Budayawan Radhar Panca Dahana meninggal dunia, Kamis (22/04/2021) malam pukul 20.00 di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Ia dikenal sebagai budayawan yang kritis dan gigih.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan, Mediana
·3 menit baca
"Sepertinya ada ketidakpedulian, bisa jadi kebebalan. Puluhan tahun memperjuangkan kebudayaan menjadi fondasi cara kita membangun negara, manusia dan bangsa di dalamnya, hasilnya hampir nihil bahkan negatif"(Radhar Panca Dahana).
Demikian tulisan budayawan Radhar Panca Dahana di halaman 7 Harian Kompas, Selasa (21/01/2020) berjudul "Sakratul Maut Seni-Budaya". Ia begitu resah dengan nasib kebudayaan, terutama seni sebagai bagian vital di dalamnya, yang masih dipandang dan diposisikan sebagai obyek yang perlu dieksploitasi dan dimanipulasi.
Radhar geram ketika kesenian dan kebudayaan hanya dianggap sebagai ”beban”, biaya atau cost. Juga, cara berpikir yang terus memojokkan seni dan budaya sebagai kaum miskin yang mengemis (kepada elite penguasa/pengusaha). Padahal, seni dan budaya sesungguhnya bisa, dan terbukti, dapat bekerja dan berkembang mandiri.
Menurut cendekiawan berdedikasi Kompas 2014 ini, pembangunan membutuhkan operator agar bisa bermanfaat maksimal, terpelihara baik dan berkembang kapasitasnya. Operator itu adalah manusia yang kreatif, produktif, inovatif, jujur, dan dan berkarakter baik. Lalu yang membangun manusia semacam itu tidak lain adalah kebudayaan dan seni.
Lulusan Ecole des Hautes Études en Science Sociales, Paris, Perancis (DEA, 1998-2000) ini tak pernah putus asa menyuarakan kegelisahannya, bahkan sampai mengembuskan nafas terakhir, Kamis (22/04/2021) malam pukul 20.00 di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. "Hari ini adalah jadwal cuci darah mas Radhar. Tapi, sebelum cuci darah, kondisinya drop,"ungkap seniman sekaligus sutradara Exan Zen saat menjenguk almarhum di RSCM.
Dari RSCM, jenazah Radhar dibawa ke Rumah Duka di
Komplek Villa Pamulang pukul 21.40. Rencananya, almarhum akan dikebumikan pada Jumat (23/4/2021) usai salat Jumat di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta.
Dosen Filsafat di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Tommy F Awuy mengenang Radhar sebagai sosok yang tangguh dan terkenal blak-blakan. Sejak 2001, Radhar rutin menjalani cuci darah. Namun, hal itu tidak membuatnya lesu dalam berkarya. Ia justru semakin produktif berteater, berpuisi, dan menulis di media massa.
“Dia blak-blakan. Suatu hari dia pernah meluncurkan buku, saya datang telat. Akan tetapi, dia langsung panggil saya maju, mengenalkan saya ke banyak penonton sebagai teman dekat, dan saya ditodong memberikan kesaksian tentang dirinya,” ujar Tommy.
Saat dihubungi, seniman Butet Kartaredjasa mengaku sangat kehilangan. Dia mengenang Radhar Panca Dahana sebagai sahabat yang pekerja keras. Penyakit yang dideritanya justru dijadikan sebagai pemacu untuk terus bekerja.
“Sangat tidak kenal lelah. Kalau ke Yogyakarta, dia selalu mampir ke tempat saya," kata Butet.
Menurut Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta Bambang Prihadi, Radhar adalah sosok yang visioner dalam setiap kerja-kerja kebudayaan.“Dia berkali-kali memikirkan politik, sosial, dan ekonomi harus berjalan setara,” kata dia.
Di Federasi Teater Indonesia (FTI), lanjut Bambang, Radar pun sangat visioner. Almarhum selalu ingin memperjuangkan kesetaraan nasib pemain teater. Meski FTI tidak aktif belakangan, para anggotanya sadar perjuangan almarhum harus dilanjutkan.