Pembelajaran di Luar Ruangan Tetap Wajib Penuhi Protokol Kesehatan
Pembelajaran tatap muka di luar ruangan (”outdoor learning”) bisa menjadi alternatif selama pandemi Covid-19. Namun, penerapannya pun tetap harus mengikuti protokol kesehatan.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
Pembelajaran tatap muka luar ruangan atau outdoor learning bisa menjadi alternatif untuk mengatasi kejenuhan pembelajaran jarak jauh metode daring. Meski disebut-sebut rendah risiko penularan Covid-19, bentuk pembelajaran seperti itu tetap harus mengedepankan protokol kesehatan yang ketat.
Pendiri Sekolah Alam Baturraden, Banyumas, Mira Safar, saat dihubungi Senin (8/3/2021), di Jakarta, mengatakan, secara fitrah, manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan alam. Dia percaya, anak-anak yang sejak kecil sudah didekatkan dengan alam akan mengalami tumbuh kembang yang baik dibandingkan dengan anak-anak yang sepanjang hari duduk di dalam ruangan.
Salah satu program yang dijalankan oleh sekolah ini adalah terapi hijau. Beberapa kegiatan yang dilakukan, antara lain, relaksasi, membuat karya berbahan alam, dan berkebun. Sekolah menawarkan pula aktivitas di bukit atau sawah. Di sekolah ini, jumlah anak dan guru sangat dibatasi.
Di masa pandemi Covid-19, Sekolah Alam Baturraden kembali buka pada Juli 2020. Itu pun tetap harus seizin pemerintah daerah setempat.
Siswa di Sekolah Alam Baturraden yang terdiri dari TK, SD, SMP, boleh masuk sekolah asal diizinkan orangtua. Orangtua wajib antar-jemput anak. Sebab, sekolah tidak menyediakan lagi bus sekolah.
Wajib sehat, pakai masker, hand sanitizer, bawa bekal dan botol minum pribadi, serta peralatan belajar sendiri. Kalau salah satu di antara perlengkapan itu tidak dibawa, kami meminta anak pulang. Ini mengajari mereka tertib protokol kesehatan. (Mira Safar)
”Wajib sehat, pakai masker, hand sanitizer, bawa bekal dan botol minum pribadi, serta peralatan belajar sendiri. Kalau salah satu di antara perlengkapan itu tidak dibawa, kami meminta anak pulang. Ini mengajari mereka tertib protokol kesehatan,” tutur Mira.
Pelaksanaan program seperti itu harus mengikuti perkembangan penyebaran Covid-19 di daerah. Oleh karena itu, Sekolah Alam Baturraden pun menerapkan pola buka-tutup. Fasilitas kesehatan sekolah terhubung dengan puskesmas dan rumah sakit.
Karena prinsipnya adalah terapi hijau, maka anak yang tidak mendapat jadwal atau tidak diizinkan ke sekolah diberikan tugas belajar sesuai dengan prinsip itu. Orangtua juga diminta berperan aktif mendampingi.
”Di sekolah alam, kami tetap mengikuti Kurikulum 2013. Kami buatkan modul pembelajaran sudah dimodifikasi sesuai dengan prinsip terapi hijau dan orangtua bisa terlibat penuh. Guru biasanya memandu untuk mata pelajaran sukar, seperti Matematika,” kata Mira.
Co-Founder Sekolah Alam Johor Islamic Green School, Medan Johor, Zaid P Nasution mengatakan, sebelum kembali menggelar pembelajaran, pihak sekolah meminta persetujuan tertulis dari orangtua. Kalau orangtua setuju, sekolah akan menerapkan.
Menurut dia, pembelajaran jarak jauh metode daring dilakukan sekolahnya saat awal pandemi. Akan tetapi, sejumlah anak merasa bosan dan tidak bertemu teman, orangtua juga stres.
Belajar di saung
Sekolah Alam Johor Islamic Green School sudah terbiasa menerapkan pembelajaran di luar ruangan dan alam terbuka. Ketika sekolah diputuskan buka kembali Juli 2020, manajemen sekolah mengoptimalkan pemakaian saung atau membangun tenda di lapangan. Sekolah menetapkan pola belajar-mengajar, seperti siswa duduk berjarak dan membentuk pola setengah lingkaran menghadap guru. Jumlah siswa yang hadir dibatasi, seperti 10 siswa untuk diajar satu guru.
