Tidak Mudah Membangun Kemitraan Industri-Pendidikan Tinggi
Tidak mudah membangun kerja sama pendidikan tinggi vokasi dan dunia usaha/dunia industri.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kolaborasi erat industri dengan pendidikan vokasi mampu mengatasi persoalan ketidaksinkronan dan ketidakselarasan antara suplai dan permintaan tenaga kerja terampil. Hingga sekarang, kerja sama itu belum terbangun optimal.
Survei Direktorat Kemitraan dan Penyelarasan Dunia Usaha dan Dunia Industri Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kepada 183 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada 2020 memberikan gambaran realitas itu.
Direktur Kemitraan dan Penyelarasan Dunia Usaha dan Dunia Industri Ditjen Pendidikan Vokasi Kemendikbud Ahmad Saufi, Rabu (3/3/2021), di Jakarta, menyebutkan, 55,7 persen dari perusahaan yang disurvei mengaku belum pernah bekerja sama dan 44,3 persen sudah bermitra dengan pendidikan tinggi vokasi.
Bagi responden perusahaan yang mengaku belum pernah berkolaborasi, 37 persen menyebut belum ada rencana dan 13,7 persen menyebut belum ada pendidikan tinggi vokasi mengajukan kerja sama. Alasan lain adalah belum ada bidang/bentuk kerja sama yang sesuai (10,8 persen), belum ada kesempatan (7,8 persen), menganggap tidak menguntungkan (2 persen), ada lembaga lain (2 persen), masih pandemi (1 persen), dan menyebut kemitraan dengan pendidikan tinggi vokasi bukan visi perusahaan (1 persen).
Ironinya, ada 24 persen dari responden perusahaan yang belum pernah kerja sama dengan pendidikan tinggi vokasi menjawab tidak tahu.
”Ironinya, ada 24 persen dari responden perusahaan yang belum pernah kerja sama dengan pendidikan tinggi vokasi menjawab tidak tahu,” ujarnya.
Bagi perusahaan yang pernah bermitra, bentuk kolaborasi terbanyak adalah magang (28,4 persen), diikuti rekrutmen (18,5 persen), pelatihan (9,9 persen), penyusunan kurikulum (8,6 persen), kunjungan kerja/pabrik (7,4 persen), dan pendidikan (5 persen). Sisanya, bentuk kemitraan yang pernah terjalin berupa penelitian, jadi pembicara, aksi tanggung jawab korporasi, pameran pekerjaan, dan beasiswa.
Mengenai durasi kerja sama perusahaan-institusi pendidikan tinggi vokasi kebanyakan, 37 persen menyebut 1-5 tahun. Ada pula perusahaan yang hanya menyebut beberapa kali, setiap tahun, atau setiap musim magang.
Survei itu juga menanyakan keefektifan kerja sama dengan memberikan pilihan skala satu berarti sangat tidak efektif hingga skala lima yang berarti sangat efektif. Hampir setengah dari responden menyebut kerja sama berjalan efektif.
Meski demikian, dia menyayangkan bahwa kebanyakan perusahaan yang pernah kerja sama dengan pendidikan tinggi vokasi menyebut mereka tidak mendapatkan keuntungan. Perusahaan tersebut menilai, pendidikan tinggi vokasi adalah pihak yang paling diuntungkan.
”Survei ini memang belum menyasar ke seluruh dunia usaha/dunia industri (DUDI). Namun, jika benar bahwa kerja sama perusahaan-pendidikan tinggi tidak menghasilkan hubungan saling untung, kami akan turun ikut membantu memperbaiki,” ujar Achmad.
Sebanyak 183 perusahaan yang disurvei, antara lain, berlatar belakang sektor jasa/pelayanan, informatika, hospitality, ekonomi kreatif, dan kimia.
Letak kantor pusat perusahaan-perusahaan itu ada di DKI Jakarta (38,3 persen), Jawa Barat (31,2 persen), Jawa Timur (13,1 persen), Banten (4,9 persen), Bali (3,8 persen), Jawa Tengah (3,3 persen), Sumatera Selatan (2,2 persen), Daerah Istimewa Yogyakarta (1,1 persen), Kepulauan Riau (0,5 persen), dan Kalimantan Tengah (0,5 persen).
Ketua Bidang Tenaga Kerja dan Hubungan Industri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anton J Supit berpendapat, masalah vokasional di Indonesia belum menjadi bagian utama dari strategi mencapai pertumbuhan ekonomi. Ini berbeda dengan negara lain, mulai dari Jerman, Jepang, China, hingga Amerika Serikat. Negara tetangga Indonesia, seperti Malaysia, juga sudah menjadikan masalah vokasional sebagai bagian dari ”sistem” perekonomian.
Definisi vokasional pun masih belum ajek. Pemerintah daerah yang punya peran dalam penyediaan pendidikan belum terlalu bergerak.
”Peran pemerintah daerah ini signifikan, mulai dari menarik investasi yang bisa membuka lapangan kerja bagi lulusan hingga kebijakan pendidikan vokasional,” ujarnya.
Dekan Sekolah Vokasi IPB University Arief Daryanto mengatakan, salah satu penghalang kolaborasi adalah perbedaan cara pandang. Kalangan pendidikan tinggi menilai industri cenderung menyukai riset komersial dan cepat menghasilkan. Sementara pendidikan tinggi merasa lebih nyaman dengan riset dasar. DUDI fokus pada paten produk, sedangkan pendidikan tinggi pada penerbitan hasil riset.
Pendekatan kerja sama pendidikan tinggi vokasi-DUDI seharusnya punya kesadaran yang sama, fleksibilitas, kejujuran, dan kejelasan program. Hubungan mesti berlandaskan komunikasi, komitmen, kepercayaan, kepemilikan tim ahli, dan manajemen konflik yang efektif.
Pengalaman Sungkyunkwan University (SKKU) bermitra dengan Samsung bisa dijadikan contoh. SKKU mempunyai fokus bidang-bidang ilmu yang memiliki kepentingan strategis bagi Samsung, seperti rekayasa struktural. ilmu material, dan ilmu kesehatan. Samsung memiliki suara aktual di SKKU. Kolaborasi keduanya terjadi melalui banyak saluran, mulai dari suntikan dana untuk penelitian, konsultasi tentang kurikulum, beasiswa, seleksi siswa, hingga penugasan staf kunci Samsung.
Sebelumnya, berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional 2017-2019 BPS yang diolah Forum Direktur Politeknik Negeri Indonesia (FDPNI), jurusan pendidikan tinggi vokasi yang tidak terserap optimal di pasar kerja antara lain bidang perikanan, pertanian, akuntansi, transportasi, serta teknik dan rekayasa.
Sementara pada pendidikan tinggi jenjang D-4/S-1/S-2, lulusan jurusan yang tidak terserap optimal di pasar kerja antara lain logistik, transportasi, kelautan, serta teknik dan rekayasa.
Proporsi penduduk 15 tahun ke atas yang lulus dari jenjang D-4/S-1/S-2 dan sudah setahun bekerja dibandingkan D-1/D-2/D-3 hampir sama. Sebagai gambaran, perbandingan pada tahun 2019 adalah 64,3 persen banding 55,1 persen.