Media massa turut berperan menyuarakan persoalan masyarakat yang terpinggirkan, seperti hak pekerja rumah tangga. Namun, peran itu belum maksimal dijalankan oleh media massa.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pekerja rumah tangga dan isu yang mereka hadapi bersinggungan erat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Akan tetapi, pemberitaan atas persoalan mereka minim di media massa.
Berdasarkan hasil riset Konde.co yang didukung oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) soal ”Pemberitaan Media tentang Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT)”, narasumber dalam berita tidak banyak menampilkan perwakilan PRT. Narasumber rata-rata yang dikutip dari DPR RI, aktivis, dan Komnas Perempuan.
Riset itu menyasar ke sepuluh media massa daring teratas versi Alexa.com terhadap isu RUU PPRT selama Januari-Maret 2021. Media massa daring dipilih sejalan dengan perubahan konsumsi media di masyarakat dalam mencari informasi.
Kesepuluh media massa daring yang dimaksud, meliputi Okezone.com, Tribunnews.com, Kompas.com, Detik.com, Grid.id, Sindonews.com, Suara.com, Liputan6.com, Merdeka.com, dan Kumparan.com.
Adapun penelitian ini dianalisis menggunakan metode analis framing Robert NEntman yang mengupas definisi masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral, dan tawaran penyelesaian yang ditampilkan dalam teks berita.
Selain minimnya suara perwakilan PRT tampil dalam pemberitaan, Ketua peneliti dari Konde.co, Tika Adriana, Kamis (8/4/2021), di Jakarta, mengatakan, jumlah berita tentang pelindungan PRT, khususnya RUU PPRT, juga jarang.
Dalam pemberitaan tentang RU PPRT, Kompas.com menempati jumlah artikel tertinggi (6 berita), diikuti Liputan6.com (3), Tribunnews.com (1 berita), Detik.com (1 berita), Suara.com (1 berita), Sindonews (1 berita), Merdeka.com (1 berita), Okezone.com (1 berita), serta Kumparan.com dan Grid.id (tidak ada berita). Padahal, sepanjang Januari-Maret 2021 terdapat sekitar sembilan acara untuk mendorong pengesahan RUU PPRT. Peringatan Hari PRT Nasional yang jatuh pada 15 Maret 2021 tidak juga membuat media massa daring tertarik menuliskannya.
Dari hasil analisis, dia menyampaikan, hampir semua media massa daring yang diteliti mendukung adanya RUU PPRT, tetapi narasi pemberitaan yang muncul hanya normatif. Dengan kata lain, pemberitaan yang ada kebanyakan sebatas menuliskan secara mentah hasil dari acara, tanpa mengkritisi.
Belum ada inisiatif dalam mengembangkan isu. Media massa daring yang kami teliti belum memunculkan rekomendasi atas persoalan yang dialami PRT. (Tika Adriana)
”Belum ada inisiatif dalam mengembangkan isu. Media massa daring yang kami teliti belum memunculkan rekomendasi atas persoalan yang dialami PRT,” ujar Tika.
Satu acara bisa dipecah menjadi beberapa tulisan pemberitaan. Beberapa berita dituliskan dengan narasumber berbeda, tetapi dalam satu acara yang sama. Kemudian, terdapat replikasi/ pengulangan berita dari sesama media dari satu induk perusahaan yang sama.
Tika menambahkan, selama 17 tahun kelompok PRT berjuang memperoleh pengakuan hukum melalui RUU PPRT. Namun, dalam kurun waktu tersebut, RUU PPRT selalu keluar masuk program legislasi nasional. Media massa sebagai pilar demokrasi semestinya ikut membantu menyuarakan.
Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin yang hadir bersamaan, menyampaikan, fakta di dunia menunjukkan, PRT adalah seorang pengasuh, pembersih rumah, dan juru masak dalam kehidupan nyata. Mereka telah lama berjuang melawan seksisme, rasisme, dan perlakuan pengecualian dalam undang-undang.
”PRT dianggap sebagai orang kampung yang bodoh, tidak berpendidikan, dan miskin. Untuk menuliskan isu pelindungan PRT, individu perlu menambah wawasan supaya termotivasi. Selain realitas di masyarakat, seseorang bisa mengenali jejak sejarah kehidupan PRT,” katanya.
Lebih jauh, lanjut Mariana, jurnalisme dalam isu PRT semestinya berani mengali penyebab diskriminasi. Ruang domestik yang menjadi lokasi kerja PRT belum menjanjikan rasa aman.
”Dengan memahami sejarah dan meninjau akar penyebab kekerasan, jurnalis dapat memahami pola masalah yang sama yang dihadapi oleh sejumlah besar PRT,” ujarnya.
Pemimpin Redaksi Liputan6.com Irna Gustiawati menyampaikan, PRT umumnya muncul dan diliput oleh media massa apabila terdapat kasus. Media massa yang ingin mendalami kasus harus membuat agenda sendiri.
Untuk media massa daring, seorang wartawan biasanya mendapat target jumlah pemberitaan per hari. Jika ingin mendalami suatu isu, wartawan harus kontak sejumlah narasumber. Ini membuat individu jurnalis bersangkutan tidak tercapai. Kemudian, menurut Irna, media massa daring harus berhadapan dengan media sosial dan raksasa mesin pencari Google.
”Di kalangan media massa daring sebenarnya semakin muncul kesadaran untuk mengakomodasi isu masyarakat yang terpinggirkan,” kata Irna.
Dia menambahkan, jurnalis membutuhkan ruang diskusi berkelanjutan untuk memudahkan mereka mengikuti dan mengembangkan isu masyarakat yang terpinggirkan. Isu PRT, misalnya. Irna mengusulkan agar ada grup komunikasi di aplikasi pesan instan yang memungkinkan seluruh pemangku kepentingan RUU PPRT dan jurnalis bisa bertemu.