Menurut Era, inspirasi Tara lahir dari sosok Arya Tara (Prajnaparamita), tokoh perempuan dari abad ke-9, yaitu ratu dari Medangkarta di tanah Jawa, yang figurnya diabadikan menjadi seorang dewi.
Oleh
Dwi As Setianingsih
·3 menit baca
Perancang busana Era Soekamto meluncurkan koleksi rancangan busana terbarunya, Tara, pada Sabtu (27/2/2021) dalam sesi gelar wicara daring bertajuk ”Mindful living, Nusantara Wisdom & Legacy”. Koleksi Tara hadir dalam rangkaian rancangan kebaya yang berkarakter anggun dan klasik, sekaligus tampil modern.
”Saya mengetengahkan bahwa kebaya itu tidak hanya untuk pakaian formal, tetapi juga bisa untuk mix and match. Kebaya adalah busananya perempuan Indonesia, walau dengan kebaya yang ada transparannya, ada berbagai macam motif, tetapi yang kita asah itu kan rasa, yang kita jaga itu adalah akhlak dan budi kita. Jadi, kecantikan itu tidak hanya dari apa yang kita pakai saja, tetapi juga comes from within. Itu bentuk kepedulian saya untuk menjaga legacy sebagai perempuan Indonesia,” tutur Era.
Menurut Era, inspirasi Tara lahir dari sosok Arya Tara (Prajnaparamita), tokoh perempuan dari abad ke-9, yaitu ratu dari Medangkarta di tanah Jawa, yang figurnya diabadikan menjadi seorang dewi, wanita suci, simbol kebijaksanaan transendental. Ajarannya yang mendunia adalah tentang welas asih, kebebasan jiwa dalam melihat segala perbedaan, kesadaran penuh hadir utuh atas kehadiran-Nya dalam setiap gerak, keputusan. Apa pun yang terjadi pada hidup adalah pelajaran yang baik bagi jiwa untuk bertumbuh.
Tara, ujar Era, dipercaya lahir dari air mata Avalokitasvara (manusia yang tercerahkan). Air mata tersebut bukan karena kesedihan, melainkan persembahan kepada Tuhan karena rasa syukur. ”Ini juga adalah tanda bahwa kita pernah hidup di masa pandemi dan kita juga merasakan penderitaan adalah true liberating,” kata Era.
Era menerjemahkan inspirasinya tersebut, antara lain, dalam kebaya batik bermodel kutubaru yang anggun berwarna cokelat muda. Motif batik yang digunakan adalah kawung patola atau jlamprang patola dengan warna-warna yang simultan. Satu kebaya kutubaru dipasangkan dengan kain panjang dan selendang. Satu lagi kebaya kutubaru berbahan tenun ATBM dan satin.
”Jadi, memang benar-benar warnanya crème on crème, lalu peach, dan ada sedikit pradanya. Saya pengin orang yang pakai fashion, bukan fashion yang pakai orang. Jadi, menunjukkan beauty comes within itu dengan sangat lembut,” ujar Era.
Beberapa kebaya bordir (embroidery) berbahan organsa dipadukan dengan kain batik satin untuk gaya kasual sehari-hari. Kain batiknya dikenakan dengan gaya art of nothing, diikat begitu saja dengan ikatan di bagian depan, memunculkan kesan modern dan kasual yang kuat. Begitu pula ketika kebaya bordir organza model longgar dipadukan dengan celana panjang lebar berbahan melayang, menjadi modis dan bergaya.
Era juga menggunakan batik sebagai medium untuk membuat robe (jubah) atau kimono. Tak hanya cocok untuk dikenakan selama di rumah, tetapi juga untuk keluar rumah. ”Saya memakai komposisi patola dari India karena ini berhubungan dengan Tara. Tara memang ada hubungan dengan Sriwijaya dan beririsan dengan India. Makanya ada satu motif namanya jlamprang ini dipakai di India dengan komposisi ada bordirnya. Tapi itu adalah batik,” kata Era.
Dalam kesempatan yang sama, bersama Hartadinata Abadi, salah satu produsen dan manufaktur perhiasan emas Indonesia, Era juga menerjemahkan kecantikan yang lahir dari dalam diri itu melalui rangkaian koleksi perhiasan emas yang menawan. (DOE)