Mengelola Anak Muda, Menjaga Bangsa
Dua dari tiga penduduk Indonesia adalah anak muda, generasi milenial ke bawah. Mereka tumbuh di era transisi demokrasi dan akrab teknologi. Potensi mereka besar, tetapi tantangannya berat.
Dua dari tiga penduduk Indonesia adalah anak muda, generasi milenial ke bawah. Mereka tumbuh di era transisi demokrasi dan akrab teknologi. Potensi mereka besar, tapi tantangannya tak kalah berat.
Susah-susah gampang mengelola penduduk muda karena dinamikanya yang sangat tinggi. Butuh kecermatan masyarakat dan negara agar potensi anak muda itu bisa dimanfaatkan optimal. Salah urus anak muda, taruhannya adalah masa depan dan ketahanan bangsa.
Sensus Penduduk 2020 yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik menunjukkan 64,69 persen atau 173,48 juta penduduk Indonesia berumur kurang dari 40 tahun. Dari jumlah itu, porsi terbesar dipegang generasi Z yang lahir antara 1997-2012 dan diikuti generasi Y atau milenial yang lahir 1981-1996.
”Masa remaja adalah masa yang menentukan bagi perkembangan seseorang, bukan tahun lahirnya,” kata Direktur Eksekutif Youth Laboratory Indonesia dan penulis sejumlah buku mengenai anak muda, Muhammad Faisal, beberapa waktu lalu.
Baca juga: Pandemi Pukul Mental Kaum Muda
Dalam perkembangan psikologis, sebagian besar generasi milenial dan Z itu mengalami masa remaja setelah era Reformasi 1998. Di masa itu sedang terjadi kekosongan narasi kebangsaan di Indonesia karena pemerintah fokus menata ekonomi dan sistem politik. Pada saat bersamaan, narasi keagamaan yang cenderung eksklusif justru berkembang.
Di sektor ekonomi, pascareformasi, anak muda banyak mengembangkan narasi kewirausahaan maupun usaha rintisan (start up), hal yang di masa sebelumnya umumnya dilakukan penduduk tua. Mereka juga membuat narasi soal minat atau passion hingga mereka lebih memilih pekerja sesuai keinginan mereka dan mengurangi campur tangan orangtua.
Masa remaja adalah masa yang menentukan bagi perkembangan seseorang, bukan tahun lahirnya.
Tak adanya narasi kepemudaan membuat anak muda memformulasikan sendiri konsep kebersamaan di antara mereka. Media sosial jadi alat perekatnya. Berkembanglah berbagai organisasi atau komunitas anak muda yang disatukan oleh berbagai hal, mulai dari minat sampai politik. Organisasi itu berkembang tanpa perlu legitimasi negara, seperti di masa Orde Baru, hingga sifatnya menjadi lebih cair.
Memasuki dekade 2010-an, saat era digital benar-benar menyentuh berbagai aspek kehidupan, banyak media anak muda bubar. Majalah maupun acara televisi yang menyasar anak muda mulai ditinggalkan. Konsekuensinya, selera dan budaya pop anak muda makin beragam, menumbangkan banyak industri arus utama yang sulit beradaptasi dan memunculkan industri baru yang mampu menjawab kebutuhan anak muda.
Baca juga: Anak Muda Cemas Hadapi Masa Depan yang Tak Pasti
Sementara itu, lanjut Faisal, titik kritis bagi generasi Z yang saat ini berumur antara 8-23 tahun adalah menjalani masa remaja di tengah pandemi Covid-19. Korona membuat tatanan dunia yang mapan berubah hingga menimbulkan banyak ketidakpastian yang membuat remaja cemas akan kemampuan diri, masa depan, dan eksistensi mereka.
Situasi itu akan memengaruhi aspirasi remaja dalam menempuh pendidikan atau berkarir. Pilihan jurusan terkait kesehatan diyakini akan melonjak, baik karena aspek heroiknya selama pandemi ini maupun keberlanjutan ekonominya. Sementara bekerja di rumah akan semakin menjadi pilihan, khususnya yang tak terikat tempat atau jam kerja tertentu.
Kesenjangan
Di luar tantangan yang berubah, peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Diahhadi Setyonaluri mengingatkan besarnya kesenjangan yang dihadapi anak muda Indonesia. Generasi milenial dan Z memang lebih terdidik dibanding generasi sebelumnya dan akrab teknologi, tetapi itu tidak semuanya.
