Masyarakat dapat turut mengawasi dan melaporkan penyimpangan-penyimpangan aturan yang melanggar konstitusi dan dasar negara di lingkungan sekolah.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -Kasus Sekolah Menengah Kejuruan 2 Padang, Sumatera Barat yang mewajibkan siswi non-Muslim mengenakan jilbab merupakan salah satu contoh bagaimana peraturan pemerintah daerah dan sekolah tidak mendukung keberagaman yang sudah dijamin oleh konstitusi dan dasar negara Indonesia.
"Viral kasus SMK 2 Padang ibarat gunung es. Contoh kasus serupa kemungkinan besar terjadi di daerah lain. Kasus seperti itu salah satunya dipicu oleh politik identitas dan bisa selesai asal pemerintah tegas menyisir perda ataupun aturan sekolah yang tak sesuai konstitusi, lalu menggugurkannya," kata Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Romo A Benny Susetyo dalam webinar "Kewajiban Berpakaian Muslim dan Muslimah di Institusi Pendidikan Formal: Apakah Melanggar Institusi?", Jumat (29/1/2021), di Jakarta.
Kontribusi publik bisa dilakukan dengan mengawasi dan melaporkan adanya peraturan-peraturan yang melanggar konstitusi dan Pancasila. Apabila ada pelanggaran, maka pemerintah pusat mesti segera tegas menindaklanjuti supaya tidak berlarut-larut dan malah timbul politisasi kasus.
Selain berharap masyarakat ikut mengawasi, Benny juga memandang pentingnya Pendidikan Pancasila dijadikan sebagai mata pelajaran khusus. Menurutnya, hal itu akan membantu menyemai nilai-nilai Pancasila di sekolah. Apabila cara itu dijalankan, pemerintah perlu terlebih dulu merevisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
"Sejak UU itu, Pendidikan Pancasila digabung dengan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Penanaman nilai-nilai keberagaman yang menjadi amanat Pancasila tidak maksimal, baik dari sisi guru maupun siswa. Upaya ini bukan berarti kembali ke era Orde Baru," tutur dia.
Direktur Pendidikan Vox Populi Institute Indonesia, Indra Charismiadji memandang pentingnya ketegasan pemerintah pusat menindaklanjuti peraturan di daerah yang tidak sesuai dengan perundang-undangan, konstitusi, dan dasar negara. Pemerintah pusat (semestinya) bukan sebatas menyampaikan wacana.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah menyebut pakaian seragam khas Muslimah, meskipun tidak tertulis "wajib atau tidak". Ketentuan seperti itu berpotensi menimbulkan multitafsir hingga ke tingkat daerah.
Dalam kasus SMK 2 Padang, Indra menilai pemerintah pusat tidak tegas terhadap peraturan yang memang sudah ataupun berpeluang menyimpang dari konstitusi.
Pengelola Pesantren Darul Iman Pandeglang, Banten, Nisa Alwis, menyampaikan, kebanyakan warga belum paham keberagaman, meski sudah dijamin dalam konstitusi dan dasar negara Indonesia. Sebagai contoh, di kalangan umat Muslim berkembang "hijabisasi" sebagai paham wajib. Padahal, menurut dia, hal seperti itu tidak tepat.
"Berbicara mengenai jilbab, saya rasa perlu mengaitkan dengan sejarah dan konteks antropologi. Jangan sampai isu \'wajib jilbab\' dengan segala narasi yang berkembang mengecilkan hak perempuan dan mendorong anti keberagaman," kata Nisa.
Secara terpisah, anggota Komisi X DPR Ferdiansyah berpendapat, kebijakan terkait pendidikan semestinya dikomunikasikan lintas kementerian/lembaga sehingga ada harmonisasi regulasi.
Lebih jauh, lanjut Indra, dia memandang pentingnya tidak berlarut - larut mempersoalkan seragam sekolah. Masih banyak permasalahan mutu pendidikan Indonesia yang lebih mendesak diselesaikan. Misalnya, literasi membaca dan numerasi.
"Banyak kajian riset membuktikan seragam sekolah tidak menghentikan praktik kekerasan ataupun ketimpangan sosial ekonomi. Seragam sekolah juga cenderung jadi urusan komersial," imbuhnya.
Mengenai viral kasus SMK Negeri 2 Padang, Ferdiansyah mendorong pemerintah pusat, yakni Kemdikbud, turun mengecek langsung perkembangan kasus. Pernyataan Mendikbud Nadiem Anwar Makarim yang ingin memberikan sanksi kepada kepala sekolah dinilai kurang pas. Dia meragukan pernyataan itu belum dikoordinasikan dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi.
Kepala SMK 2 Padang Rusmadi berharap viral kasus di sekolahnya segera mereda. Meski belum dihubungi Kemendikbud, sekolah berusaha menyelesaikan kasus dengan berkoordinasi bersama dinas pendidikan setempat. "Dalam pemikiran saya sejak awal tidak memaksa siswi non-Muslim memakai jilbab. Saya sudah minta kepada para guru agar tidak \'menindaklanjuti\' siswi non-Muslim tidak pakai jilbab," ujar dia.
Pelaksana Tugas Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud Hendarman menambahkan, Kemendikbud masih merumuskan surat edaran dan menyiapkan hotline pengaduan pasca-kasus SMK 2 Padang. Sebelumnya, Mendikbud Nadiem Makarim mengatakan bahwa sebagai tindakan konstruktif, dalam waktu dekat ia akan mengeluarkan surat edaran dan membuka hotline khusus pengaduan untuk menghindari pelanggaran serupa.