Nadiem Makarim: Program Sekolah Penggerak Digelar hingga 2024
Implementasi program Merdeka Belajar Episode Sekolah Penggerak membutuhkan koordinasi optimal pemerintah pusat dan daerah. Keragaman kondisi infrastruktur dan permasalahan yang dihadapi sekolah mesti jadi perhatian.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan program Merdeka Belajar episode Sekolah Penggerak. Program ini meliputi penguatan sumber daya manusia, pembelajaran, perencanaan, digitalisasi layanan sekolah, dan pendampingan pemerintah daerah.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim, Senin (1/2/2021) di Jakarta, menjelaskan, tujuan program Sekolah Penggerak adalah mewujudkan visi reformasi pendidikan Indonesia yang fokus kepada pengembangan hasil belajar siswa sesuai Profil Pelajar Pancasila. Profil Pelajar Pancasila memiliki enam dimensi karakter, yakni beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, kreatif, bergotong royong, dan berkebinekaan global.
Program Sekolah Penggerak menyasar kepada sekolah negeri ataupun swasta. Program ini tidak akan mengubah masukan (input) kondisi sekolah. Dengan kata lain, menurut dia, program tidak akan membedakan predikat sekolah unggulan atau tidak.
Ada lima intervensi pemerintah di program ini yang tidak bisa dipisahkan. Intervensi pertama ialah pendampingan konsultatif dan asimetris ke sekolah melalui unit pelaksana teknis (UPT) Kemendikbud pada setiap provinsi.
Intervensi kedua adalah Kemendikbud menerjunkan pelatih ahli untuk menguatkan sumber daya manusia (SDM) sekolah, seperti guru, kepala, dan pengawas sekolah. Ketiga, pendampingan saat merancang pembelajaran sesuai kebutuhan siswa, misalnya pembelajaran berbasis proyek.
Lalu, intervensi keempat ialah pendampingan perencanaan manajemen sekolah berbasis data, dan kelima digitalisasi layanan sekolah. Selain dukungan gawai, dalam program ini pemerintah akan memberikan bantuan perangkat lunak digital untuk meningkatkan efisiensi dalam pembelajaran.
Segala pendampingan dilakukan saat guru mengajar. Pelatihan untuk guru dilakukan oleh sesama guru. Harapan akhirnya adalah sebuah sekolah penggerak bisa bermanfaat bagi sekolah lainnya.
”Segala pendampingan dilakukan saat guru mengajar. Pelatihan untuk guru dilakukan oleh sesama guru. Harapan akhirnya adalah sebuah sekolah penggerak bisa bermanfaat bagi sekolah lainnya,” ujar Nadiem.
Durasi program setiap angkatan tiga tahun. Untuk tahap pertama, program akan dibuka tahun ajaran 2021/2022 di 34 provinsi dengan sasaran 111 kabupaten/kota dan target jangkauan 2.500 sekolah. Semua satuan pendidikan nantinya mesti menjadi Sekolah Penggerak.
”Rencana kami adalah akan melibatkan 10.000 sekolah di 250 kabupaten/kota di 34 provinsi pada tahun ajaran 2022/2023. Tahun ajaran 2023/2024 akan mengikutsertakan 20.000 sekolah di 514 kabupaten/kota di 34 provinsi. Intinya akan terus berlanjut sampai 100 persen satuan pendidikan menjadi Sekolah Penggerak,” tuturnya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Muhammad Hudori menyebutkan, ada empat dukungan Kemendagri terhadap program Sekolah Penggerak Kemendikbud. Kemendagri akan meminta pemda memahami konsep program. Lalu, pemda diminta membuat kebijakan daerah sebagai tindak lanjut untuk mendukung program Sekolah Penggerak dengan tetap berpedoman pada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan Kemendikbud.
Lalu, dinas terkait diharapkan segera memetakan kebutuhan untuk mendukung pelaksanaan program Sekolah Penggerak. Terakhir, pemerintah daerah diminta tidak merotasi kepala sekolah, guru, dan SDM lainnya di sekolah negeri yang jadi peserta program selama minimal empat tahun.
”Kepala daerah, seperti gubernur, bupati, dan wali kota, harus terjun mengawasi implementasi program Sekolah Penggerak. Kami mengimbau agar keikutsertaan di program itu disinergikan dengan kebijakan layanan pendidikan yang sedang berjalan,” kata Hudori.
Untuk memastikan sinkronisasi kebijakan pusat-daerah, diperlukan nota kesepahaman antara Kemendagri dan Kemendikbud. Ini penting untuk memperkuat koordinasi.
Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menyarankan perlunya aturan yang mengikat semua pihak yang terlibat melaksanakan program Sekolah Penggerak. Dengan demikian, tidak ada kesenjangan antara gagasan dan implementasi di lapangan.
Menurut dia, pelaksanaan program Sekolah Penggerak secara optimal membutuhkan ekosistem pendidikan yang matang. Oleh karena itu, ketidakmerataan sarana prasarana belajar, persoalan kesejahteraan pendidik, dan banyaknya jumlah guru honorer mesti menjadi perhatian.
”Ditambah lagi, saat ini masyarakat masih berada dalam kondisi pandemi Covid-19 yang tidak mudah dilalui. Saya rasa, pemerintah harus memikirkan skema pelaksanaan program di tengah pandemi,” ujar Syaiful.
Kekhawatiran
Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Z Haeri secara terpisah mengatakan, semangat yang diusung program Sekolah Penggerak senada dengan Organisasi Penggerak dan Guru Penggerak. Semuanya mengerucut ke digitalisasi sekolah. Hal ini perlu dikhawatirkan karena sejak awal sudah ada sekolah yang mempunyai sistem layanan digital maju dan belum. Akibatnya, program itu berpotensi memperdalam kesenjangan digital.
Meskipun Kemendikbud memastikan tidak akan muncul label sekolah unggulan, dia tetap khawatir stereotip itu tetap akan berkembang di masyarakat. Apalagi, pemerintah juga mengeluarkan pernyataan bahwa sekolah penggerak akan menjadi katalis perubahan bagi sekolah lainnya.
”Kemungkinannya adalah stereotipe sekolah unggul akan muncul kembali dengan istilah berbeda,” ujarnya.
Lebih jauh, kata Iman, P2G juga belum melihat landasan hukum program Sekolah Penggerak, kecuali program Organisasi Penggerak. Pelatih ahli ataupun guru penggerak yang disebut dalam program Sekolah Penggerak belum jelas proses perekrutan dan gambaran sepak terjangnya.
Dia juga mengkritisi penyebutan pembelajaran dengan ”Paradigma Baru” yang disebut Kemendikbud sebagai perspektif pembelajaran yang berpihak kepada anak. Di DKI Jakarta, misalnya, penyebutan paradigma seperti itu dipakai oleh sekolah untuk kalangan menengah atas.
”Setiap sekolah, khususnya swasta, belum tentu bisa menjadi katalis bagi sesama sekolah swasta ataupun negeri,” kata Iman Z Haeri, menambahkan.