Upaya Dewan pers menerjemahkan undang-undang tentang hak pengelola media di sejumlah negara merupakan langkah awal untuk menjaga ekosistem media. Langkah masih jauh, soliditas para pengelola media menjadi penentu.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Dewan Pers tengah menerjemahkan undang-undang/rancangan undang-undang tentang hak pengelola media atau publisher right yang berlaku di Eropa, Jerman, Amerika Serikat, dan Australia. Peraturan-peraturan tersebut memungkinkan pengelola media atau penerbit berita mendapatkan kompensasi atas monetisasi konten mereka oleh platform digital global.
Publisher Right/Neighboring Right yang berlaku di Eropa dirancang untuk membantu penerbit berita menerima pembayaran dari platform digital global. Ancillary Right for News Publisher di Jerman memberikan hak cipta tambahan untuk penerbit berita karena mewajibkan agregator konten minta izin ketika menampilkan konten milik penerbit berita.
Sementara The Journalism Competition and Preservation Act di Amerika Serikat memungkinkan penerbit berita bernegosiasi dengan platform digital global untuk mendapatkan pembayaran atau bagi hasil yang adil atas monetisasi konten mereka oleh platform digital global. Ini serupa dengan News Media and Digital Platform Mandatory Bargaining Code di Australia.
Selama ini, penerbit berita mengunggah dan mendistribusikan konten mereka ke ekosistem digital yang dikendalikan platform digital global, yaitu Google dan Facebook. Platform digital global menggunakan teknologi mereka untuk menentukan di mana dan kapan konten tersebut muncul di platform, termasuk untuk mengontrol ekosistem periklanan digital.
Kondisi ini memunculkan sejumlah mata rantai persoalan yang berujung pada persaingan usaha yang tidak sehat. Penerbit berita memang mendapatkan keuntungan karena konten mereka terdistribusi, tetapi ini tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh platform digital.
Bukan hanya itu, ini juga menjadi ”bumerang” bagi penerbit karena iklan tersedot ke platform digital. Kondisi ini membuat bisnis penerbit menurun karena pendapatan iklan turun.
Bukan hanya itu, ini juga menjadi ”bumerang” bagi penerbit karena iklan tersedot ke platform digital. Kondisi ini membuat bisnis penerbit menurun karena pendapatan iklan turun.
Pandemi memperparah kondisi ini. Sejumlah media cetak tutup. Pendapatan iklan media daring pun, berdasarkan data Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), menurun hingga 50 persen dibanding sebelum pandemi meski keterbacaan berita meningkat sekitar 40 persen.
Kualitas jurnalisme
Distribusi konten di platform digital global yang tidak membedakan konten jurnalistik dan konten nonjurnalistik, termasuk hoaks, bisa menyesatkan publik. Cara kerja algoritma mesin pencari, menurut Pengurus Pusat AMSI Anthony Wonsono, Senin (8/2/2021), juga memengaruhi cara kerja di ruang berita. Demi umpan klik (clickbait) pada konten di platform digital global, sering kali kualitas jurnalisme dipertaruhkan.
Pertimbangan untuk menjaga profesionalisme dan kemerdekaan pers dalam ekosistem media itulah yang membuat Dewan Pers menginisiasi kajian peraturan tentang hak pengelola media. ”Publisher right itu isu bisnis yang berdampak pada kualitas jurnalisme dan kemerdekaan pers,” kata Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, Selasa (9/2/2021).
Meski Dewan Pers yang menginisiasi langkah ini, ke depan asosiasi media yang harus bernegosiasi dengan platform digital global. Di negara-negara lain juga demikian, asosiasi media bersama komisi antimonopoli seperti di Amerika Serikat atau bersama komisi perlindungan konsumen seperti di Australia.
Setelah naskah peraturan dari sejumlah negara tersebut selesai diterjemahkan, Dewan Pers akan mengundang asosiasi media dan pemerintah untuk mengkaji klausul mana yang bisa diterapkan di Indonesia. Ini langkah awal, banyak persiapan yang harus dilakukan.
Belajar dari proses di Eropa, Jerman, Amerika Serikat, dan Australia, akan ada tantangan platform digital global maupun pengelola media. Di Eropa, misalnya, Google menolak bagi hasil dengan penerbit dengan alasan konten yang masuk ke halaman pencarian platform digital global menghasilkan lalu lintas yang sangat besar bagi penerbit.
Untuk menghindari pembayaran, Google meminta penerbit menerima bahwa konten mereka disertakan secara gratis di halaman hasil pencarian. Jika penerbit menolak, Google akan terus menampilkan konten dan tautan, tetapi dalam bentuk yang lebih terbatas. Di Australia, Google mengancam boikot jika peraturan diterapkan.
Mel Silva, Wakil Presiden Google Australia dan Selandia Baru, dalam pernyataannya yang dipublikasi di blog Google pada 12 Januari 2021, mengatakan, platform digital global merupakan layanan internet terbuka yang dibangun dengan pemikiran agar publik dapat saling terhubung secara bebas. Undang-undang baru mengubah hal tersebut.
Soliditas media
Karena itu, asosiasi media di Indonesia harus mempunyai level pengetahuan yang sama dengan platform digital global ketika bernegosiasi nanti. ”Kalau tidak, kita akan dikendalikan. Kita bicara soal media dan sangat teknologi. Dan, yang terpenting, (langkah) ini harus dimulai dengan membangun soliditas di antara pengelola media,” kata Agus.
Di Jerman terjadi perpecahan di antara penerbit sebelum peraturan diundangkan. Di Amerika Serikat dan Australia pun ada penolakan dari penerbit-penerbit kecil karena khawatir undang-undang hanya akan menguntungkan penerbit besar.
Grup Star News di Australia (blog Google, 12/1), misalnya, menyatakan mendukung Bargaining Code. Namun, mereka khawatir rancangan undang-undang tersebut secara signifikan menguntungkan organisasi media yang lebih besar dan akan berdampak negatif pada keragaman media di Australia.
Kondisi tersebut sangat mungkin terjadi di Indonesia, dan ini sangat tergantung pada soliditas di antara pengelola media. ”Platform digital global sadar banyak (media) yang bergantung pada mereka,” kata Agus.
Meski media daring selama ini mengandalkan platform digital global, Anthony berharap peraturan tersebut bisa terwujud di Indonesia. Ketua Harian Serikat Perusahaan Pers (SPS) Januar Primadi Ruswita pun mendukung regulasi yang bisa menciptakan ekosistem media yang lebih sehat.
”Menghasilkan konten-konten berkualitas bukan sesuatu yang mudah dan tanpa biaya. Sudah saatnya siapa pun harus menghargai hak cipta dan hak ekonomi pembuat konten-konten tersebut,” kata Januar, Selasa.