Profesi Pekerja Rumah Tangga Masih Belum Diakui Negara
Pekerja rumah tangga hingga sekarang belum diakui sebagai profesi oleh negara. Kondisi ini mengakibatkan hak atas kerja layak tidak terpenuhi. Pandemi Covid-19 memperparah pengabaian hak mereka.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendiri Lembaga Swadaya Masyarakat Rumpun Tjoet Njak Dien, Maria Pakpahan, Selasa (2/2/2021), di Jakarta mengatakan, ketiadaan pengakuan negara terhadap profesi pekerja rumah tangga tecermin dari mandeknya pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga selama hampir 17 tahun.
Selama kurun waktu itu, pekerja rumah tangga (PRT) kesusahan mengakses jaminan sosial kesehatan dan tenaga kerja. Survei JALA PRT yang menyasar 668 PRT pada Desember 2020 menunjukkan, 82 persen di antaranya harus membayar iuran jaminan sosial secara penuh.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan per 7 April 2020, pandemi Covid-19 menyebabkan sebanyak 39.977 perusahaan merumahkan 1.010.579 pekerja. Jumlah perusahaan dan tenaga kerja terdampak di sektor informal sebanyak 34.453 perusahaan dan 189.452 orang.
Direktur Institut Sarinah Eva K Sundari menceritakan, dalam kondisi darurat seperti pandemi Covid-19, kelompok PRT tidak menjadi sasaran penerima bantuan sosial. Ironisnya, pada saat bersamaan, kelompok pekerja lainnya yang juga belum diakui negara atau masih berstatus informal mendapatkan bantuan sosial selama pandemi. Dia menilai, situasi itu menunjukkan ketidakpedulian negara terhadap kelompok PRT.
”Selama ini, kita selalu menuntut pemenuhan hak pekerja migran Indonesia yang kebanyakan berlatar belakang sebagai PRT kepada negara penempatan. Akan tetapi, di dalam negeri, perlindungan PRT sampai sekarang belum terpenuhi,” ujar Eva.
Selama ini, kita selalu menuntut pemenuhan hak pekerja migran Indonesia yang kebanyakan berlatar belakang sebagai PRT kepada negara penempatan. Akan tetapi, di dalam negeri, perlindungan PRT sampai sekarang belum terpenuhi.
Menurut Maria, perjalanan ikut mengawal pembahasan RUU PRT selama 16 tahun membuatnya berpandangan para PRT perlu realistis. Misalnya, mereka bisa membentuk serikat dan koperasi untuk menyokong kebutuhan kesejahteraan daripada sekadar menunggu legislator dan pemangku eksekutif mengeluarkan peraturan ataupun kebijakan.
Situasi pandemi Covid-19 yang masih berkepanjangan mesti menjadi perhatian mereka. Maria menilai, upaya advokasi perlu diarahkan ke kebijakan anggaran pemerintah untuk kesejahteraan perempuan. Dari kebijakan ini, kelompok PRT bisa mendorong agar pemerintah mau mengalokasikan dana untuk membantu.
Adapun Eva memandang, perjuangan mengawal RUU PRT sampai disahkan tetap perlu dilakukan. Ketika UU PRT berlaku, pengakuan negara terhadap profesi PRT ”terlembagakan”. ”Saat ini, kelompok PRT membutuhkan UU PRT sebagai jaminan atas pemenuhan hak kerja layak mereka, seperti jaminan sosial dan asuransi,” ujar Eva.
Akar masalah
Associate Professor Bidang Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Gadjah Mada Poppy Ismalina menyebutkan, salah satu akar masalah pengabaian hak kerja layak PRT adalah kegagalan mekanisme pasar.
Standar nilai gaji atau upah berdasarkan persepsi sosial-ekonomi terhadap PRT berbasis standar hidup minimum di Indonesia dan kualitas pendidikan rata-rata. Struktur angkatan kerja di Indonesia masih didominasi lulusan sekolah menengah pertama dan sekolah dasar.
Standar nilai gaji atau upah berdasarkan persepsi sosial-ekonomi terhadap PRT berbasis standar hidup minimum di Indonesia dan kualitas pendidikan rata-rata. Struktur angkatan kerja di Indonesia masih didominasi lulusan sekolah menengah pertama dan sekolah dasar.
Sesuai dengan akar masalah tersebut, Poppy punya pandangan senada dengan Eva. Negara tetap ditunggu intervensinya terhadap pemenuhan hak kerja layak bagi PRT. Selain peraturan perundang-undangan, negara mengeluarkan kebijakan jaminan sosial, pendidikan, dan gaji bagi PRT.
”Solusi lainnya adalah mencari nilai ekonomi riil PRT, seperti menghitung potensi produktivitas majikan yang hilang ketika PRT tidak ada,” ujar Poppy.