Kembali Mengajar atau Tidak, Itu Juga Pertanyaan Hervina
Sebelum diberhentikan, Hervina adalah guru wali untuk kelas satu.
Hingga Rabu (17/2/2021), Hervina (34), guru honorer di SD 169 Sadar, Desa Sadar Kecamatan Tellu Limpoe, Bone, Sulawesi Selatan, masih menunggu kabar tentang masa depannya. Kembali mengajar atau tidak, di sekolah yang sama atau pindah, adalah pertanyan yang terus memenuhi benaknya.
Hervina yang telah mengabdi sejak tahun 2005 di SD Sadar secara sepihak dipecat pihak sekolah setelah mengunggah honornya di media sosial. Dinilai merendahkan sekolah, ia dipecat melalui pesan Whatsapp (WA). Pemecatan ini disusul pemberitahuan dari operator sekolah tentang penghapusan data pokok pendidikan (dapodik) Hervina di sekolah tersebut.
”Kalau memang dikasih, saya berharap bisa mengajar kembali di sekolah yang saya tempati mengabdi selama ini. Namun, saya belum tahu keputusannya. Saya berharap yang terbaik,” katanya.
Mereka sudah berdamai. Soal kelanjutan status Bu Hervina, saya tidak akan berkomentar dulu. Sedang ditangani juga oleh DPRD. Tunggu saja keputusannya.
Sejauh ini, Dinas Pendidikan Bone masih mencari solusi. Bahkan, pihak DPRD Bone turun tangan dan memanggil berbagai pihak, termasuk Hervina. Rapat dengar pendapat yang dilakukan di DPRD Bone, Selasa (16/2/2021), berakhir dengan perdamaian antara Hervina dan Kepala SD 169 Sadar Hamsina.
Kasus Hervina bermula saat dia mengunggah honornya dari dana BOS pada Rabu (6/1/2021). Dalam unggahan tersebut, ia menulis dengan catatan tangan pada secarik kertas. Di kertas tersebut tertulis dana BOS selama empat bulan, Rp 700.000. Ia merinci dengan menulis, pembayaran utang Rp 500.000, untuk Mammi (ibunya) Rp 100.000, serta kedua anaknya: Aqwan Rp 50.000 dan Alyia Rp 50.000. Di bagian bawah catatan ia tuliskan, ”untuk saya mana?”. Hervina tak menulis nama sekolah tempatnya mengajar dalam unggahan itu.
Tak berselang lama setelah unggahan itu, ia mendapat pesan WA dari Jumarang, suami Hamsina, kepala sekolah tempat Hervina mengajar. Jumarang adalah kepala sekolah sebelum Hamsina, istrinya yang kini menjabat. Jumarang pula dulu yang memanggil Hervina mengajar saat dia masih kuliah.
Dalam pesan tersebut Jumarang mengatakan, ”Mulai sekarang kamu berhenti saja mengajar. Cari saja sekolah lain yang bisa membayar dengan gaji lebih tinggi.”
Baca juga: Guru Honorer Kerja Empat Minggu Digaji Satu Minggu
Ashar Abdullah, kuasa hukum Hervina, mengatakan, setelah menerima pesan tersebut, beberapa hari kemudian Hervina menghubungi operator sekolah. ”Dia menanyakan soal dapodiknya dan dijawab bahwa datanya telah dihapus,” kata Ashar.
Hervina pasrah dengan nasibnya hingga kemudian awal Februari, pemuda-pemuda di Kecamatan Tellu Limpoe mendengar perihal pemecatan ini. Mereka menemui Hervina dan mencari tahu duduk persoalannya, lalu sepakat menemui Ashar Abdullah, seorang pengacara di Bone. Saat itu juga mereka menunjuknya sebagai koordinator aksi keprihatinan sekaligus kuasa hukum bagi Hervina.
Persoalan ini menjadi ramai. Pemuda Tellu Limpoe bersatu memperjuangkan nasib Hervina. Mereka bersurat ke DPRD Bone dan meminta wakil rakyat melihat kasus ini dengan lebih jelas.
”Kami melihat ada ketidakadilan di mana ibu Hervina yang sudah belasan tahun mengajar dipecat secara sepihak. Yang ironi, justru pemecatan dilakukan suami kepala sekolah. Bukannya mendapat penghargaan atas pengabdiannya, justru dipecat begitu saja,” kata Ashar.
