Keberadaan Radio Komunitas Dikhawatirkan Semakin Tersisih
Sejumlah pihak mengkhawatirkan, lembaga penyiaran komunitas radio semakin terpinggirkan sejak pemerintah mengundangkan UU Cipta Kerja dan membahas Rancangan Peraturan Pemerintah Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Keberadaan dan peran radio komunitas semakin terpinggirkan. Hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta Rancangan Peraturan Pemerintah Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran dikhawatirkan akan sangat menyisihkan peran radio komunitas.
Aktivis radio komunitas di Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) Bowo Usodo, Minggu (14/2/2021), di Jakarta mengungkapkan, semangat Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja membuat layanan sistem penyiaran berlaku secara nasional. Proses perizinan penyiaran, secara umum, sebelumnya harus terlebih dahulu melalui evaluasi dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Hal itu bertentangan dengan semangat demokratisasi penyiaran.
Di kalangan pelaku radio komunitas, kondisi seperti itu bukan hal baru. Mereka, melalui UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan peraturan turunannya, harus berhadapan dengan mekanisme perizinan yang tidak terdesentralisasi. Sebagai gambaran, radio komunitas berada di suatu desa pelosok, tetapi menyetor proposal sampai evaluasi harus dilakukan ke ibukota kabupaten/kota.
Bowo mengakui, ketentuan yang diatur dalam UU Cipta Kerja cenderung menekankan perihal perizinan ataupun infrastruktur yang sentralistik. Ini dikhawatirkan memengaruhi produksi konten yang mesti ikut terpusat.
UU itu sama sekali tidak memberikan mandat konten lokal.(Bowo Usodo)
"UU itu sama sekali tidak memberikan mandat konten lokal," kata dia.
Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran, tertuang pasal mengenai radius siaran LPK radio melalui media terestrial dibatasi maksimal 2,5 kilometer dari lokasi pemancar. Pembatasan seperti itu dikecualikan untuk LPK yang bersiaran melalui layanan multipleksing siaran televisi digital terestrial.
Menurut Bowo, ketentuan seperti itu pun bukan hal baru dialami oleh pengelola radio komunitas. Saat ini, radio komunitas menggunakan batas siaran maksimal 2,5 kilometer. Lalu, pemerintah hanya mengalokasikan kanal frekuensi 107.7, 107.8, dan 107.9 FM. Kanal tersebut, kata dia, nyaris tidak bisa dipakai. Kegigihan pelaku radio komunitas membuat siaran tetap bisa mengudara di tengah keterbatasan itu.
Ketua Umum JRKI Sinam M Sutarno berpendapat, pasal 81 RPP Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran yang menyebut sewa-menyewa kanal secara perlahan berpotensi membuat lembaga penyiaran komunitas (LPK) radio semakin tidak punya ruang. Padahal, radio komunitas adalah bagian penting dari demokratisasi.
"Regulasi semakin sulit. Namun, hal yang membuat kami bangga adalah radio komunitas masih "ada" dan bertahan di tengah segala kesulitan yang dihadapi. Cerita sejumlah radio komunitas yang membantu pembelajaran jarak jauh, misalnya," ujar dia.
Dosen Universitas Medan Area Ressi Dwiana saat paparan disertasi doktoralnya bertajuk "Kemunduran Radio Komunitas di Indonesia: Studi Ekonomi Politik tentang Relasi Kuasa dalam Pengaturan Penyiaran di Indonesia", Rabu (10/2/2021), mengatakan, penolakan LPK radio oleh pemerintah telah terjadi pra penyusunan UU No 32/2002. Saat itu, sempat muncul keinginan pemerintah menghapus seluruh pasal tentang penyiaran komunitas karena alasan LPK berpotensi disintegrasi dan pemborosan frekuensi.
Setelah UU No 32/2002 berlaku, lahir Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2005 tentang LPK. Dalam penelitiannya, Ressi menemukan, PP No 51/2005 memicu berbagai masalah pelik bagi LPK radio. LPK radio harus mengurus prosedur izin dengan biaya mahal. Setidaknya ada empat jenis retribusi yang harus dibayar radio komunitas.
Selain itu, LPK radio harus mengurus standardisasi alat. Hal ini tidak sejalan dengan gagasan awal radio komunitas.
Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Dedy Permadi saat dikonfirmasi terpisah, menjelaskan, LPK yang dimaksud dalam UU No 11/2020 dan RPP Pos, Telekomunikasi adalah LPK televisi bukan radio. Sebab, pelaku transisi penyiaran digital adalah televisi.
Terkait penyewaan slot multipleksing dalam upaya transisi penyiaran digital, LPK televisi tetap harus menyewa. Namun, hal itu tidak terkait dengan perubahan status LPK. LPK akan tetap menjadi lembaga penyiaran non-komersial.
Dedy mengatakan, penyewaan slot multipleksing akan membantu LPK televisi melakukan penghematan biaya operasional karena tidak perlu lagi membiayai pemancar analog sendiri. Selain itu, radius siaran LPK diyakini pemerintah akan lebih luas dengan multipleksing, tidak terbatas dalam radius 2,5 kilometer seperti menggunakan pemacar analog.
"LPK radio tidak terpengaruh dengan proses digitalisasi penyiaran. LPK radio tetap dapat bersiaran di saluran analog," tegas Dedy saat ditanya sikap pemerintah terhadap keberadaan radio komunitas.