Almarhum Usmar Ismail dengan 28 karya filmnya membawa pengaruh besar terhadap perfilman Indonesia di dalam ataupun luar negeri.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
Sebelum meninggal 2 Januari 1971, Usmar Ismail telah menyutradarai 28 film cerita panjang. Karya-karya film yang disutradarainya, antara lain Darah dan Doa yang tanggal mulai shooting-nya dipakai sebagai peringatan Hari Film Nasional setiap 30 Maret, musikal Tiga Dara, Pedjuang, yang mengantarkan Bambang Hermanto menang sebagai Aktor Terbaik di Festival Film Moskwa, dan Ananda yang membuat Lenny Marlina populer.
Semasa hidupnya, beberapa aktor yang pernah terlibat bekerja dengan almarhum memiliki kenangan manis. Salah satunya adalah gaya penyutradaraan Usmar Ismail yang membebaskan aktor berkreasi akting. Hal itu disampaikan oleh Lenny Marlina. Saat menghadiri webinar ”Hari Film Nasional: Songsong 100 Tahun Almarhum Usmar Ismail”, Rabu (17/3/2021), di Jakarta.
Dia menceritakan pengalaman pertamanya terlibat bekerja dengan Usmar Ismail. Kala itu, dia masih remaja dan mengikuti seleksi calon pemeran (casting) film Ananda. Dia sama sekali tidak mengerti seluk-beluk perfilman, tetapi Usmar Ismail melihatnya memiliki bakat akting film.
”Ketika saya selesai, almarhum langsung memberhentikan proses casting. Dia percaya saya punya bakat dan meloloskan saya. Dia juga meyakinkan ayah saya bahwa saya berbakat, bisa akting, dan beradu dengan Rachmat Hidayat yang saat itu sudah populer,” ujar Lenny.
Selama proses shootingAnanda, Lenny merasakan, Usmar Ismail mengarahkan akting secara santai dan rileks. Dia percaya, pemain yang mempunyai bakat dan potensi berakting akan mudah mengikuti arahan di naskah cerita.
Dia mengatakan, tidak banyak sutradara yang memiliki karakter penyutradaraan seperti Usmar Ismail. Almarhum sutradara Teguh Karya dinilai Lenny memiliki kemiripan berkarya dengan Usmar Ismail.
Almarhum Usmar Ismail banyak mengubah hidup saya. Almarhum membukakan pintu karier saya. (Lenny Marlina)
”Almarhum Usmar Ismail banyak mengubah hidup saya. Almarhum membukakan pintu karier saya,” katanya. Melalui perannya di film Ananda, Lenny meraih penghargaan sebagai Pendatang Baru Terbaik pada ajang Asian Film Festival di Malaysia pada 1971.
Aktor Alice Iskak juga pernah bekerja sama dengan almarhum Usmar Ismail dalam proyek film Global Village. Dalam webinar itu, dia menceritakan pertama kali bertemu langsung dengan Usmar Ismail saat proses shooting film komedi musikal Tiga Dara. Di film itu, saudara Alice, yakni Indriati Iskak, menjadi salah satu pemain.
Senada dengan cerita Lenny, Alice merasakan penyutradaraan Usmar cenderung membebaskan aktor. Pemain menjadi leluasa berimprovisasi.
”Meski demikian, almarhum sangat berdedikasi dan totalitas selama proses produksi. Film yang dihasilkan benar-benar berkualitas,” katanya.
Alice mencontohkan film Tiga Dara yang sukses diputar di bioskop selama lebih dari enam minggu berturut-turut. Film ini bahkan menembus bioskop American Motion Pictures Association of Indonesia dan berdampingan dengan film-film Hollywood.
Setelah direstorasi, film ”Tiga Dara” tetap mendulang kesuksesan selama pemutaran kembali karena bertahan berminggu-minggu. Menurut dia, konten film itu sudah modern pada zamannya.
Aktris Niniek L Karim menyesali tidak pernah bertatap muka langsung ataupun terlibat bekerja dalam proyek Usmar Ismail. Meski demikian, dia suka menonton film-film garapan almarhum.
Dia menyukai pesan mulia yang disisipkan oleh Usmar Ismail dalam setiap filmnya. Usmar Ismail tidak sekadar menampilkan karakternya.
Niniek bersyukur bisa bertemu dan bekerja dengan almarhum Teguh Karya. Dia menilai Teguh Karya punya kemiripan dengan Usmar Ismail, yaitu selalu menyelipkan pesan dari produk film. Saat Niniek diajak Teguh untuk bermain dalam film Ibunda, misalnya. Teguh meyakinkannya bahwa film itu mengandung pesan keluarga.
Perintis
Pengamat perfilman dan jurnalis senior, Yan Widjaya, mengatakan, 28 film garapan Usmar Ismail selalu berhasil menampilkan ciri khas Indonesia. Sebagai contoh, film yang diadaptasi novel Anak Perawan di Sarang Penjamun (1962) karya Sutan Takdir Alisjahbana.
Contoh lain yaitu film Pedjuang (1960) yang mengantarkan Bambang Hermanto menang sebagai Aktor Terbaik di Festival Film Moskwa. Menurut Yan, film itu lengkap mengandung genre drama, aksi, dan komedi. Lagu-lagu perjuangan semasa perang kemerdekaan ikut ditampilkan, seperti Sepasang Mata Bola.
”Film itu sangat bagus sehingga pernah dibuat ulang beberapa versi,” kata Yan.
Yan menambahkan, Usmar Ismail memang menempuh studi sinematografi di Universitas California lewat beasiswa Rockefeller pada 1952. Dia lulus dengan gelar Bachelor of Arts. Studi itu membantu meningkatkan keterampilan teknis penyutradaraan dan produksi film, tetapi tidak mengubah cara pandang Usmar Ismail terhadap pentingnya menampilkan ciri khas Indonesia.
Mantan Kepala Sinematek Indonesia Adisurya Abdy beranggapan, film Indonesia adalah Usmar Ismail dan begitu pun sebaliknya. Usmar Ismail berkontribusi penting dalam sejarah film Indonesia, seperti membawa film Indonesia sejajar dengan film buatan asing. Sinematek Indonesia turut mengarsipkan sejumlah karya Usmar Ismail.
Wartawan senior Wina Armada menambahkan, pihaknya ikut serta dalam upaya pengusulan Usmar Ismail sebagai Pahlawan Nasional di bidang perfilman. Gelar itu layak disandang Usmar Ismail sebab selama hidup, dia merintis perfilman Indonesia sehingga sukses disukai masyarakat sampai membangun Festival Film Indonesia.