka pada 10 Maret 2021 dengan protokol kesehatan. Pengunjung bisa datang setelah membeli tiket secara daring.
Waktu dan kapasitas pengunjung di museum juga dibatasi. Pengunjung bisa memilih slot waktu antara pukul 10.00-12.00, 12.00-14.00, dan 14.00-16.00. Menurut Aaron, slot kunjungan terjual habis di beberapa akhir pekan.
Sebelumnya, Kepala Museum Kepresidenan RI Balai Kirti, Dewi Murwaningrum, mengatakan, museum masih ditutup untuk kunjungan langsung. Aktivitas museum dialihkan ke ruang maya, seperti diskusi daring, tur virtual, dan lomba. ”Selain itu, perawatan museum dan koleksi museum masih tetap dilakukan secara rutin,” katanya.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Fitra Arda mengatakan, pandemi berdampak pada penurunan kunjungan publik ke museum. Padahal, tingkat kunjungan masyarakat Indonesia ke tempat bersejarah dan museum selama ini sudah tergolong rendah, yakni 6,43 persen. Fakta ini sesuai dengan Survei Sosial dan Ekonomi Nasional Modul Sosial, Budaya, dan Pendidikan 2015.
Museum-museum milik pemerintah di daerah didorong untuk memanfaatkan dana alokasi khusus guna menghidupkan museum. Lebih jauh, ia berharap museum bisa mengembangkan diri dan beradaptasi di tengah pandemi.
”Beberapa museum di luar negeri tutup karena mereka menghidupi museum dengan mengandalkan kedatangan orang atau (penjualan) karcis. Ini tantangan bagi kita agar museum tetap hidup,” kata Fitra pekan lalu.
Adapun Aaron mengatakan, museumnya bertahan karena dukungan donatur dan mitra. Pihaknya juga membuat program Arisan Karya yang memungkinkan pecinta seni membeli kupon Rp 1 juta untuk membeli karya seni dari sekitar 250 perupa secara acak. Sebanyak 70 persen uang yang terkumpul dari kupon kemudian disalurkan kembali ke perupa. Paket sembako dari sponsor juga diberi ke perupa.
Seni di masa depan
Menurut Aaron, pandemi telah mengubah cara orang menikmati seni. Seni yang semula berkaitan erat dengan pengalaman fisik kini berubah menjadi pengalaman nonfisik. Ini dinilai berdampak pada perkembangan seni.
”Ini akan berdampak abadi pada cara kita terlibat dengan seni. Jika interaksi seni sebatas virtual, bagaimana tanggapan seniman? Saya tidak tahu apa digital akan menjadi jawaban akhir. Tapi, apa pun itu, saya harap ada visi ulang yang dipimpin seniman; tentang bagaimana kita melibatkan seni, bagaimana melihat dan mengalaminya, bagaimana mengajarkannya pada anak-anak, dan bahkan bagaimana mengatur institusi kita untuk mempresentasikannya,” tutur Aaron.
Adapun ICOM menilai bahwa pemulihan setelah krisis pandemi akan panjang dan kompleks. Museum dinilai memiliki peran kunci untuk pembangunan lokal dan tempat orang berkumpul untuk belajar.
”Museum akan punya peran penting untuk membangun kembali ekonomi lokal dan memperbaiki tatanan sosial masyarakat yang terdampak,” tulis ICOM di lamannya.