Data Wittgenstein Centre for Demography and Global Human Capital, Austria menunjukkan dari 10 milenial Indonesia pada 2020, sebanyak 1,5 orang lulusan perguruan tinggi, 4 orang lulus SMA/SMK, 2 orang lulus SMP, dan 2 orang lulus SD. Milenial berpendidikan rendah itu juga ada di Jakarta, khususnya di daerah permukiman padat.
Di bidang pekerjaan, lanjut Diahhadi, makin banyak anak muda yang menekuni pekerjaan di sektor digital. Namun, kian mudah ditemui anak muda yang bekerja sebagai tukang ojek daring. Memang tidak salah menjadi tukang ojek, tetapi pekerjaan ini tidak bisa digunakan untuk mengakselerasi produktivitas bangsa karena memang sulit dikembangkan.
Baca juga: Jangan Sepelekan Kesehatan Mental Warga
Selain itu, anak muda Indonesia juga tidak semua tinggal di kota. Mereka yang berada di perdesaan, daerah terpencil, dan perbatasan pasti memiliki aspirasi hidup berbeda. Mereka juga punya hak untuk diperhatikan negara dengan cara yang berbeda seperti sebagian rekan mereka yang sudah menjadi warga global.
Di sisi lain, partisipasi perempuan di dunia kerja relatif stagnan sejak 1990-an, yaitu di sekitar angka 50 persen, jauh lebih rendah dibanding laki-laki yang mencapai lebih dari 80 persen. Padahal, partisipasi perempuan di pendidikan makin besar, bahkan kian tinggi jenjang pendidikannya makin tinggi pula partisipasi perempuan.
Kondisi itu membuat hasil investasi negara dalam pendidikan kurang optimal. Kemampuan dan kecerdasan perempuan yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk menggerakkan ekonomi justru tidak termanfaatkan. Sistem dan infrastruktur yang mendukung perempuan untuk bekerja sembari memperhatikan keluarga sangat lambat berkembang.
Akhirnya, ”Banyak perempuan berpendidikan tinggi memilih bekerja dengan waktu kerja tidak tetap yang sulit berkembang dan dengan penghasilan kecil sekadar untuk bertahan hidup atau membantu ekonomi keluarga,” kata Diahhadi.
Selain itu, generasi milenial dan Z lekat dengan berbagai prasangka di dunia kerja. Mereka dianggap kurang loyal dan suka berpindah kerja. Generasi ini juga dipandang lebih ekspresif dan gemar beradu argumen hingga seringkali memicu konflik dengan generasi sebelumnya.
Optimalisasi potensi
Meski secara nasional bonus demografi di Indonesia sudah berlangsung sejak 2012 dan akan mencapai puncaknya pada 2021-2022 (Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045) atau tahun 2028-2031 (Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035), upaya nyata optimalisasi potensi tersebut melalui peningkatan kualitas generasi milenial dan Z masih jauh dari harapan.
Baca juga: Cara Anak Muda Hadapi Pandemi
Generasi milenial itu saat ini sudah menjadi kepala daerah, anggota dewan legislatif, serta birokrat. Perlahan tapi pasti, mereka akan jadi motor penggerak bangsa. ”Mereka bisa terjebak dalam urusan manajerial semata jika tidak memiliki landasan ideologi Pancasila yang kuat,” kata Faisal. Kondisi itu akan membuat keberpihakan mereka pada kepentingan bangsa rendah.
Penyiapan kesehatan fisik dan mental mereka juga penting. Perubahan gaya hidup membuat konsumsi gula, garam, dan lemak di masyarakat makin meningkat hingga menaikkan risiko mereka terhadap sejumlah penyakit degeneratif. Di sisi lain, kesehatan mental yang diabaikan selama pandemi bisa menghasilkan anak muda yang rapuh jiwanya dan lemah produktivitasnya.
Terkait politik, Diahhadi menilai pandangan politik generasi muda yang sangat terpolar tidak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan Indonesia. Lemahnya kemampuan membaca anak Indonesia membuat mereka mudah terjebak hoaks, terpancing ujaran kebencian, hingga berani mengambil keputusan secara emosional, tanpa didasari informasi yang lengkap.