Kepala Dinas Pendidikan Bone Syamsiar Halid mengatakan, pihaknya sudah mempertemukan Hervina, kepala sekolah, dan suaminya. ”Mereka sudah berdamai. Soal kelanjutan status Bu Hervina, saya tidak akan berkomentar dulu. Sedang ditangani juga oleh DPRD. Tunggu saja keputusannya,” katanya saat dihubungi, Rabu (17/2/2021).
Hervina diangkat sebagai guru non-PNS melalui SK Kepsek 169 Sadar pada 2005. Ia mengabdi hingga 2013. Tahun 2014, ia ke Kalimantan mengikuti suaminya. Saat kembali pada 2017, ia diberi tahu namanya masih terdaftar sebagai guru. Tahun itu juga ia menerima SK guru honorer dari dinas pendidikan dan kembali aktif mengajar dan setiap tahun memperbarui kontrak.
Sekolah tempatnya mengajar berada di desa terpencil. Walau berada di Bone, Kecamatan Tellu Limpoe lebih dekat diakses dari kabupaten tetangga, Soppeng. Selama beberapa tahun, Hervina mengajar bersama tiga guru lainnya. Baru beberapa tahun terakhir diajar tujuh guru dan saat ini bertambah lagi dua guru. Saat ini ada empat guru PNS dan lima non-PNS di sekolah tersebut. Sebelum diberhentikan, Hervina adalah guru wali untuk kelas satu.
Baca juga: Asa untuk Guru Honorer K2
Saat dihubungi Selasa (16/2/2021) malam, Hervina mengatakan, honor mengajarnya terdiri dari dana BOS sebesar Rp 700.000 yang diterimanya setiap empat bulan atau Rp 175.000 per bulan. Selain itu, insentif guru daerah terpencil dari APBD yang diterima sekali setahun sejumlah Rp 6 juta dan dipotong pajak. Jika dibagi 12 bulan, jumlahnya Rp 500.000 per bulan. Itu saja.
Tak berpihak
Ketua Dewan Pendidikan Sulawesi Selatan Adi Suryadi Culla mengatakan, apa yang terjadi pada Hervina adalah gambaran umum dari guru-guru honorer dan guru di daerah terpencil di banyak tempat, bahkan Indonesia. Kebetulan saja saat ini kasus Hervina mencuat dan mendapat banyak perhatian.
”Sekali lagi ini bukti ketidakberpihakan pemerintah pada dunia pendidikan. Selama ini seperti ada saling lempar tanggung jawab antara pusat dan daerah. Pusat memberi wewenang mengurusi guru honorer kepada daerah, tetapi di daerah juga tidak terurus dengan baik. Mestinya nasib guru honorer ini diurus dengan melibatkan lintas kementerian, seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birkorasi, serta Kementerian Ketenagakerjaan. Juga melibatkan provinsi dan kabupaten/kota,” katanya.
Adi juga menyoroti kurangnya pemetaan yang dilakukan pemerintah terkait guru honorer, kebutuhan guru, dan penganggaran. Inilah yang kemudian menyebabkan banyak kasus di mana guru honorer mengajar bertahun-tahun, tetapi dalam posisi lemah dan tanpa kepastian pengangkatan. Prosedur pengangkatan yang berbelit juga membuat masalah kian runyam.
”Kalau pemetaannya bagus, pemerintah akan tahu berapa banyak guru honorer yang mungkin bisa diberi peluang untuk diangkat, berapa kebutuhan guru, dan berapa kemampuan anggaran. Selama ini, guru honorer terutama di daerah terpencil, kadang diberi tanggung jawab lebih besar. Bahkan menjadi garda terdepan, tetapi nasibnya tak pernah jelas. Harusnya mereka diprioritaskan untuk pengangkatan. Jika memang ada kendala, seperti tingkatan pendidikan, mestinya diberi kesempatan menambah pendidikan agar bisa memenuhi syarat untuk diangkat,” katanya.
Baca juga: Mendesak Peta Kebijakan Perekrutan dan Penempatan Guru Honorer
Kasus Hervina ini, kata Adi, sepatutnya menjadi tamparan pemerintah. Kasus ini hendaknya menjadi momentum berbenah dan mengevaluasi persoalan-persoalan pendidikan, termasuk nasib guru honorer. Untuk saat ini, Hervina masih belum tahu hari esoknya, kembali mengajar atau tidak, di sekolah mana dan di mana.