Mendesak, Peta Kebijakan Perekrutan dan Penempatan Guru Honorer
Jika terus dibiarkan, persoalan perekrutan dan penempatan guru non-aparatur sipil negara bisa berdampak kepada kesejahteraan mereka hingga pembelajaran siswa.
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah diharapkan mempunyai peta jalan kebijakan menyelesaikan persoalan perekrutan dan penempatan guru non-aparatur sipil negara. Jika tidak kunjung terselesaikan, permasalahan tersebut semakin berimbas ke proses pembelajaran siswa.
Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) Suparman menceritakan, guru non-ASN secara umum masuk ke dalam kelompok guru tidak tetap (GTT) baik mengajar di sekolah negeri maupun swasta. Di sekolah negeri, guru non-ASN dibayar berdasarkan jam mengajar dari anggaran pemerintah dan sumbangan pembangunan pendidikan (SPP) dari orangtua siswa.
Saat ini, beberapa daerah menerapkan kebijakan pengupahan berbeda. Di DKI Jakarta, misalnya, guru non-ASN K1 menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Status mereka pun berganti menjadi guru Kontrak Kerja Individu (KKI). Penghasilan mereka setara dengan upah minimum dan menerima jaminan sosial.
Guru non-ASN di sekolah swasta mendapat gaji berdasarkan SPP dari orangtua siswa, tetapi nilainya kerap kali di bawah upah minimum. Mereka juga mengalami persoalan kesejahteraan.
"Jumlah guru non-ASN melimpah karena struktur kurikulum yang membuat jam pelajaran banyak dan kepentingan birokrat tertentu. Dari dulu sampai sekarang, dua penyebab itu sepertinya tak kunjung selesai," ujar Suparman saat dihubungi akhir pekan lalu di Jakarta.
Kalau perbaikannya menyasar kualitas, menurut dia amanat Undang - Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Sebagai contoh, pasal 8 UU No 14/2005 telah mengamanatkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Namun, beberapa tahun lalu, guru honorer justru bisa direkrut dari mahasiswa.
Pasal 14 ayat (1) UU No 14/2005 memuat sebelas hak guru selama melaksanakan tugas keprofesionalannya, misalnya memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial, kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, serta pelatihan pengembangan profesi. Akan tetapi pada praktiknya, ada perbedaan perlakuan antara guru ASN dan guru honorer apapun kategorinya.
Aulia Jaya, seorang guru honorer SMA di Jakarta mengatakan, masih ada guru non-ASN yang tidak memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK), meskipun durasi mengajar sudah tahunan. Ditambah lagi, hak untuk mengikuti pendidikan profesi guru yang menjadi syarat sertifikasi pendidik belum terpenuhi. Ini menambah deretan persoalan yang dialami guru honorer.
Peneliti di Lembaga Penelitian Smeru, Shintia Revina, memandang, baik kebijakan relaksasi penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bantuan subsidi upah, maupun skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) lahir karena ada desakan dari guru honorer yg ingin diangkat menjadi ASN dan menuntut kesejahteraan. Sayangnya, kebijakan tersebut tidak disertai suatu mekanisme yang menyeleksi guru yang benar-benar memiliki kualitas dan kemampuan mengajar yang baik.
"Pemberian remunerasi yang lebih baik itu tidak disertai tuntutan untuk memperbaiki performa. Saat ini, persyaratan mendapatkan remunerasi lebih kepada pemenuhan sisi administrasi, seperti kehadiran, masa kerja, dan pemberkasan saja," ujar dia.
Menurut Shintia, selama masalah perekrutan, penempatan, dan promosi status dari honorer ke ASN masih belum berorientasi kepada peningkatan kualitas guru dan tidak disertai delegasi pentingnya sistem remunerasi berdasarkan performa, kualitas guru terus bermasalah. Hal itu akan berlanjut berdampak kepada rendahnya kualitas pembelajaran siswa.
Dia menyarankan, perbaikan sistemik berupa mekanisme perekrutan guru dengan status tetap, seperti ASN, tetapi tetap harus melalui proses penyaringan kualitas. Jadi, setelah melalui beberapa tahun asesmen kinerja, guru menunjukkan performa keprofesionalan baik, mereka harus diberikan kesempatan mengikuti seleksi promosi ke status tetap.
