Meski Undang-Undang Pers menjamin tidak ada lagi penyensoran terhadap pers nasional, kenyataannya masih terjadi penyensoran informasi baik oleh aparat pemerintah maupun oleh media. Ini mengancam kebebasan pers.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kebebasan pers yang lahir setelah Orde Baru tumbang pada 1998. Pasal 4 menyebutkan, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Kini tidak ada lagi pembredelan ketika media dinilai melanggar peraturan dan mengkritik penguasa. Demikian pula, tidak ada kontrol terhadap mekanisme penerbitan media massa melalui rezim SIUP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sebagaimana berlaku pada masa Orde Baru. Namun, praktik penyensoran ternyata “masih langgeng” dengan bentuknya yang berbeda.
Penelitian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Lembaga bantuan Hukum Pers (LBH Pers), dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) pada 13 Maret-31 Oktober 2021 menunjukkan dari 125 wartawan yang disurvei, sebanyak 28 persen (35) responden pernah mengalami penyensoran selama pandemi Covid-19, 60 persen (21 responden) di antaranya menyatakan penyensoran terkait pemberitaan pandemi. Pelaku penyensoran paling banyak justru redaksi media (34,3 persen).
Apakah ini wujud dari pelaksanaan fungsi redaksi untuk menyaring pemberitaan yang disusun wartawan atau bentuk swasensor? Ketika memaparkan hasil penelitian ini pada 21 Januari 2021, Mulki Shader, peneliti ICRJ, mengatakan agak sulit melepaskan fenomena penyensoran ini dari ketakutan yang dialami media terutama akibat adanya ancaman hukum maupun serangan terkait produk jurnalistik yang dihasilkan.
Faktanya, 11 responden (8,8 persen) menyatakan perusahaan mereka pernah mendapatkan ancaman hukum akibat pemberitaan selama masa pandemi Covid-19. Satu dari 11 ancaman hukum ini adalah terkait dengan pemberitaan mengenai pandemi Covid-19. Adapun bentuk ancaman hukum yang paling banyak dijumpai adalah dilaporkan ke kepolisian (36,4 persen).
Meski dilindungi UU Pers, wartawan dan media rentan dituntut menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE ketika terjadi sengketa pers. Dua pasal karet dalam UU ITE, yaitu Pasal 27 ayat (3) tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian rentan menjerat pers terutama wartawan.
Selama 10 tahun terakhir terjadi tren pelaporan ke polisi karena UU ITE. Berdasarkan catatan SAFEnet, sejak 2008 hingga Desember 2018 telah terjadi 16 upaya kriminalisasi terhadap 14 wartawan dan tujuh media menggunakan pasal-pasal karet UU ITE tersebut. Laporan LBH Pers menunjukkan, dari 10 kasus kriminalisasi terhadap wartawan, delapan di antaranya dikriminalisasi menggunakan pasal-pasal karet UU ITE tersebut.
Kasus mantan Pemimpin redaksi Banjarhits.id, Diananta Putera Sumedi, yang divonis tiga bulan 15 hari penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Kotabaru, Kalimantan Selatan pada Agustus 2020 merupakan bukti nyata ancaman pasal-pasal karet tersebut. Diananta dinilai bersalah melanggar UU ITE ketika sengketa pers terkait produk jurnalistiknya telah diselesaikan di Dewan Pers.
Selain kriminalisasi terhadap wartawan dan media, serangan siber yang semakin sering terjadi akhir-akhir ini dinilai bisa menjadi faktor pendorong media melakukan swasensor. Serangan siber yang terjadi pada individu (wartawan) maupun media selama ini terjadi karena sikap kritis mereka terhadap kebijakan pemerintah seperti yang dialami empat media daring dan sejumlah wartawan pada 2020.
Titik hitam informasi
Penelitian ICJR, LBH Pers, dan IJRS ini juga mendapati adanya praktik prior restraint, yaitu upaya membatasi informasi sebelum informasi dipublikasikan. Survei menunjukkan 34,2 pelaku praktik prior restraint ini pihak penyelenggara negara, yaitu pemerintah pusat dan daerah.
Ketika terjadi unjuk rasa besar beberapa waktu lalu, misalnya, ada media yang mendapat telepon dari sebuah instansi agar tidak mempublikasikan berita unjuk rasa tersebut. Alasannya, unjuk rasa itu merupakan bentuk anarkisme dan kericuan. Ini sangat berbahaya, menurut Mulki bisa menimbulkan blank spot atau titik hitam informasi karena masyarakat tidak mendapatkan informasi tentang kejadian tersebut.
Penyensoran menjadi ironi di era reformasi yang menjunjung tinggi kebebasan pers ini. Penyensoran menjadi ancaman di tengah indeks kebebasan pers Indonesia yang terus meningkat berdasarkan survei Indeks Kebebasan Pers Dunia 2020. Kebebasan pers juga dijamin UU Pers sebagai hak asasi warga negara.
Temuan adanya praktik penyensoran, swasensor, dan prior restraint tersebut, menurut Direktur Eksekutif Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara Eni Mulia, menunjukkan informasi berada dalam ancaman yang sangat besar. Dan ini terjadi justru di saat informasi yang berkualitas dan kredibel menjadi sangat penting di masa pandemi ini.
Ini persoalan serius dan harus segera diatasi, dan menurut Eni perlu ada sinergi antara pemerintah, pers dan publik. Pemerintah harus lebih banyak menggunakan media, bukan buzzer, untuk menyampaikan informasi ke masyarakat secara transparan. Sinergi yang baik antara pemerintah dan media akan membangun kebebasan pers dan terutama kepercayaan publik.
Informasi yang berkualitas dan kredibel merupakan salah satu kunci untuk menangani pandemi ini, dan ini harus dihasilkan oleh pers yang bebas dari ketakutan dan ancaman. Pun demokrasi tidak akan berkembang jika salah satu pilarnya, pers, tidak dapat berdiri tegak.