Naskah kuno Lampung, bukti peradaban pada masa lalu yang menyimpan banyak kearifan lokal, masih tercecer di masyarakat. Putusnya generasi yang mampu membaca naskah kuno membuat aksara Lampung kian sayup menutur zaman.
Oleh
VINA OKTAVIA
·5 menit baca
Suasana ruang pamer koleksi Museum Lampung, Kota Bandar Lampung, Kamis (4/2/2021), sepi. Selama pandemi Covid-19, jumlah pengunjung yang datang ke museum itu semakin sedikit.
Di antara benda-benda bersejarah yang dipamerkan, terdapat naskah kuno Lampung yang tersimpan rapi di ruang berdinding kaca. Naskah beraksara Lampung itu ditulis dalam berbagai media, seperti kulit kayu, tanduk hewan, dan bambu.
”Secara keseluruhan, Museum Lampung memiliki 43 koleksi naskah kuno yang ditulis di berbagai media,” kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Museum Lampung Budi Supriyanto.
Salah satu naskah kulit kayu yang telah diterjemahkan adalah naskah yang ditemukan di Kabupaten Lampung Timur. Naskah kuno itu terdiri atas 42 halaman yang isinya ditulis dengan aksara Lampung kuno disertai dengan gambar (rajah). Sebagian besar isi naskah kuno itu adalah mantra-mantra pengobatan.
Itu salah satu naskah yang telah diterjemahkan, tetapi masih banyak yang belum dikaji dan masih tersimpan di masyarakat.
”Itu salah satu naskah yang telah diterjemahkan, tetapi masih banyak yang belum dikaji dan masih tersimpan di masyarakat,” kata Budi.
Minimnya ahli yang bisa membaca aksara menjadi salah satu kendala dalam upaya pengkajian naskah kuno yang ada di Museum Lampung. Selain itu, sering kali naskah beraksara Lampung ditemukan dalam keadaan sepenggal-sepenggal hingga sulit diketahui isinya.
Arman AZ, pegiat aksara Lampung yang melakukan penelitian mandiri tentang naskah kuno, mengatakan, banyak naskah kuno dari beberapa zaman yang tersimpan di masyarakat dalam kondisi tidak terawat. Selain bentuknya yang sudah lusuh, masyarakat juga tidak mempunyai pengetahuan tentang cara penyimpanan naskah kuno sehingga rentan rusak.
Hingga saat ini, kata dia, para pemilik menganggap naskah kuno sebagai ”benda pusaka” dan tidak sembarang orang bisa melihatnya. Hal itu kian mempersulit upaya pengkajian dan pendokumentasian warisan budaya itu.
Saat berkunjung ke salah satu desa di Kabupaten Lampung Barat pada 2018, misalnya, Arman mendapati pemilik naskah kuno yang urung memperlihatkan benda itu kepadanya. Penyebabnya, salah satu anggota keluarga mengalami kesurupan sehari sebelum Arman datang. Kejadian itu dianggap sebagai pertanda bahwa naskah kuno warisan turun-temurun itu tidak boleh ”diganggu”.
Selain di masyarakat, naskah kuno Lampung juga masih tersebar di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Denmark, Inggris, Perancis, dan Jerman. Diperkirakan ada lebih dari 100 naskah kuno Lampung yang tersebar di luar negeri dan menanti dikaji.
Terputusnya generasi yang dapat membaca naskah kuno membuat pengkajian naskah kuno pun tersendat. Saat ini, sebagian besar masyarakat di Lampung hanya mengetahui huruf aksara Lampung secara umum tanpa fasih menggunakannya.
”Padahal, naskah kuno menyimpan kearifan lokal sekaligus menjadi pintu masuk untuk mengungkap sejarah masyarakat Lampung,” kata Arman.
Filolog yang juga pengkaji bahasa dan sastra Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Lisa Misliani, menuturkan, penggunaan aksara Lampung diperkirakan berkembang pesat pada abad ke-17 hingga ke-19 Masehi. Masuknya ajaran Islam pada masa itu turut memengaruhi penggunaan aksara Lampung di masyarakat.