Baca juga: Peningkatan Mutu dan Pengembangan Profesional Guru
"Intinya, harus ada mekanisme yang berani memberhentikan guru yang memang tidak efektif dan memastikan hanya guru berkualitas baik berada di dalam sistem," imbuh Shintia.
Bertahap
Sementara itu, Titi Purwaningsih, Ketua Perkumpulan Honorer K2 Indonesia, menyampaikan, mengacu surat Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 814.1/169/SJ tanggal 10 Januari 2013 seharusnya sudah tidak ada lagi perekrutan guru honorer. Guru honorer yang ada pun seharusnya sampai K2 dengan dasar hukum Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2005 junto PP No 43/2007 dan junto PP No 56/2012.
"Namun, karena alasan moratorium membuat semua daerah kekurangan tenaga ASN, baik di bidang pendidikan, kesehatan, maupun di pelayanan publik. Maka, masing-masing satuan kepala daerah membuka rekrutmen mandiri honorer berdasarkan kebutuhan, tanpa kontrak, dan diberikan upah semampunya," ujar dia.
Untuk reformasi guru honorer, Titi mengatakan, pemerintah telah mengumumkan mulai tahun 2021 terdapat formasi khusus untuk perekrutan ASN, baik status PNS maupun PPPK, khusus bagi honorer K2. Hal ini bisa menjadi ruang menyelesaikan masalah K2 yang sudah ada dasar hukumnya. Setelah itu, dia memandang, pemerintah mungkin bisa beralih menyelesaikan masalah guru honorer bukan K2. Dia merasa cara ini paling adil dan bijak serta manusiawi untuk menghargai perjuangan mereka.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Forum Honorer Indonesia Hasbi mempunyai pandangan senada. Dia menyambut baik keberadaan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2020 tentang Gaji dan Tunjangan PPPK yang diteken Presiden Joko Widodo pada 28 September 2020. Perpres ini melengkapi regulasi pengangkatan 51.000 PPPK yang direkrut pada Februari 2019.
Dalam PP No 49/2018 tentang Manajemen PPPK disebutkan, pengangkatan PPPK harus diperkuat dua perpres. Pertama, Perpres No 38/2020 tentang Jabatan yang Dapat Diisi PPPK. Kedua, Perpres No 98/2020.
"Hingga sekarang, urusan administratif pengangkatan 51.000 PPPK yang direkrut Februari 2019 belum kelar sepertinya. Lalu, nasib guru honorer K2 yang tersisa harus dicarikan jalan keluar oleh pemerintah, apakah mereka mau diupayakan seleksi PNS atau PPPK guna menyelesaikan masalah kesejahteraan mereka," tutur dia.
Setelah itu, pemerintah menyelesaikan persoalan kesejahteraan guru honorer non-kategori. Jika permasalahan mereka dibebankan ke pemerintah pusat, Hasbi menerka akan susah. Pemerintah daerah harus terlibat.
Agar permasalahan guru honorer tuntas, dia berharap perekrutan baru benar - benar ditutup dulu sampai persoalan honorer K2 ataupun non-kategori selesai. Kalaupun pemerintah "terpaksa" merekrut honorer, pemerintah harus mempunyai standar dan sistem penjaminan mutu.
"Keprofesionalan dijalankan, seperti sertifikasi guru ditegakkan. Boleh - boleh saja sarjana pertanian menjadi guru, asal individu bersangkutan mengantongi sertifikasi profesi guru," tegas Hasbi.
Sebelumnya, Sekretaris Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Nunuk Suryani menyampaikan, sesuai UU No 23/2014 tentang Pemda, pemerintah pusat berperan mengendalikan formasi, pemindahan, dan pengembangan karier guru. Pemerintah pusat juga berwenang memindahkan guru lintas provinsi.
Sementara itu, pemerintah provinsi berwenang memindahkan guru lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi. Adapun pemerintah kabupaten/kota berperan memindahkan guru dalam daerah kabupaten/kota.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menentukan kuota, lalu pemerintah kabupaten/kota/provinsi mengusulkan formasi beserta rincian guru. Kemendikbud hanya berfungsi sebagai pihak yang mendapat koordinasi.
"Kami berupaya memperbaiki dengan cara mengubah peran Kemendikbud. Kemendikbud akan berwenang sebagai pengusul dan perinci formasi guru," kata dia.
Baca juga: Pendidikan Bertumpu pada Guru Honorer
Sementara itu, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi akan berwenang dalam menentukan kuota, analisa, dan penetapan formasi guru.