Intervensi Pemda Diperlukan untuk Melestarikan Kebaya
Kebaya merupakan salah satu sarana atau alat pemersatu bangsa khususnya perempuan Indonesia tanpa melihat suku, agama, maupun latar belakang pendidikan budaya, sosial, dan ekonomi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Strategi komunikasi mengenalkan kebaya ke dunia dan generasi milenial dapat dilakukan melalui komitmen yang dilakukan pemerintah daerah. Hal ini perlu dilakukan karena kebaya tidak hanya menjadi pakaian tradisional Indonesia, tetapi juga merupakan bagian dari budaya dan pemersatu bangsa khususnya kaum perempuan.
Ketua Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI) Bali, Gung Tini Rusmini Gorda menyampaikan, kebaya mulai masuk dan banyak dikenakan perempuan di Bali pada masa kolonial Belanda yakni sekitar tahun 1919-1931. Sebelum periode waktu tersebut, kebaya hanya digunakan oleh kalangan putri raja.
Saat ini, upaya pelestarian kebaya di Bali salah satunya dilakukan melalui Peraturan Gubernur Bali Nomor 79 Tahun 2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali. Pergub tersebut mengatur tentang kewajiban penggunaan pakaian adat madya bagi pegawai di lembaga pemerintahan dan swasta setiap hari Kamis, Purnama, Tilem, dan hari jadi provinsi Bali yakni 14 Agustus.
Pergub tersebut juga mengatur unsur busana adat Bali atau ketentuan untuk perempuan yakni kebaya, kamen, selendang, dan tata rambut rapi. Sedangkan busana adat Bali untuk laki-laki yaitu destar atau udeng, baju, kampuh, selendang, dan kamen.
“Saya ingin mengatakan bahwa harus ada intervensi jika kita ingin ada perubahan dalam menyosialisasikan atau membuat kebaya menjadi warisan dunia. Masyarakat Bali sendiri kerap menggunakan kebaya tradisional dalam berbagai kesempatan,” ujarnya dalam acara Kongres Berkebaya Nasional (KBN) secara daring, Senin (5/4/2021).
Meski demikian, Gung juga menegaskan bahwa peran pemda saja tidak cukup untuk mengenalkan kebaya ke dunia dan generasi milenial. Menurut dia, upaya ini perlu kolaborasi dan sinergi dari pemerintah, akademisi, masyarakat, dunia usaha, dan media atau dikenal dengan istilah pentahelix.
Penasehat Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kementerian Agama (Kemenag) Eny Retno Yaqut mengemukakan, Kemenag ingin menempatkan kebaya sebagai salah satu sarana atau alat pemersatu bangsa khususnya perempuan Indonesia tanpa melihat suku, agama, maupun latar belakang pendidikan budaya, sosial, dan ekonomi. Sebab, kebaya dapat dikenakan siapapun juga tanpa melihat identitas-identitas tersebut.
Sejarah kebaya
Sejumlah literatur menyebutkan, kemunculan kebaya yang dikenakan perempuan Indonesia berkembang secara perlahan pada abad ke-15 hingga ke-16. Saat itu, kebaya diperkenalkan oleh imigran Arab, Tiongkok, dan Portugis. Pada abad ke-18 dan ke-19, barulah kebaya mulai banyak dikenakan oleh tokoh-tokoh kebangsaan perempuan.
“Dalam karya klasik The Religion of Java karya Clifford Geertz, aspek religiositas kebaya digambarkan dalam golongan abangan, santri, dan priyayi. Dimana implementasi religiositas kebaya tercermin dari perpaduan Islam, Sufisme, animisme, dinamisme, Hindhuisme, dan juga Budhisme,” ujar Eny.
Dalam dunia kontemporer modern saat ini, kata Eny, kebaya tidak hanya berfungsi sebagai identitas kaum perempuan, tetapi juga telah menjadi simbol emansipasi dan pemberdayaan perempuan. Bahkan, kebaya kerap dikonotasikan dengan tokoh-tokoh pejuang kebangsaan perempuan Indonesia. Hal ini membuat kebaya menjadi bagian dari akar budaya Indonesia.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno dalam video sambutannya menyampaikan, kebaya merupakan salah satu pakaian nasional perempuan Indonesia yang selalu dilestarikan. Kebaya juga memiliki arti filosofi yang begitu mendalam dan menjadi identitas sekaligus media pemersatu bangsa.
Sandiaga menegaskan, semua pihak perlu mendukung upaya pelestarian budaya. Upaya dari semua pihak sekaligus akan mendukung proses penetapan Hari Berkebaya Nasional dan mendorong pengajuan kebaya sebagai warisan budaya tak benda asal Indonesia ke Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unesco).
“Saya mengajak seluruh perempuan Indonesia khususnya generasi muda untuk lebih sering berkebaya di berbagai kesempatan. Melalui cara tersebut, saya yakin rasa bangga terhadap kebaya akan semakin muncul. Selain itu, dengan berkebaya juga turut membantu pengembangan usaha para pelaku UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) ekonomi kreatif khususnya di bidang fashion,” tuturnya.