”Sistem pendidikan yang ada tidak cukup membekali anak dengan kemampuan menguatarakan pendapat secara argumetatif dan kritis,” katanya. Pendidikan Indonesia masih mengedepankan pada pemberian pengetahuan, bukan kemampuan menganalisis dan berpikir logis. Akibatnya, beban pelajaran sangat banyak dan semua menuntut untuk dihapal, bukan dipahami.
Dalam bidang ekonomi, pekerjaan generasi milenial dan Z sebelum pandemi banyak didorong oleh passion tertentu, tidak seperti generasi sebelumnya yang lebih mampu bekerja dalam bidang apapun meski tidak sesuai pendidikan atau minatnya. Akibatnya, pekerjaan sebagai barista, kreator konten (vloger), usaha rintisan hingga jasa layanan (hospitality) melonjak.
Pandemi mengubah struktur ekonomi itu dan menuntut generasi milenial dan Z untuk lebih adaptif dengan perubahan itu. ”Mereka harus lebih realistis dalam memilih pekerjaan, lebih mampu mengompromikan ego dengan kenyataan,” tambahnya. Hal itu dilakukan bukan saja demi menghindari meningkatnya pengangguran terdidik, tetapi juga menjaga kesehatan mental mereka.
Situasi ekonomi yang berubah juga menuntut anak muda untuk lebih mampu mengelola keinginan. Anak muda masa kini tumbuh dengan pilihan konsumsi yang beragam dan cukup diakses melalui ujung jari mereka. Berkurangnya pendapatan dan terkurasnya tabungan setelah setahun pandemi menuntut anak muda lebih mampu mengerem kebutuhan konsumsinya.
Diahhadi menambahkan, pemerintah perlu menciptakan sistem pasar kerja yang mampu menampung keberagaman potensi anak muda Indonesia, dari yang digital nomad sampai anak muda yang termarjinalkan. Kebijakan yang mampu mengakomodasi tumbuh dan berkembangnya usaha mikro yang bukan sekedar untuk bertahan hidup, juga harus dilakukan.
Berbagai pelatihan pun perlu diberikan kepada anak muda untuk meningkatkan kompetensi mereka hingga kreativitas mereka bisa berkembang lebih baik dan meningkat produktivitasnya. Di sinilah peran Kartu Prakerja perlu dikembalikan ke misi awalnya untuk menyongsong Revolusi Industri 4.0. Tentu, pelatihan itu harus disesuaikan dengan kondisi tiap kelompok anak muda yang berbeda serta tantangan pandemi yang masih terjadi.
Untuk menghasilkan generasi penerus bangsa yang tangguh, lanjut Fasial, negara juga perlu merancang pola asuh yang sesuai karakter bangsa. ”Pola pengasuhan ini tidak bisa diserahkan ke masing-masing keluarga, tetapi negara harus hadir demi menciptakan generasi penerus bangsa yang diinginkan,” katanya.
Sejak Reformasi 1998, pola asuh keluarga Indonesia banyak mengadopsi pola pengasuhan di Amerika Serikat yang demokratis dengan mendiskusikan segala hal. Namun, pada saat bersamaan mereka juga mengedepankan pengasuhan yang protektif hingga tanpa disadari justru melamahkan ketangguhan dan kepemimpinan anak.
Pada saat bersamaan, pola asuh gaya China yang keras dan dianggap lebih memunculkan kepemimpinan anak juga digunakan. Ada pula pengasuhan gaya Jerman yang mengedepankan tanggung jawab, gaya Perancis yang menakankan kontrol, atau gaya Skandinavia yang mengutamakan harmoni dengan alam.
Sementara itu, pembuatan kebijakan untuk mengakomodasi potensi generasi milenial dan Z itu juga harus melibatkan anak muda, apa mau mereka. Selama ini, perumusan kebijakan untuk anak muda masih menekankan pada kepentingan ”orang tua” yang seringkali justru bertolak belakang dengan keinginan anak muda.
”Jika pengelolaan anak muda masih business as usual seperti selama ini, ketimpangan antaranak muda akan semakin lebar. Ketimpangan itu akan memicu polarisasi politik yang makin parah hingga bisa berdampak pada ketahanan bangsa. Selain itu, cita-cita Indonesia menjadi negara maju berpendapatan tinggi juga akan semakin lambat terwujud,” tambah Diahhadi.