”Kami mengatur durasi belajar-mengajar lebih sedikit dibandingkan dengan sebelum pandemi Covid-19. Anak tidak pakai seragam. Guru dan siswa wajib memakai masker,” katanya, Sabtu (6/3/2021), di Jakarta.
Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengatakan, pengalaman beberapa negara yang menerapkan pembelajaran tatap muka luar ruangan sudah bermunculan. Sekolah swasta umum berinisiatif terlebih dulu. Pemangku kebijakan di negara bersangkutan mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan bentuk pembelajaran itu.
Sebagai contoh, mata pelajaran sains dan Matematika dikaitkan dengan kegiatan yang berguna langsung untuk kehidupan sehari-hari. Pembelajaran berbasis proyek digelar dengan model kemitraan, seperti badan usaha milik negara.
”Pembelajaran tatap muka luar ruangan dapat memakai taman yang ada di kompleks permukiman atau taman kota. Pemerintah daerah dapat membantu mengusahakan. Prasyarat infrastruktur protokol kesehatan mesti disediakan juga,” kata Hetifah.
Dewan Kehormatan Ikatan Guru Indonesia (IGI) Dhitta Puti Sarasvati memandang, pembelajaran tatap muka di luar ruangan bisa menjadi alternatif yang diambil oleh sekolah umum. Model ini, jika diterapkan, tidak boleh melupakan esensi belajar. Misalnya, menumbuhkan cipta, rasa, dan karsa kepada anak.
”Jangan sampai memilih pembelajaran tatap muka di luar ruangan, tetapi cara belajar lama masih dibawa. Pengemasan materi pembelajaran tidak disesuaikan dengan kondisi,” ujarnya.
Dhitta berpendapat, pembelajaran tatap muka di luar ruangan dapat dilakukan sekolah pada umumnya, bukan hanya sekolah alam. Penerapannya dapat dimulai dari level sempit. Misalnya, guru dan siswa yang tinggal berdekatan agar menekan risiko penyebaran Covid-19.
Pemilihan lokasi di alam terbuka, seperti lapangan desa, tetap harus ada jaminan protokol kesehatan ketat. Dia mencontohkan, sekolah memiliki saluran komunikasi efektif dengan dinas pendidikan dan dinas kesehatan sehingga memudahkan koordinasi. Dari sisi pemerintah setempat, mereka harus menjamin kepatuhan protokol kesehatan dan menambah tes.
Masyarakat sekitar lokasi sekolah atau alam terbuka yang dipilih untuk belajar sudah dites. Guru juga wajib dites Covid-19. Mereka harus patuh protokol kesehatan. Permasalahannya, lanjut Dhitta, adalah hal itu tidak mudah dilakukan.
Berdasarkan pengalamannya, dia menemukan masih ada sejumlah guru menolak dites usap untuk mengetahui positivity rate di sekolah. Alasan mereka adalah takut.
”Pembelajaran tatap muka di luar ruangan, apalagi di alam terbuka, mungkin memiliki risiko penularan Covid-19 lebih rendah. Hal yang dikhawatirkan adalah anak pulang membawa virus, lalu menularkan kepada anggota keluarga yang lebih tua,” katanya.
Dosen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan anggota Tim Satgas Covid-19 Sumatera Utara, Muhammad Ichwan, mengatakan, pembelajaran tatap muka fisik lebih dibutuhkan untuk anak usia dini dibandingkan dengan usia lebih dewasa. Anak usia dewasa lebih mampu memproses pembelajaran jarak jauh.
”Namun, titik jenuh pembelajaran jarak jauh masing-masing kategori anak selalu ada,” katanya.
Apabila pembelajaran tatap muka, baik dalam maupun luar ruangan, menurut dia, hal itu sebaiknya dijalankan untuk daerah rural atau kampung kota terlebih dulu. Sebab, sekolah biasanya berdekatan dengan permukiman dan komunitas. Dengan demikian, masyarakat sekitar bisa turut mendata anak usia sekolah, kondisi kesehatan, sampai bahu-membahu menyediakan fasilitas pembelajaran.
”Namun, hal yang harus selalu diingat pembelajaran tatap muka di luar ruangan pun tetap harus mengedepankan protokol kesehatan. Pihak sekolah tetap mesti terhubung dengan fasilitas layanan kesehatan,” ujar Ichwan.