Kami melihat bahwa selama ini orang sering berbicara perlindungan pekerja migran Indonesia, tetapi yang khusus bicara anak pekerja migran belum.
”Kami melihat bahwa selama ini orang sering berbicara perlindungan pekerja migran Indonesia, tetapi yang khusus bicara anak pekerja migran belum,” kata Direktur Santai Suharti di Mataram, Selasa (2/3/2021).
Menurut Suharti, sejak 2016 hingga sekarang mereka mendampingi anak-anak pekerja migran (APM). Ada enam desa yang menjadi lokasi kegiatan mereka, yakni Desa Wanasabe, Lenek Lauq, Pandang Wangi, dan Pemongkong di Lombok Timur, serta Sukaraja dan Jago di Lombok Tengah.
Selain mendata jumlah APM di desa-desa tersebut, mereka juga mengidentifikasi masalah yang dihadapi. Dari sana, mereka kemudian memetakan aktor-aktor kunci di setiap desa, serta pihak-pihak terkait yang bisa diajak untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi APM.
”Selain memastikan pemenuhan hak-hak dasar APM, kami juga ingin mendorong kebijakan anggaran dan regulasi baik di desa maupun provinsi. Juga membangun lingkungan sosial yang mendukung tumbuh kembang anak dengan baik,” kata Suharti.
Di Pandan Wangi, misalnya, didorong pola pengasuhan bersama. Gayung bersambut karena pemerintah desa berkomitmen mengalokasikan anggaran pembangunan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) APM di Dusun Mungkik yang hingga saat ini masih beroperasi.
Saat ini, ada tiga guru di Paud tersebut, yakni Wirnaniati, Sri Hastuti Asmi Wahyuni, dan Linda Widya Mayanti. Mereka harus menangani puluhan murid, yang termasuk di dalamnya APM. Secara jumlah itu tidak ideal.
”Memang tidak mudah. Selain tidak digaji, kami diawal juga diremehkan, dicibir oleh warga. Tetapi kami ikhlas, ini panggilan. Kami selalu saling menyemangati bahwa usaha kami akan membuat anak-anak bisa semakin baik,” kata Wirnaniati.
Pandan Wangi juga saat ini sudah memiliki peraturan desa terkait dengan perlindungan anak. Selain mengatur tentang APM, juga terkait dengan pekerja anak, isu perkawinan anak, hingga administrasi kependudukan anak.
”Perdes serupa sudah ada di desa dampingan kami, seperti Pemongkong, Jago, dan Sukaraja,” kata Suharti.
Kepala Desa Pandan Wangi Maskandar mengatakan, perdes merupakan bentuk dukungan mereka terhadap upaya perlindungan anak pekerja migran.
”Jangan sampai orangtua atau pengasuh berbuat hal-hal yang tidak seharusnya kepada anak. Seperti tindakan kekerasan atau eksploitasi ekonomi, misalnya diajak bekerja,” kata Maskandar.
Selain itu, Pandan Wangi, termasuk Pemongkong, Jago, dan Sukaraja, telah memiliki Forum Anak. Pemerintah desa mendukung semua kegiatan mereka dengan mengeluarkan surat keputusan untuk forum tersebut.
Forum Anak menjadi wadah partisipasi untuk anak-anak dalam menyalurkan aspirasi, partisipasi, dan kreativitas dalam memenuhi hak-hak dasar anak, termasuk sosialisasi dan mencegah pernikahan anak hingga tindak kekerasan terhadap APM.
Pernikahan usia anak memang menjadi salah satu persoalan yang rentan pada APM. Bahkan, tidak hanya terjadi di Lombok Timur dan Lombok Tengah.
”Ketika bekerja di wilayah lain, seperti Lombok Barat dan Lombok Utara, perkawinan anak yang terjadi ternyata latar belakang mereka adalah APM. Mereka rentan melakukan hal itu karena pola asuh dan pengawasan,” kata Suharti.
Di Pandan Wangi juga dibentuk Forum Pemerhati Perempuan dan Anak. Kader mereka, sebisa mungkin, tetap dilibatkan dalam segala pengambilan keputusan, termasuk penyusunan rencana pembangunan sehingga isu-isu terkait anak pekerja migran tetap bisa masuk.
”Kami mendukung segala upaya terkait anak pekerja migran. Sebisa mungkin, alokasi anggaran untuk itu coba kami masukkan,” kata Maskandar.
Baca juga: Nenekku, Orangtuaku...
Pemerintah daerah
Tidak hanya pemerintah desa yang responsif, Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, melalui instansi terkait, juga ikut mendukung upaya yang dilakukan di Pandan Wangi.
Menurut Suharti, hal itu, misalnya, terlihat ketika mereka mendapat bantuan dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Lombok Timur. Salah satunya untuk pembuatan akta kelahiran dan kartu tanda penduduk elektronik untuk APM.
”Tidak hanya untuk APM yang sudah boleh memiliki KTP, tetapi juga untuk orangtua dan pengasuhnya dibuatkan, termasuk untuk perubahan kartu keluarga. Kelengkapan adminsitrasi penduduk itu diperlukan. Salah satunya untuk membantu APM mengakses Kartu Indonesia Pintar,” kata Suharti.
Sementara di tingkat Provinsi, menurut Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB Husnanidiaty Nurdin, sesuai dengan aturan, mereka memang tidak secara spesifik menangani APM.
”Memang belum ada penanganan secara khusus, tetapi itu tetap menjadi perhatian kami. Apalagi tidak sedikit juga kasus kekerasan terjadi karena anak dititipkan, misalnya kepada nenek,” kata Husnanidiaty.
Meski demikian, menurut Husnanidiaty, APM tetap termasuk dalam sasaran program-program yang mereka laksanakan. Misalnya, program Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), juga mendorong desa atau kelurahan, dan kabupaten kota ramah anak.
Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak DP3AP2KB Provinsi NTB Dede Suhartini menambahkan, PATBM bertujuan menurunkan jumlah perkawinan anak dan menurunkan tindak kekerasan fisik dan seksual kepada anak.
”Termasuk mendorong masyarakat untuk mau ikut peduli terhadap anak. Menganggap setiap anak adalah tanggung jawab mereka juga sehingga ikut mengawasi mereka,” kata Dede.
Saat ini, di NTB juga telah memiliki empat kabupaten kota ramah anak, yakni Lombok Barat, Lombok Timur, Mataram, dan Dompu. Target berikutnya adalah Bima dan Lombok Tengah.
Di tingkat desa, dalam rangka mendorong desa atau kelurahan ramah anak, juga dilaksanakan musyarawah rencana pembangunan desa (musrembangdes) anak. Kegiatan difasilitasi oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA), termasuk Forum Anak di desa dengan pembahasan mengenai apa yang diinginkan anak.
Baca juga: Anak Pekerja Migran Masih Terabaikan
Menurut Suharti, saat ini dari pemeritah pusat hingga tingkat desa sedang didorong lingkungan ramah anak. Namun, ia melihat, sinergi dan koordinasi antarorganisasi perangkat daerah dalam kerja-kerja untuk mempercepat tercapainya lingkungan ramah anak belum berjalan dengan baik.
”Persoalan anak dianggap hanya urusan dinas tertentu. Padahal, itu seharusnya menjadi kerja bersama. Apalagi indikator ramah anak banyak,” kata Suharti.