Berdasarkan kajian salah satu naskah kulit kayu memuat Hikayat Nur Muhammad, Lisa menemukan bahwa naskah itu ditulis menggunakan aksara Lampung, tetapi menggunakan bahasa melayu. Naskah itu diduga dibuat pada abad ke-17 bersamaan dengan masuknya syiar Islam ke wilayah Lampung.
Aksara Lampung diyakini masih serumpun dengan aksara yang berkembang di Sumatera. Aksara ka-ga-nga juga dikenal di daerah lain, seperti Bengkulu dan Jambi.
Di naskah kuno Lampung, masyarakat mengungkapkan banyak hal. Di antaranya silsilah keluarga, mantra-mantra, pengobatan, serta ajaran agama Islam dan hukum adat. Pengkajian naskah kuno penting dilakukan karean di dalamnya tersimpan kearifan lokal yang bisa dipelajari.
Di sekolah
Saat ini, upaya pelestarian aksara Lampung dilakukan sebatas menggunakannya di ruang publik. Sejumlah nama jalan dan jalan-jalan utama di Lampung sebagian ada yang ditulis menggunakan aksara Lampung.
Aksara Lampung juga sebenarnya telah diperkenalkan kepada generasi muda dan masuk kurikulum pelajaran SD, SMP, dan SMA di Lampung. Namun, penggunaan aksara Lampung hanya sebatas pada mata pelajaran muatan lokal bahasa Lampung.
Di tengah masyarakat, tradisi tulis aksara daerah itu sudah ditinggalkan. Maka, tak heran jika sulit menemukan generasi yang mampu membaca naskah kuno, bahkan mempelajarinya.
Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Lampung Provinsi Lampung Heriyadi mengatakan, keterbatasan guru menjadi salah satu kendala belajar-mengajar aksara Lampung di sekolah. Saat ini, sebagian besar guru mata pelajaran bahasa Lampung di sekolah tidak memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai. Kondisi itu terjadi karena perguruan tinggi di Lampung tidak lagi membuka program pendidikan untuk guru bahasa Lampung.
Sebelumnya, Universitas Lampung pernah membuka program studi diploma 3 bahasa Lampung selama kurun waktu 1999-2004. Namun, program studi itu ditutup karena saat itu pemerintah mensyaratkan guru harus mendapat ijazah minimal jenjang diploma 4 atau strata 1.
Tahun ini, Universitas Lampung akhirnya membuka kembali pendidikan S-1 Bahasa Lampung. Pembukaan program studi itu akhirnya dapat dilakukan setelah 15 tahun terhenti.
Rektor Universitas Lampung Karomani menyampaikan, pembukaan program studi itu merupakan dukungan dan bentuk komitmen peguruan tinggi dalam upaya pelestarian bahasa dan aksara daerah. Pembukaan program studi itu juga diharapkan dapat memberikan solusi bagi minimnya guru mata pelajaran bahasa Lampung di sekolah.
Untuk angkatan pertama, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unila menyiapkan kuota 70 mahasiswa. Selama menempuh pendidikan strata 1, mereka akan ditempa untuk menjadi guru bahasa Lampung yang profesional.
Selain itu, Unila juga berkomunikasi dengan pemerintah Lampung dan pemerintah di 15 kabupaten/kota di Lampung terkait dengan kebutuhan guru bahasa daerah. Dengan begitu, para lulusan S-1 pendidikan bahasa Lampung diharapkan bisa langsung terserap sebagai tenaga pengajar di daerah.
Zulkarnain Zubairi, budayawan Lampung, menuturkan, kolaborasi semua pihak diperlukan untuk dapat membangkitkan gairah kebudayaan Lampung. Pemerintah daerah juga harus mendorong kebijakan agar penggunaan bahasa dan aksara daerah menjadi lebih populer di kalangan generasi masa kini.